9. pecinta alam #1

41 11 12
                                    

Hari yang sudah ditunggu tiba. Hari dimana jabatan kakak kelas di klub Pecinta Alam, akan diserahkan pada adik kelasnya.

Sebenarnya ini, bukan hanya kegiatan yang akan dilakukan oleh anggota klub saja. Ada beberapa siswa kakak kelas yang ikut serta juga. Salah satunya kak Faiq.

Kami berkumpul di lapangan basket milik sekolah. Menunggu bis yang akan mengantar kami. Hilfi  juga ikut serta, katanya dia lagi sendiri dirumah, jadinya dia mau ngikut.

"Nanti lo duduk sama gue ya." Ucap Hilfi, aku menoleh, menghentikan senandung.

"Emang lo itu tuhan, berhak mengatur kejayaan hidup gue?" Kataku sinis. Hilfi melotot, aku hanya tertawa kecil melihat wajah sangarnya.

"Awas lo. Nanti nggak gue kasih camilan." Katanya 

"Bukanya nanti lo yang minta ke gue. Apakah dunia sudah terbalik sekarang?" Kami berdua tertawa, Hilfi memukul bahuku pelan.

Bis sudah datang, segera kami berdua mencari tempat duduk untuk dua orang. Yang tersisa hanya bangku dibelakakng dekat pintu. Tak apa, yang penting bisa mengistirahatkan pantat sebentar.

Bangku untuk tiga orang disebelahku kosong, tak ada yang menempati. Aku dan Hilfi hendak pindah, tetapi urung karena ada tiga cowok kakel yang segera menempati. Nasibku hari ini, salah satu dari mereka adalah kak Faiq.

"Gue dududk di deket jendela, Faiq dipinggir aja ya?" Mereka berebut tempat, aku hanya melihat mereka, Hilfi cuek, memutuskan untuk beristirahat sejenak.

"Lho, kak Faiq ikut juga." Sapaku bersamanya. Agak gugup memang, karena tempat duduk kami bersebelahan, hanya ada jalan kecil untuk lewat, sebagai pembatas kami.

Kak Faiq hanya menoleh, lalu memeasang headset  mendengarkan musik, mungkin. Aku terdiam, entah kenapa mulut ini mendadak bisu.

Bis berjalan perlahan, lalu mulai meningkatkan kecepatanya. Semua siswa sibuk dengan urusan masing-masing, yaiyalah, masa' ngurusin hidup orang. Lalu mulai lengang, mungkin mereka semua sudah lelah berkicau.

Mulutku ini juga sudah melewati batas maksimum nya. Sudah tak dapat berkata-kata, mungkin karena Hilfi juga sudah terlelap, penyakit kami jadi hilang.

"Nggak tidur?" Ucap kak Faiq pada akhirnya.

Aku mengeleng sebagai jawaban, memang sedang tak mengantuk. mungkin nanti. Aku menoleh kak kak Faiq, bertanya dengan pertanyaan yang sama.

Kak Faiq juga menggeleng, ikut menatapku, hingga mata kami saling bertabrakan. Tak terasa, mungkin kami sudah cukup lama dengan bertatap. Aku sadar, dan memalingkan muka. Ingin ku teriak, dedek gak kuat bang.

"Temen kamu yang sebelah itu namanya siapa?" Tanyanya. Aku menoleh.

"Oh, ini Hilfi." Jawabku, lalu tersenyum simpul.

" Kok aneh ya, wajahnya." Kak faiq, meneliti, menoleh ke arah kami berdua. Sehingga jarak ku dengannya cukup dekat, dan dekat.

Aku tertawa, terbahak. Begitu juga dengan kak Faiq, ikut tertawa. Jadilah kami mengobrol, sampai tak terasa, salah satu teman kak Faiq terbangun dari mimpi. Melihat kami berdua yang terbahak-bahak, juga mengobrol. Membuat kami semakin akrab. 

"Duh, Faiq nih, punya gebetan baru kok nggak bilang-bilang." Katanya sambil menguap. Mengusap wajah baru bangun tidurnya.

Kami terdiam cukup lama, kak Faiq menatapku. Aku juga menatapnya. terulanglah kembali kejadian tatap-menatap.

"Ya. Mungkin dia bisa jadi gebetan gue." Katanya sambil terus menatapku.

Aku tersentak. Menoleh, memandang mata hitam nya yang bersinar. 

s w a r aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang