Sepuluh tahun yang lalu...
seperti biasa, kami bermain di taman belakang. Bunda sempat mengingatkan kami agar tak lagi membawa bantal ke taman, kami mengangguk jahil.
Karena tak ada bantal-bantal empuk yang dapat kami gunakan untuk tiduran, Dyfal memutuskan bermain yang lain. "Apa? Jangan nakal loh ya." Ucapku mengingatkan.
Dyfal tertawa cekikian, menarik tanganku untuk lari menuju pohon jambu. Aku masa kecil dibuat bingung. mau apa di pohon jambu?
Dyfal yang menyadari aku diam saja, memutuskan memanjat pohon itu. Aku membulatkan mata, terkejud.
"Ifal turuuuun. Nanti kita dihukum lagi kayak kemarin loh. Ifal turuuun." Aku menarik ujung bajunnya, sayang kekuatan nya lebih besar. Dyfal cepat-cepat memanjat sampai dahan yang paling kuat. Duduk terlentang diatas.
Aku cemberut, meletakkan tangan di dada.
Dyfal menatapku heran, lalu mengamati sekitar. "Nggak bisa naik ya Swala?" aku marah, tak mau menatap Dyfal. Akhirnya Dyfal turun, aku menatapnya sekilas.
Dyfal mengulurkan tangannya. "Kalo diduduki berdua, pohonya bisa loboh. Kamu aja yang naik." Ucapnya sambil tersenyum, menunjukkan gigi-giginya. Aku langsung tersenyum sumringah.
Akhirnya Dyfal membantuku memanjat pohon jambu itu. Sesekali kakiku tergelincir, tapi Dyfal lebih sigap.
Dalam sekejap, aku sudah sampai di dahan yang tadi."Yeeeeh, aku tinggi! Aku tinggi! Aku tinggi." Teriakku senang, Dyfal dibawah mendongak, menatapku sambil bertepuk tangan. Riuh.
Aku mengacuungkan jempol kepada Dyfal. Dyfal membalasnya dengan senyuman. "Gimana, La? Enak nggak?" Tanyanya ketika angin semilir menerpa wajahku.
Lagi-lagi aku mengacungkan jempol.
"Bagus deh. Jangan ngambek loh ya, Swala kalo ngambek bikin aku sedih." Aku tersenyum kecut.
Saat sedang asyik-asyiknya kami bermain dan tertawa. Dengung pesawat nun jauh di atas sana terdengar. Segera aku masa kecil berteriak-teriak. Menyuruh Dyfal mendongak menatap langit.
"Guuuwede pesawatnya, tinggi kayak ondel-ondel." Dyfal menunjuk-nunjuk langit. Aku ikutan menatap langit sambil meracau tak jelas.
Tanganku kuulurkan keatas, berusaha menggapai pesawat yang membelah awan. "Dyfal, pesawatnya tinggi banget. Aku nggak bisa ambil satu buat mainan." Kataku sedih. Dyfal yang menyadari kesedihanku langsung tersenyum.
"Nanti kalo Dyfal udah gede, Dyfal bakal jadi cowok keren dan super. Nanti Dyfal yang ambilin buat Swala, apapun yang buat Swala bahagia, akan Dyfal lakuin. Nanti bakal aku kasih satu pesawat buat Swala, ya." Katanya mantap.
"Kamu nggak mungkin bisa ambil pesawat, Ifal!" Balasku kesal. "Kata bu guru, kita nggak bisa ambil pesawat kalo nggak ada uang. Emang Ifal punya banyak uang?" Tanyaku heran, memasang muka mengejek pada Dyfal.
"Aku punya uang." Jawab Dyfal mantap, membuatku kembali memekarkan senyuman.
"Berapa?"
"Dua ribu rupiah, La." Jawabnya lagi. Aku sudah menimpuknya dengan daun.
"Yeee, itu mah buat beli es krim dapat satu, Ifaaall." Dyfal nyengir, merasa tak berdosa.
Kami kembali terdiam, suara pesawat sudah tak ada lagi. Di gantikan oleh bekas lintasanya yang masih mengambang bersama awan. "Katanya, ada loh La. Pesawat yang terbang di malam hari. Membelah bintang gemintang, memamerkan sejuta keindahan pada para penumpangnya." Dyfal kembali angkat suara.