Aku berakhir dengan mencoba menenagkan diri.
Tapi, air mataku t'lah membandung.
Kami bertiga menunggu Gilang di kafe depan gedung. Jua asyik mengamati hadiahnya. Bolak-balik menggumam soal rencana uang yang di dapatkan.
Dyfal? Diam mengaduk kopi yang di pesanya. "Selamat, Dyf." Swara tersenyum, walaupun senyum terpaksa, tapi tulus, yeh khaan.
Dyfal melirik sekilas, tatapan sinis nya, membuat senyuaman ku hilang.
"Percuma tahu nggak!!!" Dyfal tiba-tiba membentak, Jua takut-takut menatap kami berdua. Swara sedikit terkejud, langsung memasang muka bersalah.
"Gue kebelet, ke toilet." Ucapku bohong. Dari tadi Dyfal mengamuk, meracau tak jelas, atau menatap sinis.
"Tapi gue lihat waktu itu, lo ada di lantai lima belas, celingukan kayak idiot tahu!" Dyfal tak menatapku, menatap jendela dengan tatapan datar. Kopinya tak diminum hanya di aduk-aduk.
Pahit, tapi enak di rasa.
"Gue tahu, lo pergi sama kakel itu kan?" Dyfal tersenyum miring. Buset, iblisnya keluar. Beneran deh, entar telefon Bang Akfa, minta beli kuping!
Swara terdiam, begitu juga dengan Jua—yang walau tak mengerti apa maksudnya. Kami berdua diam, Dyfal mengaduk kopinya.
"Ya. Gue tahu lo marah." Jawabku jujur. Percuma kalo bohong, jujur juga percuma. Nanti Dyfal malah ngamuk, kalap.
"Gitu aja pake bohong, ih." Dyfal tertawa sarkatis. Membuatku menggigit bibir bawah, tak lagi berminat meminum orange squash.
"Dasar, gue ngajak lo ikut itu biar tahu kalo gue punya bakat. Percuma dong, perjalanan jauh kalo lo berduaan terus sama cowok kayak gituan. Murahan, sok ganteng, padahal punya setan. Kesel tahu nggak." Dyfal masih dengan tatapan iblisnya, Jua semakin di buat bingung.
"GUE NGGAK SUKA KALO LO BILANG KAK FAIQ KAYAK GITUU!" bentakku, Jua terkejud. Tapi Dyfal nggak, malah berdecih malas.
"Lo dukung kakak lo itu? Siapa, kak Faiq? Namanya aja murahan." Dyfal kali ini menatapku. Muka Swara menggelembung, marah.
"Iya, gue dukung dia. Lebih baik gue dukung dia dari pada lo, DYFAL!" semua pengunjung kafe menatap kami, menjadi pusat perhatian. Orang-orang yang tak sengaja lewat di balik jendela kafe,juga menatap kami sekilas.
"Bentak ya? Bising deh di sini." Dyfal mengusap tengkuknya, masih dengan senyum iblisnya. Membuat siapa saja yang berdebat dengannya semakin marah, sampai puncak.
"Kak Faiq lebih baik, Raeyken lebih baik dari pada lo. Mereka baik, nggak kayak lo yang mentingin diri sendiri. Egois! Lu kira gue mau bantuin lo jadian sama Nilta itu heh? Lo kita gue tulus bantuin lo. lo yang idiot, Dyf."
PPLAAK!
Dyfal menampar Swara. Tamparan pertama Dyfal, setelah sekian lama kami menjalin hubungan sebagai sahabat.Orang-orang semakin penasaran dengan apa yang kami lakukan. Para pelayan bersiaga untuk mengusir kami, takut jika pengunjung lainnya terganggu.
Pipi kiri Swara memerah. "Jaga omongan lo." Amarah Dyfal sudah berada di puncak. Jua semakin bingung harus berbuat apa.
Swara tak peduli, tetap melanjutkan kata-katanya. "Lo pikir usaha lo perjuangin Mbak Nilta itu bener? Heh, lo pikir, cinta lo yang kayak gembel itu bakal di terima sama Nilta si stres itu?"
Dyfal hendak menampar lagi, tapi urung karena ada yang menahan. Kak Faiq, juga Raeyken di belakang nya.
"Ooh, jadi ini kak Faiq murahan lo. lo yang ngebuat Swara berubah ya?"
Dyfal berdiri, bersiap meluncurkan segala kekerasan. Tapi Swara tahu, kak Faiq lebih hebat dari pada Dyfal. Apalagi Raeyken, pernah memenang kan juara satu karate di Tiongkok.
"Kak, males kalo berantem sama gentong. Buang-buang waktu." Kaiken duduk di sebelahku, dengan santainya menyeruput orange squash milik Swara.
Gak pa-pa kalo di minum sama cowok ganteng. Udah waktu selesai minum desah lagi.
"Apa yah, lo. juara dua aja songong!" Dyfal hendak memukul Kaiken, tapi sudah kubilang bukan, Kaiken lebih hebat.
Sekali lagi Raeyken meneguk orange squash. "Bukannya lu yang songong, friend? Lo udah nampar cewek di depan umum kayak gini? Cih cih cih, dasar songong!" Ledek Raeyken, masih dengan santainya.
"Heh, ini bukan masalah lo ya!!!" Dyfal menepis tangannya, melepaskan paksa dari gengaman tangan Kak Faiq. Membuat kak Faiq menatap Dyfal tajam.
"Heem, bukannya tadi lo ngeledek kita, friend? Apa gue aja yang salah denger?" Lanjut Raeyken.
"UDAH BERHENTII. GUE NGGAK SUKA KALO JADI PUSAT PERHATIAN." Segera aku keluar dari kafe itu. Diikuti kak Faiq dan Raeyken. Berjalan menuju penyebrangan, hendak mencari taksi. Tapi urung.
"Bahaya malem-malem cewek naik taksi sendirian. Udah, bareng aja."
Swara tak mengangguk, juga tak menggeleng. Terus mengikuti langkah kak Faiq yang menggandeng tanganku. Raeyken terus bersenandung di belakangku, seperti tak terjadi apa-apa barusan.
Susuah payah aku menahan agar bulir kristal tak jatuh dari mata. Terus menunduk. Kak Faiq diam, kecuali Raeyken yang usil menggoda ku dengan kak Faiq. Tapi garing, kami tak tertarik.
Kak Faiq membuka pintu belakang, Raeyken duduk di bangku sebelah sopir. Swara memasuki pintu yang di buka kak Faiq.
Mobil melaju cepat menerobos kemacetan. Di dalam mobil, kami semua terdiam, Raeyken akhirnya menyalakan radio.
Radio itu menyiarkan tentang perlombaan musik tadi, membuat mood ku kembali hancur. Cepat-cepat kak Faiq mematikan radio, memberi kode kalau mood ku tak enak. Kaiken mengangguk, menatap jalanan kota.
"Lo tadi udah bener, Ra. Niat lo mau ingetin Dyfal buat nggak deketin Nilta lagi." Ucap kak Faiq memecah keheningan.
Aku menggeleng. Nggak, percuma, Dyfal nggak akan percaya.
Swara menunduk, berusaha mati-matian menahan tangisnya. Bukannya malu, tapi takut. Takut dengan apa hubungan persahabatan ku dengan Dyfal nanti.
Takut kami tak akan, atau tak pernah lagi bertemu. Yang lebih parahnya lagi, tak salin menyapa atau bertatap muka. Atau..., Dyfal bukan lagi menjadi si antar jemputku.
Semakin diri ini mengingat segala kejadian barusan, semakin bulir-bulir bening ini tak bisa di tahan. Raeyken yang tadi diam-diam menatap Swara, hanya menghela napas.
Tanpa Swara sadari, kehadiran Raeyken akan mengubah masa depannya. Dengan janji-janji kehidupan baru, yang lebih baik. Harapan-harapan yang sudah pantas untuk Tuhan kabulkan. Keindahan dengan keluarga kecil yang bahagia, amat bahagia kelak.
Tanpa Raeyken sadari, perasaan spesial untuk Swara datang menhampiri. Tak di undang, tiba-tiba saja, sudah mengisi hati yang masih menyendiri. Berusaha untuk menjadi yang terbaik, memberikan janji-janji kehidupan yang lebih baik.
Tanpa Dyfal sadari, apa yang di buatnya hari ini akan teringat sampai hari esok. Walau sudah berkata maaf, tapi tertulis di takdir, kata-kata hari itu tak bisa di maafkan. Janji-janji lama, sudah terhapus dari memori Swara hari itu. Walau mimpi masih memberikan kenangan suka dan duka yang sudah di alami.
Penyesalan akan menghantui Dyfal kelak. Dengan harapan-harapan yang tak terbalaskan di masa depan. Itulah takdir Tuhan. Walau kadang harus menetang takdir Tuhan demi angan-angan yang di ingin kan.
Diam-diam Raeyken masih menatap Swara dari kaca spion dalam mobil. Mendesah pelan.
***
Medan peperangan.