55. pesawat terbang #2

18 6 0
                                    

aku memetik satu daun pohon jambu. Membuatku ingat ketika aku menimpuk Dyfal dengan daun pohon jambu ini. Kenangan yang masih melekat pada jiwaku, membuatku hanya bisa mendengar suara lugu kami.

Keramaian di tengah taman, seolah hilang di telan bumi. Tak terdengar apapun kecuali kenangan kami berdua.

Janji itu nggak akan diberikan dengan tulus. Hanya sebuah pengucapan dari kepolosan masa kecil. Mungkin, Dyfal juga sudah melupakanya, lebih asyik dengan dunia maya ketimbang masa lalunya.

Sekarang, cowok yang susah mengucapkan huruf 'R' itu, sudah menjadi cowok yang keren dan super. Cowok yang dulu selalu mengalah pada perempuan, sekarang telah menjadi cowok yang keren dan super. Cowok yang dulu sangat suka tersenyum, menjadi cowok yang keren dan super.

Mungkin, bukan artian dari kepahlawanan. Mungkin, maksudku mencerna kalimat Dyfal saat itu, mengira bahwa ia akan menjadi penolong. Suka membantu sesama manusia, menyebarkan senyum yang membuat seseorang ikut tersenyum.

Tapi kemungkinan juga, sekarang. Aku mencerna kalimat masa lalu itu bahwa, ia ingin menjadi berbeda. Berbeda menjadi cowok yang suka tersenyum, berubah menjadi cowok yang cuek dan tak peduli. Cowok yang dulu selalu mengalah, berubah menjadi cowok yang mementingkan ego, selalu emosi.

Kemungkinan juga, janji kita saat itu hanya omong kosong dari kepolosan. Hanya angin yang menerpa kita lalu hilang bersama awan saat itu.

Banyak sekali kemungkinan di dunia ini. Mungkin kita puas dengan sesuatu jawaban. Lega. Tapi, kemungkinan juga yang memberi pernyataan menghela napas. Kebimbangan yang membawakan keterpaksaan untuk mengatakannya.

Hah, aku menghela napas lagi. Membuang sembarang arah daun pohon jambu itu. Kembali menatap bintang gemintang.

Coba kalau malam ini, dengan bintang-gemintang yang memenuhi langit. Akan ada pesawat berkelip yang melintas indah, membuat salah satu janji kita saat itu pergi dengan keihklasan.

Hilfi tiba-tiba menghampiriku yang sedang melamun. Memberikan ku minuman, lalu bertanya. "Kenapa nggak ikut nari hawai-hawai deket api unggun, Ra?" tanyanya yang kubalas dengan helaan napas.

Hilfi mengangguk-angguk, lalu ngeloyor pergi menuju keramaian.

Aku menyeruput minuman Chuhai—kuusulkan Bang Akfa membuat minuman ini saja.

Aku duduk di kursi tua ini, masih kokoh walau aku jarang sekali mendudukinya. Walau sudah tua dan sedikit rapuh, tapi kursi ini masih kokoh.

Kembali aku menatap langit yang dihiasi bintang dan sinar rembulan. Berkali-kali menghela napas tertahan, berkali-kali juga berusaha menguak kebenaran dari apa yang di ucapkan Dyfal saat itu.

Berkali-kali juga berharap diberi keberuntungan melihat pesawat melintas saat malam hari. Meski kadang aku juga mendengar dengung pesawat saat malam hari, aku tak pernah menengok ke atas.

Dan saat itu, ketika pengharapan itu sudah tak terbatin. Dengung pesawat melintas menerobos bintang gemintang tanpa permisi, di atas sana terdengar. Aku mendongak, memastikan jika tak salah dengar.

Mataku membulat ketika melihat benda besar seperti burung, berkelap-kelip menerobos bintang. Bunyi dengung khas kendaraan besar itu masih jelas bisa kudengar.

Aku melongo, kehabisan kata-kata untuk mengungkapkannya. Lelah pikir dengan apa yang terjadi malam ini.

Dyfal lihat ini nggak ya? Apa dia lagi sibuk sama temen yang lain? Kalau aja dia juga lihat apa yang ada di atas langit, mungkin, satu janji juga ikut terbang di atas sana. Menari-nari karena telah terkabulkan.

Mataku terus mengikuti arah pesawat terbang, lama mendongak, tak membuatk leherku pegal. Meski masih tak tahu apakah dia juga melihatnya, tapi ku yakin, langit sedang menunjukkan kesaksianya.

Dan saat aku masih sibuk menatap benda besar yang terlihat kecil dari bawah sini, keajaiban datang.

Dyfal melihatnya, Dyfal juga melihat benda besar berkerlap-kerlip berjalan di tempat yang sama denganku. Beberapa langkah dari pohon jambu, tempat yang selalu kami jadikan tiduran. Dyfal melihatnya disana, meski tak dibawah pohon jambu ini, dia melihatnya.

Satu janji juga ikut terbang membelah bintang di atas sana. Tak terasa, kami berdua sendiri yang menatap janji itu. Tatapan mata kami, bukan tatapan kagum dari terbangnya pesawat dimalam hari, tapi tatapan melepas pergi janji kami.

Yang ada dipikiranku saat ini hanya, Dyfal ikut melihat pemandangan ini atau tidak? Sedangkan yang ada di pikiran Dyfal, Apa ini? Waktu yang indah untuk mengabulkan janji saat itu.

Hanya langit sendiri yang tahu pikiran kami masing-masing saat ini.

***

Aku ingin selalu bersama mu.

Dan semakin kuat perasaan itu, semakin berat bagiku menetap di sini.

Karena itulah momen ini, akan kita rangkul bersama di sini.

Bersama kita menghabiskan waktu. Dan merasakan keajaiban berdua.

Aku ingin hal ini berlangsung selamanya.

Ingin sekali kutatap matamu dan memberitahu mu.

Saat ini, hanya tanganmu yang ingin ku pegang. Tangan yang menggenggamku dengan kelembutanya. Dan buatku bisa menyampaikan segalanya.

Aku ingin kita bisa bersama selamanya.

Saat kuingat lagi ketika kita berjalan bersama. Aku merasa bisa kembali ke kala itu.

Kala kita menatap langit di bawah pohon jambu.

Terimakasih sudah memberi kesan abadi di dalam hati ini.

***

s w a r aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang