Malam harinya, Gilang mengajak kami semua untuk menghadiri pesta kemenangan Jua dan Dyfal. Seperti yang ku yakini, Dyfal masih tak menjemputku. Untung Raeyeken juga diundang, sehingga kami berdua berangkat bareng.
Di perjalanan, kami berdua asyik mengobrol, sesekali di selingi canda tawa. Raeyken orangnya asyik, bener katanya Ali.
"Terus Kak Faiq marah-marah gara-gara celana dalemnya gue lempar di pohon jambu. Nyantol, nggak bisa di ambil." Aku tertawa, sampai memukul dashboard.
"HAHA. Trus di biarin aja gitu, nyangkut di pohon?" Tanyuku penasaran. Raeyken masih cekikian.
"Ya dibiarin aja, kan bisa beli lagi. Tapi ya gitu, dia malu dilihatin tetangga."
Tak terasa, mobil sudah menjejaki halaman kafe. Seketika kami terdiam, segera Raeyken mencari tempat parkir.
Kami berjalan bersisian, dengan bergandeng tangan yang sekarang sudah kami biasakan. Aku mencari batang hidung teman-temanku, celingukan.
Terdengar tawa membahana dari mulut toanya Sabila. Aku menarik tangan Raeyken untuk mengikuti langkahku. Raeyken nurut, malah senyum-senyum sendiri melihat tangan kami yang bergandengan.
"Nah, tuh Swara dah dateng." Zara melambaikan tangan, aku balas melambaikan tangan. Melewati Dyfal yang duduk di pojok, melamun dan sekali pun tak menatapku.
Aku tos dengan sesama umat ala anak SMA pada umumnya. Lalu duduk berhadapan dengan Raeyken, Hilfi seperti biasa, memandang Raeyken aneh. "Ngapain lo, Hil?" Tanya Rangga tiba-tiba. Membuat Hilfi salah tingkah.
"Apaan sih, ganggu." Jawab Hilfi, menjulurkan lidahnya, mengejek Rangga.
"Dasar. Otak mesum." Seketika Rangga di timpuk bantal kafe oleh Hilfi. Membuat Rangga mendelik, terkejud. Hilfi tak peduli, segera menyeruput minumannya sambil terus menatap Rangga tajam.
Tiba-tiba saja, Gilang beranjak dari duduknya, menatap kami satu persatu. Sehingga, kami yang tadinya asyik mengobrol, sekarang ikut menatap Gilang penasaran.
Gilang menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan.
"Jadi, gimana? Kalian suka nggak, sama pesta ini?" Gilang bertanya, membuat kami cepat-cepat mengangguk.
"Gue ngadain pesta ini, karena disuruh sama Kepsek. Katanya, biar keponakanya seneg, udah banggain nama sekolah juga. SMARTA, selalu menjadi permata!" Gilang bertepuk tangan, kami semua tertawa, ikut bertepuk tangan.
"Heh, Smarta. Yang di banggain juga murid yang itu-itu aja." Dyana menimpali, berbisi ke Naden.
"Yah, terus apa yang patut di banggain dari kita-kita yang kayak gini?" Dyana terdiam, membuat Naden juga menhantikan ritual gosipnya.
"Selamat untuk pemenang, Dyfal daaan.., Juaaa. Kami bangga sama kalian yang udah mengharumkan nama sekolah." Gilang kembali bertepuk tangan, kami juga terus bertepuk tangan. Bahagia.
Hani berdecih, membuatku dan Zhafia menoleh. "Nama sekolah aja yang di harumin. Perpustakaan aja nggak harum-harum. Mana pengharumya macet nggak di ganti lagi." Gerutu Hani. Tepuk tangan seketika terhenti.
"bener, pembatas net aja udah gopal nggak di belikan lagi." Hilfi menimpali.
Sabila mengangguk, sebagai teman sesama klub voli dengan Hilfi.
"Racun sekolah ini tuh, nyuruh kita buat pinter, tapi gurunya aja nggak ada yang pinter." Sabila menunjuk-nunjuk Hilfi, seakan-akan Hilfi adalah guru.
"Lumayan. Sini, kelas pintu udah macet nggak di ganti. Gitu yang di marahin murid." Aqda ikut nimbrung dalam percakapan.
Gilang menghela napas, menatap Jua yang dengan sabarnya mendengarkan keluhan teman-temannya. "Kok malah, jadi nggosip, sih?" Sabila diam, menutup mulutnya.
"Jadi gini, pesta ini nggak Cuma ngerayakin kemenangan dari temen-temen kita. Tapi juga...," Kalimat Gilang terhenti ketika ada pelayan yang mengantarkan makanan milik Raeyken.
Pelayan permisi, berllau dan mengerjakan tugasnya kembali.
"Jadi.., gue juga mau. Mau. Mau. Mau, mau nembak Jua—" Gilang berlari ke arah Jua. Terkejud, sama halnya dengan kami semua.
"HOOOH?" Zhafia melotot, mentap takjub Gilang dan Jua bergantian.
"Nyali lo, brother." Wahyu menepuk bahu Gilang yang jongkok memberikan cincin ke Jua.
Aku bertepuk tangan, Raeyeken menatapku saataku tersenyum lebar. Terharu dengan keberanian Gilang. Dan apa yang terjadi? Jua mengangguk, menerima perasaan Gilang sepenuh jiwa.
dan hari itu, juga hari-hari berikutnya. Gilang dan Jua resmi berpacaran. ternyata kepala sekolah sendiri yang menyuruh Gilang menjaga Jua lebih baik. lebih memberikan kasih sayang sekedar teman.
Dan yang jomblo di sesama umat semakin sedikit. Janji-janji kehidupan kami masing-masing, sudah menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
s w a r a
Любовные романыMembagi cerita tentang pengorbanan hal kecil bernama 'cinta'