Kini pukul 17.00 waktu untuk kontes perlombaan gitar. Dyfal urutan delapan, sehingga Swara tak tertarik untuk melihat sekrarang. Masih lama. Pengumuman pemenang lomba menyanyi juga di akhir acara.
Jua masih setia duduk di bangku peserta, Gilang di meja panitia. Kaiken sedang bersiap-siap, sama seperti Dyfal. Kaiken urutan nomor enam.
Kembali Swara menyibak kerumunan, berkata lirih bolak-balik, permisi. Awalnya sekedar membeli soda lagi di mesin penjual otomatis, tapi kak Faiq juga ikut membeli soda lagi.
Kami berdua duduk di bangku sebelah mesin penjual otomatis, terdiam satu sama lain. Mendengarkan petikan gitar.
"Eh, udah mau ada sunset kan. Ke rooftop nggak?" Tanya kak Faiq. Swara menoleh, berpikir cepat, benar ini waktu yang pas untuk melihat sunset. Tapi jika keasyikan di rooftop nanti, bisa-bisa telat nonton Dyfal.
Swara mengangguk, menyetujui ajakan kak Faiq. Aduh, kenapa tadi nggak di ajak Kaiken aja ya?
Kak Faiq berjalan di depanku, di belakang Swara terus membuntuti. Hingga naik lift, kami juga masih terdiam, untung banyak orang, jadi nggak canggung.
Pintu lift terbuka dan berdenting, semua orang yang memenuhi lift keluar. Ini masih di lantai lima belas. Katanya kak Faiq mau ketemu kenalannya dulu, aku sekali lagi mengangguk dan membuntuti dari belakang.
Kak Faiq memasuki kamar hotel milik kenalanya, aku menunggu di luar sambil melihat kesibukan pengunjung lain. Lima menit kak Faiq baru keluar dari kamar hotel itu, Swara menoleh, seorang cewek cepat-cepat menutup pintunya.
Cewek? Kayak kenal tadi.
"Udah kak?" Tanyaku memastikan, mungkin itu kekasihnya atau memang kenalannya yang ingin bertemu.
Kak Faiq diam, tak banyak bicara. Tapi akhirnya menjawab pertanyan Swara setelah memasuki lift, hanya berdua di lift.
Kak Faiq tersenyum. "Udah cukup." Jawabnya datar. Membuat suasana canggung.
Swara mangut-mangut. "Ngapain kak? Eh, maaf bukannya—"
"Itu pacar gue, tadi dia minta kita putus." Kembali kak Faiq berucap datar. Wajahnya tak sedih, juga tak senang. Tapi terlihat seperti marah mungkin.
"Mantan." Ucapku lirih, tapi segera menutup mulut ketika kak Faiq menatapku.
Lift kembali terbuka dan berdenting, kak Faiq berjalan keluar. Lalu kami mengendap-endap menuju tangga darurat—satu-satunya jalan menuju rooftop yang di larang. Tadi waktu aku mencari Jua di rooftop, juga lewat sini.
Swara tersenyum, menghela napas. Menarik napas dalam-dalam walaupun udara Jakarta tercemar. Kemacetan dari atas sini menjadi indah, seperti robot ular yang panjanganya tak memungkin kan.
Sunset belum sepenuhnya datang, tapi gumpalan awan yang seperti kapas berwarna orange. Terkena siluetnya matahari. Langit tampak jingga. Kak Faiq melamun menatap langit, sedangkan Swara asyik menatap kemacetan.
Terdengar kak Faiq menghela napas tertahan. "Kak Faiq patah hati ya?" Tanyaku tanpa ragu, mungkin karena suasana di sini tak terlalu canggung dan sunyi.
Kak Faiq menggeleng. Kembali menghela napas nya.
"Dia minta putus hubungan secara baik-baik. Jika salah satu diantara kami ada yang gak mau, berarti tetap menjalin hubungan. Tapi kami sama-sama menolak."
"Kok bisa kak? Maksudnya.., kok kayak gitu sih?" Swara mendekat, menatap Kak Faiq curiga.
Jarak kami cukup dekat, besisian bukan berhadap-hadapan. Hayoo, kalian pikir kita mau ciuman waktu sunset gitu yah, nggak demen.