Jalan kita berbeda
Bagai sel darah merah, dan sel darah putih.
Setelah kejadian kemarin. Dyfal tak menjemput, padahal, dia sendiri yang ingin datang ke sekolah. Membantu menyiapkan acara ulang tahun sekolah, memberikan tampilan untuk semua yang hadir.
Sekarang, gadis itu sengaja datang terlambat, toh ini juga hari libur sebenarnya. Raeyken yang akan menjemput, Kak Faiq berhalangan, katanya akan ada pesta perayaan setelah UN minggu kemarin.
Di dalam mobil, sejenak Swara menghilangkan kejadian kemarin dari memori otaknya. Takdir yang akan menghapus kejadian-kejadian secara perlahan, hingga waktunya sendiri yang akan tiba.
Raeyken mematikan mesin mobil, menyuruhku segera keluar. Swara mengangguk, turun, diikuti Raeyken yang akan menjaganya sekarang.
Kami berjalan bersisian, hingga saat beberapa langkah lagi kami mendekati segerombolan orang yang sangat Swara kenali. Raeyken tiba-tiba menggandeng tangan Swara. Dan Swara tak terkejud, ini sudah bagian dari rencana mereka semalam.
Teman sesama umat dan anak cowok seperti biasa, duduk santai di hamparan rumput taman. Sesama umat duduk di bangku, anak cowok duduk bersila di rerumputan. Ada Dyfal juga di sana.
Mereka semua asyik mengobrol, sepertinya sedang menggoda seseorang di sana. Hingga Swara menyapa mereka, dan terkejud lah mereka dengan kehadiran Raeyken. Tapi Dyfal dan Jua tidak.
"Hai." Sapaku pada akhirnya. Dyfal yang tahu kehadiran ku tak menatap ku sama sekali. Jua menunduk, sesama umat bingung dengan kehadiran Raeyken. Apa lagi dengan tangan yang menggendeng lekat.
"Boleh geser dikit, Hil?"
Hilfi menurut, walaupun dengan terus menatap Raeyken. Bergeser sedikit, memberikan tempat nyaman untuk Swara.
Sesama umat masih bingung dengan keadaan yang tiba-tiba sunyi. Yang tadinya sibuk menggoda Gilang dan Jua terhenti.
"Nggak duduk?" Tanyaku ke Raeyken. Sengaja dengan nada melembut, juga termasuk dari bagian rencana.
Juga tak mengaktif kan HP semalam, karena Jua yang sibuk bercerita tentang kejadian waktu itu. Dan bersikap senormal mungkin, agar semuanya tak membahas kejadian waktu itu.
"Gue berdiri aja." Swara menggeleng, membiarkan Raeyken berdiri di sampingnya.
Semuanya diam, walau sudah tak menatap Raeyken lagi. Suasana mendadak canggung.
"Gue mau latihan di ruang musik dulu." Dyfal beranjak, semuanya beralih menatap punggung Dyfal yang memasuki gedung sekolah.
Gilang menyusul, membantu Dyfal untuk latihan. "Eh, bebeb Juanya kok di tinggal, Lang?" Aqda nyelutuk, membuat semuanya tertawa. Jua menundukkan wajahnya, malu. Sementara, semuanya kembali menggoda Jua—karena Gilang udah nyusul Dyfal.
"Gilang jadi nembak Jua?" Tanyaku, ikut tertawa, walaupun tak teralalu paham dengan apa yang terjadi.
"Tadi Gilang kepergok mau nembak Jua. Dan akhirnya Gilang nggak jadi nembak deh." Jelas Hani. Membuat semuanya kembali menggoda Jua.
"Terus kita godain mereka. Jua kalo di godain kan mesti kayak gini. Gilang mah, kesenengen, nyengir kuda malahan." Lanjut Bima, dan akhirnya kita habis kan candaan dengan menggoda Jua.
Anak cowok mulai bosan. "Main sepak bola yuk?" Raeyken mulai menjalankan rencana. Seperti yang kuduga, anak cowok bakalan mau-mau aja. Dan tinggalah sesama umat di sini.
Sesekali Dyana masih menggoda Jua. Juga celutukan dari Zara dan Zhafia.
Sampai waktu yang tepat. Mereka semua sudah tak menggoda Jua. Dan ini lah, saatnya untuk menunjukkan rencana-rencana yang semalam di buat. Sesama umat dulu yang akan tahu, dan Dyfal nggak akan di beri tahu, sampai kapan pun.
"Gue, mau bilang sesuatu nih. Hehe." Sesama umat semuanya menoleh. Membuat kata-kata yang akan ku ucapkan, tercekat.
"Kalian pasti udah tahu tentang pelakuan Dyfal kemarin ke gue. Ju, lo cerita ke mereka kan?" Tanyaku langsung ke pokok. Tak meperdulikan situasi yang muali aneh. Firasat-firasat buruk yang di pikirkan semuanya.
Jua perlahan mengangguk. "Dan apa yang lo semua pikirin waktu denger kabar itu?" Giliran ku bertanya pendapat ke semuanya.
"Kesel." Jawab Zhafia mengawali.
"Marah." Lanjut Hilfi, dan anggukan oleh Hani dan Zara.
"Bingung." Jua menghela napas.
"Pingin kubur hidup-hidup." Dyana mengangguk antusias. Naden menatap Dyana aneh, cekikian.
"Pingin nyolok matanya." Sabila gemas menujuk-nunjuk jarinya ke depan. Seakan-akan, ada Dyfal di sana.
"Bodo amat lah ya?" Naden langsung mendapatkan tatapan tajam dari semuanya.
"Semoga sehat selalu." Finda tersenyum.
"NGGAK AMIN!" Semuanya menggeleng. Berusaha ku tahan tawa. Finda menatap mereka semua bingung.
"Makasih buat emosi kalian, gue sebenarnya juga agak kesel, marah, bingung. Tapi gue punya rencana yang lebih baik buat nenangin diri. Dan Bang Akfa juga setuju, cowok yang kalian lihat tadi, namanya Raeyken. Nah, Raeyken sama Kak Faiq bakal bantu—"
"Tunggu, maksud lo apaan?" Zara mulai mengerti arah pembicaraan. Semua murid di sekolah, juga tahu kalau Kak Faiq bakal kuliah di Jepang. Dan itu udah pasti.
Mendengar ucapan Zara. Semuanya langsung mengerti arah pembicaraan. Menatapku penasaran.
Swara tersenyum. "Gue bakal jelasin semuanya. Tapi janji." Swara mengulurkan jari kelingking nya. Memberikan sumpah janji agar tak di bocorkan pada siapa pun.
Semuanya mengangguk, dan dari raut wajahnya, sepertinya mereka benar-benar nggak akan bocorin rencana ini. Kecuali Zhafia yang belum bisa di aman kan.
Kembali Swara tersenyum. Senyuman yang amat meyakinkan dengan rencana ini.
"Janji nggak akan di bilangin ke Dyfal dan semua murid lainya. Kecuali mungkin, anak cowok nggak apa-apa, kan beberapa juga pacar kalian." Swara terkekeh, sedangkan semuanya menatap gemas, penasaran.
"Gue bakal berangkat ke Jepang tiga minggu—"
"What?!" Hilfi terkejud, dan semuanya juga terkejud. Tak perlu melanjutkan apa-apa lagi, mereka semua paham.
"Tapi habis ini kenaikan kelas loh, Ra." Hani mulai mebujuk. Tapi percuma, rencana ini akan menjemput janji-janji kehidupan yang lebih baik.
Tetap tersenyum. "Gue bakal ke Jepang secepatnya. Dan lo, Hil, gue bakal jemput lo di bandara waktu lo mau ke Jepang juga. Bil, lo jadi nggak kuliah di Jepang? Nanti berangkat bareng Hilfi okay."
"Karena masalah itu lo bakal—" Swara memotong kalimat yang akan di ucapkan Zhafia. Menggeleng, mengerti benar apa maksud tatapanya.
"Gue yakin, Dyfal lebih marah lagi ke gue waktu acara ulang tahun sekolah. Gue yakin apa yang gue rencanain benar. Gue bakal jemput janji kehidupan gue." Jelasku.
Hilfi menghela napas, Zara masih menatap ku tak percaya. Dyana diam menatap dedaunan yang jatuh dari pohon. Naden terkekeh, merasa belum yakin. Sabila, menyimpan seribu pertanyaan yang tak bisa ia lontarkan.
"Tolong jangan beri tahu Dyfal tentang rencana-rencana ini. Gue udah percaya sama kalian, dan gue yakin. Amat yakin dengan janji kalian."
Berusaha menahan air mata yang sudah membendung. Tak akan ku biarkan bulir-bulir itu berjatuhan.
"Jalan kehidupan kita berbeda. Walau satu jalan, tapi beda tujuan."
Dan saat itu, Raeyken tak fokus bermain bola. Menatap kami semua dari kejauhan.
***
V :)
O :)
T :)
E :)