33

28 9 17
                                    


Tak apa jika membohongi perasaan sendiri. Demi melihat kebahagiaan orang yang dicintai.

***

Swara mengambil sendok, mencicipi sarapan yang dibuatnya tadi. "Hm." Rasa yang sangat spesial bagi Swara.

"Ra, gue udah bawa bahan-bahan yang di butuhin." Dyfal meletakkan sekantong benda yang semalam Swara suruh Dyfal membawanya pagi-pagi.

"Bentar ya, sayang." Swara cekikikan. Sedangkan Dyfal mendekati Swara.

"Kok lo belum sarapan?" Dyfal mengambil sendok, mencicipi kuah sup. "Hm, lumayan lah, rasanya." Dyfal tersenyum.

Swara menatap Dyfal, lalu tersenyum sembari mematikan kompor. Dyfal menatap Swara dengan senyum yang mengembang.

"Gue mau makan dulu, lo kekamar gue langsung aja." Swara berbicara dengan tangan yang masih sibuk dengan masakannya.

Dyfal kembali tersenyum. "Gue mau main gitar juga ah, nanti biar didengar sama mbak Nilta." Dyfal terkekeh.

"Lo bawa gitar?" Tanya Swara.

"Pinjam punya bang Akfa." Dyfal berlari menaiki tangga. Swara menatapnya bingung.

"Yaudah. Semangat buat perjuangan hari pertama!" Swara mengepalkan tangannya, memberi semangat pada Dyfal.

Kali ini Swara hanya bisa mengalah, toh, mungkin Dyfal juga sayang karena status sahabat ini. Berbohong demi perasaan orang lain mungkin boleh saja. Asal kita sendiri kuat menjalaninya.

Lagian, Swara juga bahagia bisa menatap Dyfal yang juga sedang bahagia. Mbak Nilta, cinta pertama Dyfal. Dyfal cinta pertama Swara.

Setelah makan, Swara membereskan keributan yang terjadi antara dia dengan makanan. Menycuci piring, juga mengelap sisa-sisa kotoran.

Lalu Swara kembali lagi ke meja makan, mengecek barang bawaan yang disuruhnya untuk perjuangan hari pertama. Ada cokelat, tali pita, dan hodie kembar yang akan diberikan kepada mbak Nilta.

Swara tersenyum menatapnya. Sakit. Itu yang dirasakannya sekarang. Tapi ini keputusannya sendiri, ingin melanjutkan persahabatan mereka dan menyelesaikan maslahnya.

Kemarin malam, Swara sendiri yang meminta Dyfal untuk berdamai, dan melupakan segala masalah yang dialami mereka. Dyfal juga ingin begitu, tapi dia juga masih memaksa meminta kebenaran perasaanya.

Swara hanya bisa tersenyum. Tak menjawabnya.

"Dyf, lo udah ambil gitarnya?" Swara menaiki tangga sambil berteriak, semoga semuanya baik-baik saja kedepanya.

Kubuka pintu kamarku, mendapati Dyfal yang memainkan gitar di balkon. Ingin sekali tertawa, tapi segera kutahan.

Jarak antara balkonku dengan balkon mbak Nilta cukup dekat. Kadang sering sekali aku dengan mbak Nilta mengobrol sambil menatap bintang-gemintang.

"Mbak Nilta ada nggak, Ra?" Dyfal cemberut, menatap jendela kamar mbak Nilta yang tertutup rapat.

Sebagai jawaban, aku menggeleng. "Nggak tahu lah, gerbang rumahnya ditutup gak?"

Dyfal menengok kebawah, menggeleng. "Ada adiknya ditaman depan." Dyfal menatap Swara.

Swara menghampiri Dyfal. "Coba gue panggil." Swara menatap adik mbak Nilta dari atas.

"Adeeek. Mbak Nilta ada nggak?" Swara memanggil gadis kecil itu.

Sudah dianggap adik oleh Swara. Mungkin karena Swara sendiri tak mempunyai adik, juga dia sering main sama Swara dirumahnya.

s w a r aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang