49. jaga rahasia

21 9 5
                                    

Pelangi yang muncul setelah badai.

Dan bunga yang mekar di tepi jalan.

Mulai memancarkan warnanya.

Awalnya teman sesama umat tak menerima rencana ini. Tapi demi melihat ke teguhanku dalam menjalankan rencana ini, lah yang membuat mereka semua sepakat. Sepakat tak akan membocorkan kepada siapapun, kecuali beberapa anak cowok.

Dyfal tak akan tahu, lebih tepatnya tak akan pernah tahu rencana ini. Mungkin tidak sekarang, esok mungkin akan tahu semua rencana ini. Entah penyesalan atau keresahan yang akan menghantuinya. Atau kah, keduanya.

Saat anak cowok selesai bermain bola, dan menuju kantin. Kami mengikutinya, sekarang Raeyken terlihat lebih akrab dengan mereka. Bercanda tawa.

"Oi, duduk sini, yang." Aqda memanggil Zara yang akan duduk di bangku sebelah. Tapi urung, karena Aqda sudah menggeser kan bangku nya ke bangku yang sekarang di duduki anak cowok. Jadilah menjadi seperti meja rapat.

Kami menurut, duduk berhadap-hadapan dengan pasangan masing-masing. Yang belum punya yah, duduk terserah, sama siapa pun. Swara tentu duduk berhadap-hadapan dengan Raeyken.

"Kalian mau pesan apa? Gue pesenin, bayar sendiri-sendiri." Seperti biasa, Zhafia dan Sabila beranjak, mencatat pesanan satu-persatu.

"Gue yang traktir deh." Jua nyelutuk, dan di sambut meriah oleh yang lainnya.

"Oh, iya. Lo dapet hadiah lomba kemarin itu yah." Semuanya mengangguk. Membeli apa saja yang ingin di beli. Walau agak serakah.

Diam-diam, Raeyken menatapku. Walau sempat kepergok oleh Hilfi.

"Lo mau apa, Ken?" Tanyaku setelah semua sudah memesan, kecuali Raeyken yang hanya mendengar kan—walau kadang diam-diam menatapku.

Raeyken berpikir sebentar. "Kayak lo aja, friend." Semua anak cowok tertawa.

"Lo kok bisa punya temen kayak gini sih, Ra?" Rangga terkekeh.

Ali mengangguk. "Lha iya, dia temen yang asyik nih."

Siang itu, sebelum kami menyiapkan beberapa persiapan untuk acara ulang tahun sekolah. Kami menghabis kan siang dengan membicarakan tentang rencana-rencana.

Pesanan datang, lasung menumpuk di meja kantin. Beberapa siswa menatap kami, heran dengan Raeyken yang terlihat akrab dengan kami. Tapi buru-buru berpaling ketika Zhafia melotot.

"Gue mau bicara bentar, boleh?" Tanyaku meyakin kan. Sesama umat yang mendengar langsung terdiam. Membuat anak cowok bingung.

"Biasanya kalo lo mau ngomong, nggak pake permisi dulu gih." Aqda nyelutuk, membuat suasana menjadi lebih cair.

"Gue nggak bisa lama lagi di sini." Awalan yang baik, anak cowok tak menganggap nya serius. Malah tertawa, tapi tidak dengan sesama umat.

"Paan lo, mau minggat kemana?" Tanya Wahyu cekikian.

"Dengerin dulu goblok." Hani menimpuk Wahyu dengan es batu. Wahyu langsung terdiam.

Semuanya diam, Raeyken memberi kode.

"Jadi gini, gue tiga minggu lagi mau ke Jepang. SMA lanjut di sana. Kalian tahu kan, cerita Dyfal yang nampar gue di kafe. Gue sebenarnya juga marah, kesel, bingung, dan gue nggak mau balas pakai kekerasan. Sebenarnya kita udah sering bertengkar, cuman yah. Nggak mau ember ke kalian semua sih."

"Gue udah punya rencana tentang balas dendam ini. Gue ke Jepang, sama Raeyken juga Kak Faiq. Jadi..., gimana ya jelasinnya." Swara terdiam, menatap Raeyken yang dengan santainya mengunyah sosis bakar.

Raeyken yang merasa di tatap, balik menatapku lamat-lamat. Lalu bergantian menatap yang lainnya.

"Swara berharap, kalian bisa bantu rencananya. Jangan ember ke Dyfal, jangan bilang-bilang sampai kapan pun. Swara bakal menghilang di Indonesia, yah, soalnya udah ke Jepang. Kalau di tanya, jangan beritahu siapapun. Ini rahasia kalian sama guru-guru doang."

Raeyken mengambil napas, anak cowok yang mulai paham dengan arah pembicaraan, langsung diam. Aqda menatap tak percaya ke Zara. Rangga menatap Hilfi yang sedang menatap Raeyken.

"Bisa nggak kalian jaga rahasia ini?" Semuanya mengangguk, kecuali Zhafia yang masih menunduk. Dyana langsung menyenggol Zhafia. Dan akhirnya Zhafia mengangguk, meskipun kami tetap tak percaya.

"Cuma itu doang rencana lo? ngak seru ah." Hilman geleng-geelng kepala. Dyana menginjak kaki Hilman, menyuruhnya untuk diam dan mendengar kan.

Swara tertawa. "Bentar, kalian tahu nggak kalo Dyfal mau nembak Mbak Nilta?" Tanyaku, semuanya mengangguk.

Sudah pasti mereka tahu kalau Dyfal secepatnya akan mengungkap kan perasanya sebelum perpisahan kakak kelas. Sudah pasti, karena mbak Nilta akan melanjutkan kuliah di Yogyakarta.

"Gue yakin kalau dia bakal nembak Mbak Nilta waktu ultah sekolah. Dan, sebenarnya gue punya rahasia tentang Mbak Nilta. Sebenarnya, Mbak Nilta, udah punya. Dan gue nggak tega bilang ke Dyfal, gue tahu perasaanya."

"Eh bentar, Ra. Bukanya waktu di kafe kemarin lo udah bilang? Tapi cara lo bilanging yang salah." Jua berpikir sebentar, takut jika ucapanya salah. Atau ingatannya buruk.

Swara cepat-cepat mengangguk. "Iya, gue udah bilang. Bener, gue agak teriak bilangnya, eh Dyfal malah..."

"Gimana lo bilangnya?" Tanya Finda penasaran. Yang lain juga di baut penasaran.

Swara diam sejenak. ". "Lo pikir usaha lo perjuangin Mbak Nilta itu bener? Heh, lo pikir, cinta lo yang kayak gembel itu bakal di terima sama Nilta si stres itu?"

Swara mengangguk yakin, semuanya menatap Swara aneh. Hilfi mendelik.

"Ngapain pakai kata stres segala?" Hani menyeruput minumanya. Swara menatap heran.

"Emang nggak boleh? Namanya juga orang kesel."

Menghela napas. Raeyken menatap teman barunya satu-persatu, berharap janji-janji tadi tak akan di bocorkan.

"Lo tahu dari mana kalau Mbak Nilta udah punya, Ra?" Zara menutup mulut Hilfi dan Naden yang berebut siomay.

"Diberi tahu sama dianya sendiri. Goblok kan?" Aku cekikian.

"Kita lihat aja, rencananya berhasil atau nggak." Raeyken antusias.

***

BAAAAAD BOY

s w a r aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang