27

21 9 10
                                    

Kita berada di ekosistem yang benar.

Yang selalu memberi dan menerima sesama.

"Kemana nih kak?" Tanya Swara, ketika mereka malah berjalan ke taman belakang sekolah.

"Kamu bisa manjat, 'kan?" Swara menoleh, mengangguk samar.

"Nanti kamu panjat tangga dipojok sana. Kamu duluan apa aku duluan?" Kak Faiq masih ribet dengan rencana bolos ini.

Pengalaman baru untuk Swara. Tapi tidak untuk kak Faiq, katanya dia sudah pernah bolos sebelumnya.

"Kak Faiq duluan aja." Kak Faiq mengangguk, segera berlari kecil menuju pojok taman. Dengan cekatan, kak Faiq memanjatnya. Swara menunggu giliran sambil bersembunyi dibalik pohon—yang katanya disebut pohon angker itu.

Kak Faiq loncat, sudah berdiri menunggu Swara dari balik tembok. Swara berlari, segera memanjat tangga itu sebelum ada yang melihatnya.

Swara loncat, mendapati kak Faiq yang tengah duduk menunggu Swara. Swara tersenyum.

"Terus kemana?" Swara menjulurkan tangannya, membantu kak Faiq berdiri.

Kak Faiq berpikir. "Gimana kalau ke kafe, terus nonton?" tawar kak Faiq, Swara hanya bisa menangguk menuruti.

Mereka berdua berjalan bersisian, yang entah kenapa kak Faiq menuju salah satu mobil yang terparkir rapi di pinggir jalan. Mungkin itu mobil milik kak Faiq. Ya, aku juga pernah melihatnya. Saat Swara pergi ke supermarket dengannya.

Segera mereka berdua pergi, melesat cepat membelah macet di Jakarta.

***

"Ngapain, kak, kok mobilnya nggak ditaruh di parkiran sekolah?" Swara memberi bahan obrolan. Mengusir suasana canggung diantara keduanya.

"Ya, biar sewaktu-waktu kalau pingin bolos biar gampang." Jawabnya santai.

"Kakak 'kan sebentar lagi mau ujian. Nggak usah bolos lagi dong."

"Emang kamu siapa, kok ngatur gue gitu?" Kak Faiq menaik-turunkan alisnya, menggoda Swara.

"Ih, dibilangin malah kayak gitu yah." Swara cemberut, memalingkan wajahnya kecendela.

Kak Faiq hanya tertawa, membuat Swara tak bisa menahan senyumnya.

"Nggak ada yang ngelarang buat senyum." Sekali lagi kak Faiq menggoda, terbahak-bahak.

Swara menoleh, mulai gemas. "Kakak kok gitu, sih. Nggak suka, ah." Kupukul tangannya pelan.

"Dih, nggak suka tapi curhat." Kini kak Faiq mengelus rambutku, masih dengan tertawa.

"Sialan."

Tak lama, mobil terparkir rapi di dekat kafe. Mereka berdua turun dari mobil, segera memasuki kafe tersebut.

Segera Swara mencari tempat duduk yang nyaman, kak Faiq membuntutinya dari belakang.

"Disini ya kak? Deket cendela soalnya." Kak Faiq duduk duluan, disusul Swara yang tersenyum sumringah, seperti anak kecil yang akan dibelikan es krim.

"Kamu pesan apa?" Kak Faiq membolak-balikkan buku menu. Swara hanya melihatnya sambil berpikir.

"Tapi aku pingin makanan juga." Swara diam, sibuk memilih. Kak Faiq hanya melihat tingkah Swara yang memang seperti anak kecil. Gemas.

"Ya tinggal pesan makanan sama minuman doang 'kan."

"Tapi aku udah gendut, nanti Dyfal ngoceh. 'kan males dengerin mulutnya itu, pingin disumpal." Swara mendengus, nafsu makannya mulai hilang. (?)

"Ya, nggak usah didengerin. Emang Dyfal siapa kamu?"

"T-tapi aku suka."

"Suka sama apa?" Kak Faiq mendekatkan wajahnya ke wajah Swara. Hanya beberapa senti saja.

"Ih, kakak mah gitu. Mbak sini mau pesan." Swara memundurkan wajahnya, malu dengan mbak-mbak barista kafe yang melihat mereka.

Udah bolos, mesra-mesraan juga ditempat umum. Mbak pelayang menemui meja Swara, siap menulis apa yang akan ditulis.

"Aku maunya burger cheese, meatball, salad buah sama choco capucino." Swara memilih seperti permintaan hatinya, benar-benar dari dasar hatinya. (?)

"Sama kopi hitam panas mbak." Kak Faiq mengusulkan, segera pelayang itu menulisnya, lalu berjalan berlalu.

"Ih, Cuma itu doang? Makannya badan cuma selidi doang." Swara melirik kak Faiq, menyindir.

"Badan nggak aku pikirin, gini-gini juga aku berotot, mau lihat sixpack ku?" Tawar kak Faiq, dengan cepat Swara menggeleng. Nyengir.

***

"Siapa yang nggak masuk?! Bangku pojok kosong!" Bu Saidah memelototi murid-muridnya, menatap wajahnya satu persatu.

Semua murid sekelas hanya bisa menunduk, takut-takut menatap istri orang itu.

"Nggak ada yang denger nih, siapa yang nggak masuk?!" Kembali guru pembinaan matematika itu membentak. Membawa rotan yang biasanya dipukulkan ke papan tulis.

"Kayaknya Swara sakit, bu." Hilfi berdiri, memberanikan diri untuk mengucapkan kata-kata dosa itu. Wajahnya masih menunduk.

"Mana suratnya? Manaa?!" Bu Saidah mendekati Hilfi, sedangkan gadis itu hanya menunduk.

"Mungkin belum diantar bu. Mikir." Hilfi mengangkat kepalanya, mulai kesal dengan gurunya itu.

"Heh, beraninya kamu." Guru itu mendekat 'kan wajahnya ke wajah Hilfi, begitu juga Hilfi. Sehingga hembusan nafas dari kedua belah pihak beradu, terkena kulit suci.

"Aku Cuma takut sama tuhan bu." Hilfi mulai berani. Semua siswa terkejud dengan apa yang Hilfi katakan, bahkan Rafif masih-sempat bertepuk tangan.

Zara merekam kejadian tersebut, si ketua kelas, Hilman, tak bisa melerai keduannya. Hani hanya menatap Hilfi heran, semua juga tahu kalau Swara tadi langsung berlalu saat diambang pintu kelas. Entah sekarang kemana.

"Oh..., jadi kamu nggak takut sama rotan saya?" Bu Saidah juga mulai gemas dengan Hilfi. Bagaimana tidak, namanya mungkin sudah tercemar.

"Duduk kamu!" Perintah Bu Saidah.

"Lagi nggak pingin duduk bu." Hilfi menggelengkan kepalanya.

"Beraninyaaa." Bu Saidah gemas.

"Sudah saya katakan 'kan bu, saya takutnya sama T u h a n." Hilfi menekan 'kan kata-katanya di "Tuhan", seperti mengajari anak kecil membaca. Membuat amarah bu Saidah sudah dipuncak.

"Saya hambannya Tuhan. Kamu nggak mau menghormati Bu guru? Durhaka kamu!!!" Bu Saidah menunjuk-nunjuk jarinya tepat didepan wajah Hilfi.

"Saya, juga Swara dan teman-teman semua juga hambannya Tuhan bu. Bu Guru aja nggak menghormati murid, gimana kita mau menghormati guru? Semua orang juga bisa jatuh sakit bu. Ingat kata-katanya Finda, be positif thingking." Hilfi meniru gaya bicara Finda.

"Dasar murid—" Cekrek! Seseorang memotret adegan saat Bu Saidah mengangkat kayu rotanya.

"Heh, siapa ini?!" Bu Saidah menoleh ke sumber suara.

KRRRIING.

Bel berbunyi, sontak Hilfi menggebrak mejanya dan keluar kelas, diikuti Zara dan Hani.

Semua murid melongo, menatap ketiga murid tersebut dengan kagum.

"Kirim, ah ke Dyana." Hilman menggerakkan jarinya di layar hp-nya. Mengirikan foto tadi.

***

Be positif thingking 

WARNING! ADEGAN TIDAK UNTUK DITIRU, tapi kalo maksa tiru aja :p

Pembaca durhaka kalyan, nggak nge-voote, komen juga malu-malu monyet__- udah DURHAKA masih juga nggak mau nge-vote.

Bhaay, ngambek aku

maap lagi kalo ada typo:<

s w a r aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang