Sampailah kami di puncak. Pemandangan yang mengagumkan terlihat sejauh mata memandang. Hilfi terkagum-kagum.
"Bagus banget ya." Katanya, menoleh ke arahku. Aku hanya dapat mengangguk, setuju dengan perkataan Hilfi.
"Sebagus hariku ini." Ucapku sambil tersenyum, mengingat kelakuan ku di Bus tadi.
"Ih, sinting lo. Ini tuh hari milik tuhan." Jawab Hilfi, sambil menyenggol ransel yang kubawa. Membuat aku terhuyung ke belakang, dan menabrak seseorang.
"Hoy, Faiq. Gebetan lo, ngeduselin gue." Teriak salah satu teman kak Faiq yang di bus tadi.
Hilfi terkejud dengan perkataan kakak kelas itu. Segera Hilfi menolong ku, membantuku berdiri. Hilfi meminta maaf kepadaku, aku hanya mengangguk,sambil mengibaskan pasir yang menempel di rambut.
Terkejudnya Hilfi bertambah, setelah kak Faiq ikut membantu mengusap pasir di rambutku. Aku terdiam, beruntung gue hari ini.
"Rambutnya dikuncir aja. Biar lebih rapi, tambah cantik" Ucapnya, membuat dedek-dedek ini tak kuasa menahan rasa ini.
Hilfi melotot, aku hanya tersenyum, mengangguk saja. Kak Faiq berlalu, meninggalkan aku dan Hilfi yang masih melotot.
***
Aku dan Hilfi sibuk dengan membangun tenda, Kami berdua setenda. Semua juga sibuk, merapikan barang-barang yang mereka bawa tadi.
Setelah kami sibuk merapikan berkakas, kami semua dipanggil. Jumlah anggota klub Pecinta Alam tak seberapa, hanya saja kakak kelas atau adek kelas yang juga ikut serta, menambah ramainya acara ini.
Kami memulai acara makan siang, aku memilih makan di bawah pohon rindang. Kami berdua mengobrol sambil memakan nasi bungkus.
"Ikut gabung ya?" Ucap cowok berperawakan tinngi, yang tiba-tiba muncul dengan bebrapa cowok tinggi lainya.
"Lho, kok ada elo?" Hilfi bangkit dari duduk nya, menghampiri cowok yang bertanya tadi.
"Lo sendiri kok ada disini. Ngapain lo?" Bentak cowok tersebut, ternyata aku tahu cowok itu. Rangga, ketua klub tim basket.
"Terserah dong." Hilfi maju selangkah.
"Kalo gitu, juga terserah gue." Balas Rangga, ikut maju bebrapa langkah. Membuat jarak mereka dekat, sangat dekat.
Aku memegang lengan Hilfi, berusaha menghentikan gerakanya yang buas itu. Mereka terus berdebat. aku menyuruh teman-teman Rangga untuk menghentikan gerakan nafsu Rangga.
"Ih, gue gak nafsu makan." Katanya semabari duduk, mungkin dia lelah.
"Terus, nafsunya apa dong?" Tanyaku, berusaha berbicara dengan serius. Hilfi melotot, pergi meninggalkan aku sendiri.
"Kejar di Hilfi,Ngga!" Seru Wahyu. Aku melotot, kemudian berlalu mengejar Hilfi.
***
Malam telah tiba, kegiatan yang ditunggu tiba. Petualangan. Kami semua masing-masing membawa senter, menerangi hutan.
Aku mendapatkan kelompok bersama teman seangkatan. Tapi untung tidak bersama si Rangga. Hilfi sangat bersemangat, kelompok akmi lima orang, Aku, Hilfi, Tias, Faiz dan Gilang.
Kami mulai berjalan di jalalan yang sudah disediakan. Kami terus berjalan dalam diam, kecuali Faiz dan Tias yang bermesraan di belakang barisan.
"Woy, niat lo ikut ini buat bulan madu apa." Bentakku, membuat Faiz dan Tias salah tingkah. Hilfi tertawa. Gilang hanya geleng-geleng kepala.
"Apaan sih, lo. Sirik terus." Jawab Faiz, aku ku tak memperdulikan. Terus menayap jalan setapak.
Waktu terus berjalan, kami sudah hampir sampai ditujuan. Aku diam, tak ingin banyak bicara, hanya ingin menghemat tenaga.
"Ih, kalian duluan aja. Aku mau istirahat bentar." Kata ku, sembari jongkok.
Hilfi menoleh, lalu mengangguk, melanjutkan perjalanan.
"Duluan ya." Pamit, Tias. Aku mengangguk. Meminum air kemasan yang tadi dibawa oleh Faiz.
Lama-kelamaan, bayangan Hilfi dan yang lain sudah tak terlihat. Aku masih leleah, memutuskan untuk sebentar lagi menyusul. Tapi urung, setelah aku puas dengan beristirahat. Aku ingin menyusul yang lain. Tetapi apa daya, kakiku tadi sempat tersandung batang pohon.
Aku meringis, menahan rasa sakit di pergelangan kaki. Kakiku memerah, rasa sakit semakin menjadi-jadi saat aku berusaha bangkit. Mataku mulai memerah, ingin menangis rasanya, tapi rasanya tak bisa.
Aku terduduk, pasrah. Meluruskan kaki, lalu menyiram luka dengan sisa air tadi. Setelahnya aku menunduk, lalu tiduran di tanah, rasanya umurku sudah tak panjang lagi. Aku memejamkan mata, mamikirkan yang aneh-aneh.
"Eh mayat!!!" Seru seseorang, aku berdiri, meskipun harus terpaksa.
"Bukan, ini pocong!" Seru yang lainya. Aku menoleh, apa benar ada pocong. Tapi tak ada, yang kulihat hanya sekumpulan cowok.
"Pocongnya mana kak?" Tanyaku pada mereka. Mereka tercengang, menatap salah satu cowok yang berada dibarisan akhir.
"Gebetan lo, kapan matinya, Iq?" Tanya cowok disebelahnya. Aku ingat sekarang, mereka teman kak Faiq, juga ada kak Faiq di sana.
Kak Faiq mendekatiku, aku menatap kakiku.
"Ada yang lecet nggak, gebetan lo?" Celutuk sesorang. Kak Faiq menatap mataku, yang sedang melihat kakiku yang memar.
Kak Faiq jongkok, melihat lukaku. Lalu menoleh ke arahku, aku menatapnya.
"Ayo, Gue gendong, gue tahu jalan pintas biar cepet sampai ke Pos terakhir." Katanya, sembari mentapku.