Saat acara selesai pun, aku sama sekali tak melihat batang hidung Dyfal. Mungkinkah Dyfal nggak dateng? Sekarang bukan itu yang aku pikirkan. Tapi, dimana pun keberadaan Dyfal, apakah dia juga melihat pesawat tadi juga.
"Ra, lo mau langsung tidur, atau melek bentar?" Sabila memecah lamunanku. Duduk dikasur sambil bermain HP-nya. Hilfi sedang tiduran di lantai, meminjam laptopku untuk melihat sesuatu.
Aku menoleh, mengernyitkan dahi. Apa?
Sabila menghela napas. "Biasane, lo jam segini udah tidur apa belum sih?" tanyanya yang kubalas dengan mengangkat bahu.
Sabila menyerah, kembali sibuk memainkan HP-nya.
Malam ini, aku duduk menatap langit lewat jendela kamar. Dengan ditemani angin malam yang dingin dan bintang-gemintang dansinar rembulan. Sesekali suara Sabila dan Hilfi yang berada di kamarku, sedikit mengganggu.
Dengan melihat pesawat terbang yang melintas tadi, membuatku tak lelah menatap langit. Bertanya ini itu pada dinginnya malam.
"Eh, Ra? Tadi lo kok nyempil di pot-pot bunga sih. Mana ngelamun lagi. Ngapain?" Tanya Hilfi, membuatku dan Sabila kompak menoleh.
Sebentar saja Sabila memandang Hilfi, Sabila kini ikut menatapku penasaran. "Iya ya, nggak nongol tadi lo waktu nari hawai-hawai." Sabila ikut di buat penasaran.
Aku mengangguk. "Lagi inget masa lalu aja." Jelasku.
"Punya masa lalu ya lo? kirain lahir langsung jadi gede gini. Haaahaha." Hilfi dan Sabila tertawa terbahak-bahak. Membuatku juga ikut tertawa, tapi bukan karena candaan Sabila barusan.
"Masa lalu? Kenapa? Cerita dong." Hilfi merubah posisinya menjadi duduk seperti Sabila.
Aku gelagapan, ya kali diceritain. Malu lah, walau itu masa lalu yang berharga, nggak akan aku ceritain.
"Cuma inget dimana gue tanam pohon jambu. Gue bingung, kalau pohonya udah gede." Jelasku ngawur. Tapi Sabila dan Hilfi dengan santainya ber-oh paham.
"Tadi siapa yang mulai nari hawai-hawai?" Tanyaku mengganti topik pembicaraan.
Wajah Hilfi dan Sabila langsung semangat. "ALOHA DI HONOLULU!" Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, membuatku dibuat bingung. mereka langsung berdiri dan menari-nari.
Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. "ALOHA DI HONOLULU!" Bang Akfa tiba-tiba muncul sambil menari-nari. Jadilah mereka bertiga menari-nari seperti itu.
Aku menggelengkan kepala, Bang Akfa keluar kamar sambil terus tertawa.
"Kenapa sih? Ketawaaa mulu!" Ucapku ketus.
Hilfi dan Sabila sepertinya tak memperhatikanku. Mereka terus menari-nari walau sudah kusuruh duduk.
"Hehe, hah hahaha!"
"Haaaa hahahaha!" Hilfi memegang perutnya, berusaha menghentikan tawanya. Sabila ketawa tapi nggak ada suaranya, kadang ada suaranya kadang gak.
"Nggak tahu ya, tadi seru banget kita narinya." Hilfi sudah tak tertawa, tapi tersenyum lebar, sampai matanya menjadi sipit. Sabila sudah pasrah, perutnya sakit tertawa terus.
"Tadi siapa yang mulai nari hawai-hawai?" Tanyaku lagi. Berusaha menahan rasa kesal melanda.
"Raeyken." Jawab kedua sohibku berbarengan.
Hah!? Raeyken?
Aku terdiam, membiarkan mereka berdua kembali tertawa. Sabila bolak-balik memukul Hilfi, menyuruhnya diam. Begitu juga dengan Hilfi.
"Lo jangan ketawaaa, muka lo ngepet kalo ketawa kayak gini!" Sabila memukul Hilfi sambil tertawa.
"Iya iya hoy, udah." Hilfi menyuruhku mengambilkan minuman, dengan melasnya aku mengambilkan sisa minuman Chuhai tadi. Bang Akfa membuat banyak, beberapa soda yang kubeli di jadikan Chuhai.
Setelah mengambil tiga gelas Chuhai dan beberapa bungkus cemilan, serta, tak lupa membawa satu botol besar fanta. Cepat-cepat Hilfi meneguk minumannya habis, Sabila langsung mengambil satu bungkus camilan.
Aku menatap mereka di tempat semula, dekat jendela kamar.
"Jadi gini, tadi Raeyken temen lo itu, jadi kayak pengantar makanan minuman gitu. Dia menyapa semua orang yang dilewati sambil nari hawai-hawai." Kembali Hilfi tertawa, Sabila sudah menimpuknya dengan bantalku.
Aku mengangkat sebelah alis, gak jelas nih.
"Terus waktu ke tempat kita kumpul deket kolam, dia naruh nampan. Terus nari hawai-hawai. Yang cowok ikutan nari, Ra. Lucu banget tahu nggak." Hilfi menutup mulutnya, berusaha tak tertawa.
"Apanya yang lucu, cuma gitu doang? Idih." Ucapku malas, kembali meneguk fanta.
"Teruuuus, terus siapa tuh namanya?" Sabila bertanaya kepada Hilfi. Aku menatap mereka kesal, kayak orang he ho banget.
"Ya, mana gue tahu." Jawabku ketika Sabila bertanya padaku. Dengan malasnya aku mencari tempat duduk yang nyaman. Beralih ke meja belajar.
"Oh, iya! Anak cowok ikut joget-joget. Kita yang cewek ketawa lihatnya, waktu Bima joget, pantatnya togel-togel tahu! Ekekek ngakak aku..." mereka tak henti-hentinya tertawa.
Aku ikut tertawa, bukan karena penjelasan Sabila dan Hilfi. Melainkan cara tertawa mereka yang lucu. Sabila tertawa menaik turunkan nadanya. "EEEEEH hehe HAHAHAH!" sedangkan Hilfi beda lagi, dia tersendat-sendat.
"Kita semua jadi pusat perhatian. Temen Abang lo sama Abang lo sendiri ikut nari juga. Dan karena tubuh bima yang agak gede itu, dia jadi susah nari."
"Dan yang paling lucu, waktu wahyu nari-nari kayak Roma Iramaaahahah." Hilfi menepuk-nepuk camilan yang masih terbungkus, sehingga camilan itu meledak dan berhamburan isinya.
Sabila dengan masih tertawa, memungut satu persatu camilan yang berserakan di sekitarnya.
Kini giliran aku yang tertawa terbahak-bahak, teringat waktu jaman masih kelas satu SMA. Dimana saat itu, wahyu lupa membawa baju seragam sehabis olahraga. Dengan panik, dia meminjam celana milik mamang kantin yang modelnya kayak celana Roma Irama.
Tapi warnanya sama dengan celana seragam kami, sehingga saat itu Wahyu di ledek hebis-habisa. Dikira salah jahit model celana lah, anaknya Bang Roma Irama lah, raja dangdut lah.
"Trus trus, gimana?" Tanyaku semakin penasaran.
Hilfi menghentikan tawanya. " Wahyu joget-joget didepan Hani. Ya kalo gue jadi Hani ya malu lah, dan Wahyu kena karmaaa. Keleset dan nymplung kolam."
Aku memukul meja belajar ku, tertawa terbahak-bahak. Membayangkan betapa sakitnya kepleset deket kolam.
"Dan sintignya. Buat naham rasa malunya, dia duduk di kolam sambil terus joget-joget. YUDIII! TETTERERET." Hilfi menirukan salah satu lagu milik Roma Irama.
"Heh heh, JUDI KAMBING. Lo kira mas Yudi satpam sekolah baru apa." Sabila berkata ketus.
Aku tertawa sambil terus memukul-mukul meja belajar. Hingga sesuatu berbentuk tebal jatuh. Sontak kami menghentikan tawa, menengok kebawah apa yang terjatuh.
Shit!
"Apa ini, Ra?" Hilfi mengambil benda itu lebih dulu, membuatku mengumpat beberapa kali.
***
Maaf ya akang Roma Irama, kami agak gak sopan dikit.