Sesegera mungkin aku mengecek toilet dari lantai satu, sampai rooftop. Tapi hasilnya tak ada. Bagaimanalah ini, acara pembuka resital biola sudah dimulai beberapa menit yang lalu.
Dan keputusan Swara kali ini, menemui Gilang dan Dyfal. Apakah benar Jua benar-benar menghilang. Sejak tadi mulutku berkomat-kamit, memohon agar acara ini lancar.
Keramaian tak kunjung hilang walau acara sudah dimulai. Menyulitkan ku berjalan—lebih tepatnya berlari kecil—menuju meja panitia.
Hampir beberapa langkah lagi aku sampai. Terlihat disana Gilang sedang bercakap-cakap dengan salah satu pengunjung, mungkin. Butuh beberapa saat hingga emosiku berada di puncak.
Pengunjung itu berlalu, giliran Swara sekarang yang menatap Gilang dengan muka menggelembung. "Mana Jua." Tanyaku langsung ke pokok.
Gilang menghela nafas. "Tadi pamitnya ke toilet bentar, Ra."
Swara duduk, dibuat bingung dengan acara hari ini. "Kira-kira, lo pikirin lagi, Ra. Jua pernah ngomongin acara ini sama yang lain nggak?" Gilang bertanya setelah kami berdua sama-sama terdiam.
Swara menunduk, bagaimana lah ini. Sungguh dibuat kesal sekarang. Sudah ku coba mengingat-ngingat pembicaraan sesama umat yang membahas soal acara ini. Tapi nggak ada sangkut-pautnya dengan kehilangan Jua sekarang.
Seketika Swara mengangkat kepala, teringat sesuatu. "Lang." Panggilnya kepada Gilang yang sedang asyik mengobrol dengan teman panitianya.
Gilang menoleh, menatap ku dan bertanya Apa lewat tatapan mata.
"Gue inget—"
"Kemana Jua. Gue samperin sekarang tuh bocah." Belum selesai bidadari cantik ini berbicara, sudah dipotong oleh iblis buruk rupa.
Wajahku menggelembung, menahan emosi. "Dyfal manaaaa?" Tanyaku gemas. Gilang hanya mengangkat bahu. Benar-benar yah, udah nunggu Dyfal lama, nabrak Gilang, cari Jua, Wuih..., sekarang balik lagi sama iblis jahannam.
"Tadi gue lihat dia jalan ke bangku peserta. Tapi dia nggak lihat gue coba, jahat banget. Gue panggil-panggil Dyfal, malu tahu nggak, dilihati mbak-mbak lewat. Mbak nya cantik lagi."
"Terus hubungannya sama Jua sekarang apa coba?" Swara berdiri, meninggalkan Gilang yang masih bersungut-sungut.
Swara lari kecil menerobos kembali orang-orang yang asyik mendengarkan gesekan biola. Kini dirinya buru-buru menuju mesin penjual otomatis.
Mesin penjual otomatis yang menjual minuman kaleng. Swara mengambil uang koin dalam sakunya. Setiap saat harus sedia uang ya kan? Apa lagi perempuan, biyuh..., kulkas supermarket juga bisa diborong. Mangkannya, sekarang bukan lagi jaman-jamannya cewek matre.
"Beli apa?" seseorang menepuk pundakku, membuatku sedikit terkejut dibuatnya.
Minuman kaleng yang tadi ku pilih keluar dari mesin penjual otomatis. Swara membungkuk untuk mengambil minuman kaleng itu. "Kaget gue, ngantri dulu bisa nggak sih—asem."
Swara menoleh kebelakang, dan mendapati kak Faiq yang menatapnya bingung. Swara memperhatikan kak Faiq dari ujung rambut paling panjang, sampai ujung kuku ibu jari kaki.
Siapa sih, yang kuat imannya lihat cowok kayak gini. Udah putih ya kan? Tatapanya agak tajem gitu. Terus tinggi, mana rambutnya agak basah lagi. Tinggal tanya, punya sixpack nggak?
"Kukunya bersih—hehe asem keceplosan." Segera Swara mengatup mulutnya dengan tangan. Entah kenapa hari ini buruk baginya, sial selesai, datang lagi, selesai, ketemu cogan.
Kak Fiaq cekikian melihat Swara salah tingkah. Lalu maju bersisian denganku, memasukkan koin dan memilih minuman kaleng. Swara menatap kak Faiq malu-malu.
"Punya sixpaa—kesini sama siapa kak? Asem." Hampir, untung kak Faiq tadi bungkuk ambil minuman kaleng, jadi be positive thingking.
"Sama sepupu. Pingin lihat dia main gitar didepan banyak orang. Assth." Aduh, mendesah dia guys, dia minum soda. Sama kayak Swara.
Swara mengangguk, lalu duduk dibangku sebelah mesin penjual otomatis. Meneguk pelan soda yang ku genggam dari tadi.
Lama kami berdua terdiam. Kak Faiq mengetuk-ngetuk kaleng minumannya, sedangkan aku menatap keramain sambil mendengarkan alunan biola. Ku nikmati acara ini baik-baik, sayang hari ini sial.
"Sepupu kak Faiq ikut lomba main gitar itu, yah. Yang mana, kan main gitar masih nanti-nanti. Kenalin kak." Swara terkekeh, berusaha membuyarkan kesunyian.
Kak Faiq menoleh, menatapku lamat-lamat sebelum menjawab. Ampun kak, udah itu rambutnya basah, jangan sampai mata, hati dan pikiran ini basah oleh dosa.
"Itu, di deket balik panggung sama beberapa temenya." Ucap kak Faiq membuyarkan lamunanku.
Kak Faiq menunjuk segerombolan anak cowok. Aku menatap arah yang ditunjuk kak Faiq. "Yang pakai baju apa?" Tanyaku bingung, hampir semua cowok yang ada disana cogan semua. Hampir semua.
"Baju hitam pakai syal abu. Itu yang ketawa itu." Kak Faiq menunjuk-nunjuk sepupunya. Hmm, pandangan pertama cuy, langsung terbang Swara ngelihat wajahnya.
Swara mengangguk, masih menatap sepupu kak Faiq itu dengan ber-oh ria.
Ini lebih mantep dari kak Faiq, kulitnya lebih putih, kayak anak cewek, aku kalah malahan. Tatapanya tajam, matanya agak sipit gitu, rambutnya kayak oppa-oppa korea. Pakai syal lagi, cocok buat drama sinetron. Eh nggak murahan kalo sinetron.
"Namanya siapa, kak?" Tanyaku masih dengan memandang sepupunya. Kak Faiq belum menjawab, menyeruput sodanya sebentar.
"KEEN, SINI BENTAR!" Teriak kak Faiq memanggil sepupunya itu. Sontak, aku sedikit terkejud. Nggak, jangan di panggil. Dari jauh aja udah.., wuih.
Swara salah tingkah, sepupu kak Faiq menoleh ke arah sumber suara. Lalu berbicara sebentar dengan teman-temannya, dan melangkah menghampiri kami berdua.
"Ya?" Deg, suaranya kayak gimanaaaa gitu loh. Buru-buru Swara mengangkat kepalnya, salah tingkah. Sepupu kak Faiq berganti menatapku.
"Ini sepupu gue." Kak Faiq memberi tahu, Swara hanya mengangguk.
Sepupu kak Faiq tersenyum melihatku. Terkejud, dia barusan senyum! Senyum nya biyuuuh! Ini lagi terbang aku bang, nanti kalo senyum-senyum gitu. Bisa jatuh ke hati abang.
"Namanya Swara. Ra, ini dia namanya Raeyken." Lanjut kak Faiq menjelaskan. Kembali, Swara mengganguk-angguk.
Tiba-tiba cowok bernama Raeyken itu, mengulurkan tangannya, maksudnya jabat tangan. Swara cengo, biasalah, baru masuk surga.
"Raeyken. Ken." Ucapnya, masih bertahan mengulurkan tangannya, yang belum kusentuh sama sekali tangan bidadara itu.
"Sah. Iya aku sah."
Kak Faiq dan sepupunya menatapku bingung.
***
Puasanya semangat yah, Bonus buat Chapter ini agak alay yeh khaan.
Efek puasa, mengkhayalnya ditingkatkan, jan lupa ibadahnya. Dosa dikurangin yah. Malem-malem nggak pa-pa maksiat bentar. Entar sahur inget tuhan