50. markas

24 8 2
                                    

Hari itu, kulihat dirimu menatap langit senja.

Dan akupun jatuh cinta.

Matahari terik mambakar bumi. Segera aku, dan juga Hilfi memasuki ruang rapat. Akan ada rapat untuk para ketua klub, membahas tentang acara ulang tahun sekolah, yang tak lama lagi di laksanakan.

Masih sedikit yang hadir, ada beberapa osis, juga teman-teman ku yang menjadi ketua klub, sudah duduk rapi di bangku masing-masing. Swara menyapa teman-temanya, duduk berdekatan dengan Hilfi.

"Aduh, udah ganti aja ya, ketua klub Pecinta Alam." Zhafia tiba-tiba saja nongol dari balik pintu. Menggodaku yang asyik mengobrol dengan yang lainnya. Zhafia duduk di sebelah kanan ku.

"Aduh, ketua klub Mading tambah cantik aja ya." Kini giliranku yang menggoda Zhafia. Hilfi yang mendengar itu, berusaha menahan tawanya.

Zhafia meletakkan map merah miliknya—entah apa isinya, mungkin laporan gosip bulanan. Zhafia dan Hilfi asyik bercanda, hingga tibalah saatnya, mereka bertengkar.

Tak lama, pertarungan Hilfi dan Zhafia berakhir setelah ketua osis memasuki ruangan. Kami semua berdiri, memberi salam seperti biasanya, lalu kembali duduk.

Zara duduk disebelah Hilfi, jadilah sekarang Swara dihimpit oleh Hilfi dan Zhafia. Rapat berlangsung lancar, ada beberapa kolaborasi antara beberapa klub. Terutama klub Voli dan klub Basket, Rangga dan Hilfi kolaborasi?

Rangga tak keberatan berkerja sama dengan Hilfi, toh ini malah mempermudah pekerjaan sesama klub. Mading kolaborasi dengan klub Seni. PMR dengan klub Drama—sepertinya mereka akan membuat pertunjukan Drama.

Swara menghembuskan napas tertahan, belum bisa berpikir cepat kali ini. Kalau nggak kolaborasi, bakal banyak tugas-tugas kelompok. Apa lagi kita belum bikin temannya.

"Gue maunya kolaborasi sama klub Voli. Tapi kalo mereka udah kolab sama Basket, gue nggak pa-pa kok." Aku menyerahkan keputusanku di meja rapat, juga menyerahkan lembaran-lembaran tentang perencanaan penampilan klub ku. Walau sedikit nggak jelas sih.

Zara, wakil ketua osis mengut-mangut. Membaca lembaran-lembaran yang kuserahkan tadi.

Hilfi tak keberatan jika kolaborasi dengan klub ku. Toh, katanya yang penting anakanya tomboi semua. Rangga menghela napas, menurut dengan Hilfi. Dan, baiklah, kami bertiga akan menunjukkan tampilan yang hebat.

Rapat selesai sekitar pukul 16.20 kami keluar dari ruangan rapat bersamaan. Zhafia menguap, tadi sempat tertidur di tengah-tengah rapat. Hilfi menghirup udara banyak-banyak.

"Awas, malah nggak bisa napas lo nanti." Rangga mendorong tubuh Hilfi yang menghalangi pintu rapat. Sehingga, pintu yang terbuka sedikit tadi, terbuka lebar-lebar.

Hilfi geram, menatap Rangga tajam. "Emang kalo gue nggak bisa napas gimana? Apa urusan lo?" Hilfi ngotot, meninggalkan ku, Zhafia dan Rangga yang menatapnya bingung.

"Yah gue kasih napas buatan lah." Ucap Rangga lirih, tapi masih bisa di dengar oleh telinga sehat. Naden budek, nggak bakal bisa denger semut nangis.

Sesama umat menghabiskan waktu seharian di kantin, mengobrol—saat Zhafia nongol, baru mulai menggosip. Raeyken tadi pamit sebentar menemui Kak Faiq, aku mengangguk.

"Gimana hasil rapat?" Tanya Dyana yang duduk di sebelah Hilman. Tangannya menggelayut di lengan Hilman, padahal Hilman asyik bermain game.

Hilfi mengedikkan bahu, tak peduli. Finda dan Zara belum keluar dari ruang rapat tadi, yah, walaupun Finda datang terlambat. Rangga sibuk mengotak-atik HP-nya, mau main bareng sama Hilman katanya.

Sabila memesankan minunan untukku. Zhafia sepertinya lelah.

"Gue kok udah males hidup, tapi nggak mau mati ya?" Zhafia menatap temannya satu-persatu.

Hilfi tertawa. "Soalnya kalo lo mati, nggak ada yang ziarah ke makam lo kan?" Kami semua tertawa, kecuali anak cowok yang sibuk bermain game.

Zhafia menimpuk Hilfi dengan tisu. "Mendingan mati gue gorok aja, eh, panggilin Alya aja." Ucapan Dyana barusan, membuat pertaruangan Hilfi dan Zhafia terhenti.

"Njir, Psikopat." Naden cekikian, menggebrak meja, karena taka tahan dengan ucapan Dyana barusan. Hani mengguyur Naden dengan kuah bakso, gebrakan meja tadi, membaut baksonya terjatuh ke tanah.

"Nadeeen, ih. Kan, baru juga dianterin pak Ipin tadi baksonya." Hani masih uring-uringan.

"Aku belikin lagi nggak, Yang?" Wahyu beranjak, menaruh HP-nya sebentar mendengar Hani marah gara-gara bakso.

Hani menghembuskan napas kasar. "Apaan lu, Yang yang yang yang. Ogah gue." Hani meninggalkan bangku kantin, hendak membeli bakso lagi. Tapi Wahyu segera berlari, menyuruh Hani untuk duduk manis saja.

Aku geleng-geleng kepala melihatnya.

Saat sedang asyik mengobrol, Dyfal, Gilang dan Jua datang. Sepertinya mereka selesai melakukan latihan, tadi Gilang tak ada di rauang rapat, malah di gantikan Faiz.

"Hoey, nggak ngajak nih." Dyfal menatap Rangga dan Hilman yang sedang bermain game.

Sekalipun, Dyfal tak menatapku. Aku menghembuskan napas, untung udah punya rencana yang semoga mengalir lancar seperti darah.

Sabila datang membawa minuman yang tadi kupesan. "Makasih ya, Bil. Itu kembaliannya buat lo aja." Sabila tersenyum, lalu duduk di sebelah Dyana, tapi segra di usir oleh Dyana. Mengganggu ke romantisanya sama Hilman katanya.

Segera Sabila beralih duduk di sampingku, tapi di cegah oleh seseorang. Sabila mematung, membuatku menoleh. Raeyken, ingin duduk di sebelahku.

Aku tersenyum, Sabila mengalah, duduk di depan Naden.

Raeyken balas tersenyum menatapku, semuanya sontak melihat tingkah laku kami, yang agak romantis katanya Zhafia. "Kayaknya mereka ada hubungan spesial deh. Lumayan romantis beb, kayak di Drakor gitu."

Raeyken menatap minuman milikku. "Boleh minta?" segera aku mengangguk. Rangga menghentikan mainan gamenya. Begitu juga dengan Hilman yang menatap kami , segera mengelus pucuk rambut Dyana. Cemburu.

"Ikut gue yuk, Ra." Raeyken beranjak, menarik tanganku menjauh dari kantin.

Aku menurut, semuanya menatap kami, bahkan bu Ani—ibu kantin menatap kami berdua.

"Mau kemana?" Tanyaku saat kami menaiki tangga. Raeyken tak menjawab, terus menggandeng tanganku.

Oh, sepertinya aku tahu. Rooftop, ini sudah berada di ujung anak tangga. Dan benar saja! Sudah ada kak Faiq disana. Menunggu kedatangan kami berdua.

"Udah mau sunset." Sapa kak Faiq menyambutku. Aku tersenyum, menunjukkan gigi yang berbaris tertata rapi.

Kami bertiga duduk di bangku buatan milik kami. Ternyata tadi Raeyken membuat bangku ini saat bertemu dengan kak Faiq. Markas, inilah sebutan bangku yang cukup untuk tiga-sampai empat orang. Aku duduk diantara mereka berdua, kak Faiq dan Raeyken.

Kami bertiga terdiam, saling menatap langit satu sma lain. Semburat berwarna jingga mulai menghiasi langit. Aku tersenyum menatap awan yang seperti kapas.

Pukul 18.00 tepat matahari mulai tenggelam. Menyisakan kemerah-merahan dilangit.

Tak kusadari, tenyata sedari tadi saat aku menatap langit, Raeyken terus saja memandangku. Lalu tersenyum.

Hari itu, kulihat dirimu menatap langit senja.

Dan akupun jatuh cinta.

Benih-benih cinta datang seiring bulan yang akan datang menghiasi malam. Bintang-gemintang yang menghiasi langit, kini beralih menhiasi hati Raeyken.

Malam itu, kami habis kan hanya untuk menatap langit.

***

Gw kemaren habis nanem benih cabe, ada yang peduli gak? :"(

s w a r aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang