DYFAL POV
Hari ini Swara pulang dari acara klub Pecinta Alam. Aku masih bertengkar dengannya, aslinya sih, nggak tahan diem-dieman lama-lama. Tapi aku bener-bener kesel sama dia.
"Lo nggak jemput, Swara, dy?" Tanya Lucky. Kami sedang berkumpul di rumah Aqda, mengerjakan tugas.
Aku tak memperdulikannya, sibuk mentap layar hanphone. Lucky gemas melihatku, dia menyenggol lenganku ringan. Lalu memasukkan es batu kedalam mulutku yang terbuka.
Aku menoleh, membuang es batu tadi. Lucky nyengir, menggeser posisi duduknya.
Aqda, Bima, Ali, dan juga Erro menghampiri kami. Ikut nimbrung dalam pembicaraan.
"Katanya Swara gantiin posisinya kak Ferdian." Ucap Aqda basa-basi. Semuanya menoleh ke arah Aqda, yang ditoleh hanya tersenyum sinis.
"Tau dari mana, lo?" Tanya Dyfal, mulai tertarik. Aqda menoleh ke arah Dyfal dengan tatapan mengejek.
"Kepo." Aqda tersenyum penuh kemenangan. Yang lainya tertawa karena melihat wajah Dyfal yang memerah.
"Lo juga gak tau kan, Swara waktu acara jurit malam, digendong sama salah satu kakak kelas." Kali ini Aqda mulai bicara kemana-mana. Bahkan kejadian yang belum aku katahui, sudah diketahui oleh yang lain.
"Sudah-sudah..., dai pada ngurusin orang yang lagi cemburu mending ngurusin masalah gue waktu bolos kemarin itu." Ali menengahi, mengontrol suasana agar tak dingin.
"Oh ya, ada cewek yang ngelaporin kalian waktu bolos itu ya." Bima ikut-ikutan. Mungkin dia tak tertarik dengan kisah cinta gue.
"Oalah, si Naden itu tho? brengsek memang." Ali menjawab sambil senyum sarkatis. Mengejek si Naden, salah satu sahabat nya Swara.
Semuanya mengangguk, mengerti lah, bahwa cewek itu selalu ngadu.
"Terus, akhirnya gimana?" Tanya Lucky, dia nggak ikut bolos, gue juga, takutnya Swara makan ginjal gue.
Ali mengedikkan bahu, tanda tak peduli, juga Aqda, dia tak terlalu memepermasalahkan soal seperti itu. Bagi cowok mungkin, bolos adalah suatau hal yang tak perlu dipikirkan, tapi langsung dilakukan.
Aku mengikuti pembicaraan dengan malas, tak mau ikut campur. Mending nonton bokep, kalo gak main game.
***
Gue nunggu jemputan sama Hilfi didepan gerbnaag sekolah. Dari pada nunggu didalam sekolah, malah capek hilir-mudik kelur sekolah. Kami menunggu tak beberapa alam setelah Bus yang kami tumpangi terparkir rapi di lapangan.
"Emang yang jemput kita siapa?" Tanya Hilfi heran. Aku menggeleng, juga tak tahu siapa yang akan menjemput putri alam.
Kami menunggu sambil menyibukkan diri. Kaki ku masih rada sakit, tapi tak apalah, masih kuat untuk berjalan. Acara kemarin juga berjalan lancar, cuma di acara utama saja agak berdrama.
"Dyfal suruh jemput gih." Suruh Hilfi tak sabar, aku menoleh, menggeleng. Teringat pertarungan kami yang belum berdamai.
Aku membuka app chatku, mungkin ada yang penting. Tapi hanya di grup chat sesama umat dan klubku yang ramai, juga ucapan selamat dari beberapa siswa. Dyfal. Dyfal tak menchatku sama sekali, membuat pertarungan kami semakin sengit.
"Ngapain kalian. Wadawh, gaka ada yang jemput." Ejek Rangga yang tiba-tiba lewat dengan mobil milik... Bapaknya. Hilfi tertawa sarkatis, mengejek nya.
"Elalah, ada pangeran bawa tahta bapaknay." Sindir Hilfi, aku mebiarkan mereka berdebat. Capek juga ngurusin tikus sama kucing.
"Eh, apaan lo! bentar lagi ini mobil jadi milik gue." Jawab Rangga tak terima.
" Yah..., bekas." Hilfi menambah suasana dingin, mungkin perang dingin antara suku tikus dan suku kucing dimulai.
"Eh, bekas-bekas gini harus disyukurin. Ini masih nyaman kok, bagus pula, AC nya masih seger ayem."
"Mana buktinya?" Hilfi melotot, berdiri dari posisi duduknya.
"sini deh, gue anterin kalian berdua pulang." Rangga menawarkan, tawaran yang bagus untuk kita berdua. Sepetinya Hilfi mempunyai rencana.
"Ok." Hilfi mengambil ransenya, menajakku untuk msuk ke mobil bapakknya Rangga. Aku tersenyum, Hilfi hanya tertawa kecil sembari membuka pintu mobil.