Sudah lama aku bersembunyi di balik gerobak jus di kantin, aku menunggu sekitar sepuluh menit disini. Raeyken menemui Kak Faiq dan juga Dyana, aku menunggu kedatangan Dyfal disini. Tapi sedari tadi malah nyamuk yang datang kepadaku.
Aku membuka handphone, hendak mengirim pesan ke Rayken. Tapi urung karena Dyfal yang terlihat sedang berbicara di segerombolan kakak kelas. Mataku membulat, memasukkan kembali handphone ke saku sweter.
Dyfal berbicara sebentar dengan Mbak Nilta, lalu mengajak nya ke suatu tempat. Perlahan-lahan, aku mengikuti langkah mereka. Berpura-pura sembunyi dengan cara melihat-lihat atap sekolah, atau yang konyol, tiba-tiba aku ikut nimbrung dalam gosipan adek kelas. Yang malah gosipin aku, yah otomatis aku kaget, mereka juga dong.
"Eh, kak. Um, maaf kak, bukanya—"
Belum selesai siswi itu melanjutkan kalimatnya, aku sudah lari terbirit-birit.
Dan aku tahu tempat dimana Dyfal akan melakukan aksinya, aku sudah tahu ini akan terjadi. Karena setelah ini, Dyfal tak akan pernah bertemu dengan Mbak Nilta lagi. Ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaanya, sangat tepat. Tapi terlambat. Karena sudah ada yang mendahului Dyfal, bahkan Kak Faiq yang pernah berhubungan aja gak kuat.
Aku bersembunyi dibalik pot besar, untung ada pohon bungan bugenvile yang besar. Dyfal berhenti di bawah lampu kuning, tempat ini ternyata belakang kantin. Aku baru menyadarinya setelah banyak gerobak-gerobak bekas yang tak terpakai.
Dyfal menggaruk tengkuknya, sedangkan Mbak Nilta diam sambil menatap sekitar. Canggung, mungkin itu yang sedang mereka rasakan.
"Maaf gangggu nih, Mbak." Dyfal nyengir, Mbak Nilta hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Tapi aku mau bilang sesuatu yang penting—" aku menoleh kebelakang saat ada tangan yang memegang bahuku., tak mendengar lagi kata-kata Dyfal.
Raeyken, menyuruhku diam saat aku ingin bersuara, menanyakan bagaimana dia tahu aku disini. Aku mengangguk paham, lalu kembali melihat kedepan, dimana Dyfal dan Mbak Nilta sedang berbicara sesuatu.
Raeyken mendekatkan dirinya kepadaku. "Temen-temen kamu ada disini, mereka pada sembunyi. Gilang sama Jua izin." Bisiknya tepat ditelingaku, membuatku bisa merasakan deru napasnya yang hangat.
Aku mendengar ucapan Raeyken barusan, tapi aku tak merespon.
"Eh, gini nih Mbak... hehe, aku mau bilang sesuatu yang penting." Kata Dyfal mengulangi kembali perkataannya barusan. Mbak Nilta menatapnya bingung.
"Aku mau... um, gimana yah bilangnya. Aku mau ngungkapin perasaanku, Mbak. Aku suka sama Mbak Nilta, nggak tahu aku, mulai kapan suka sama Mbak... tapi aku bener-bener suka sama Mbak. Dan aku mau bilang, mau nggak, Mbak Nilta—"
Mbak Nilta segera memotong kalimat Dyfal, tahu betul apa yang selanjutkan Dyfal katakan. "Ngak bisa..., aku nggak bisa Dyf. Maaf." Ucapnya singkat padat jelas. Jelas bahwa perasaan Dyfal baru saja ditolak, aku menutup mulutku dengan kedua tanganku.
Dyfal langsung menggenggam tangan Mbak Nilta, yang bahkan Mbak Nilta langsung menghempaskan tangannya. Tak mau di genggam oleh Dyfal.
"Kenapa Mbak..., aku mau coba jalanin dulu, nanti kalo mau pertimbangin jawabannya boleh kok. Nggak usah buru-buru." Dyfal masih kukuh dengan harapannya.
Raeyken dibelakangku berdiri, entah kemana, dia langsung lari menuju dalam kantin. Aku tak mengikutinya, masih penasaran dengan apa yang akan Dyfal lakukan. Aku juga tak tahu dimana persembunyian teman sesama umat, bahkan aku hampir lupa jika mereka juga sedang bersembunyi disekitar sini.
Mbak Nilta menggeleng kuat. "Aku udah punya pacar Dyf. Dan kamu masih nggak tahu itu? Aku bahkan udah bilang ke Swara, suruh bilangin ke kamu kalau aku udah punya."