Akarmu terlalu panjang.
Sehingga aku terikat dan sulit terlepas.
"Yaampun, kamu nggak sarapan tadi?" Tanya kak Faiq, sembari menatap gadis yang sedang melahap burger cheese dengan serakah.
"Aku hadi buyu-buyu, nghak sempet mahkan." Aku masih sibuk mengunyah makanan.
"Makan dulu gih, nghak usah buyu-buyu mahkannya." Kak Faiq tertawa, meniru gaya bicara Swara tadi, juga melihat raut wajah kesal Swara.
Swara meneguk choco capucinonya, menelan semua makanan keperutnya. Kini dia menatap kak Faiq kesal, yang ditatap masih tertawa menjengkelakan.
"Ih, dasar lidi." Swara menjulurkan lidahnya, mengejek kak Faiq. Membuat cowok itu terdiam sejenak, menatap Swara cukup lama.
"Kak Faiq mau coba ini nggak?" Kusodorkan salad buah yang terlihat menggiyurkan.
"Nggak deh, buat kamu aja." Kak Faiq menggeleng, membuat Swara cemberut.
"Ih, ini biar nggak kurus kayak lidi." Swara masih menyodorkan Salad buah, membuat kak Faiq kembali lagi menggeleng.
"Ini aku yang bayar, kak." Swara masih memaksa.
"Maunya disuapin." Kak Faiq terkekeh, mulai menggoda Swara.
Swara menghentikan gerakanya. Dia sudah pernah suapin Dyfal, juga beberapa kali dengan teman sesama umat.
"Yaudah nih, aaaa." Swara menyendokkan sedikit, lalu menyuapkannya ke kak Faiq.
"Gitu aja susah banget, kayak anak kecil."
"Emang kamu udah besar." Tanya kak Faiq sambil berusaha menelan buah segar itu.
"Ya udah dong."
"Yang besar apanya?" Swara melotot mendengar perkataan kak Faiq.
"Ini buahnya kebesaran potongnya." Jawab Swara sinis.
Kak Faiq kembali terkekeh. "Suapin lagi nih." Kak Faiq sudah bersiap membuka mulutnya.
"Nggak mau, brengsek."
"Yaudah aku tinggal nih?"
"Ih, bentar dong kak, belum habis ini." Swara protes, menyodorkan piring salad yang baru setengah habis.
"Yaudah cepet habisin, katanya mau nonton."
***
Dyana sedikit terkejud mendapatkan kiriman foto dari Hilman. Rasa kaget yang amat besar, membuat minuman yang ada dalam mulutnya disemburkan kedepan. Mengenai Zhafia.
"Heh, gue sama Bila udah antri lama, lo malah buang-buang jerih payah gue." Zhafia protes, menusap es jeruk dan ludah Dyana di wajahnya.
"Eh, i-ini, gue dapet kiriman foto dari Hilman." Dyana tergesa-gesa menunjukkan kepada keempat temannya yang sudah berada dikantin.
"Wah, apa-apaan ini?" Naden bertepuk tangan sekejap, senyuman mengembang indah dijerawatnya.
"Haduh! Berita heboh nih." Zhafia merebut hp Dyana dari tangannya, Dyana hanya menatap Zhafia kesal.
"Gue nggak mau ikut-ikutan yah. Nanti bisa tercemar gue." Sabila tak mau terlibat dengan foto kiriman Hilman.
"Gue juga. Dapet foto itu juga barusan dari mana?"
"Dari pacar lo kali." Zhafia menatap Dyana kesal.
Zhafia beranjak dari duduk nya, membuat ketiga teman sesama umat mengernyitkan dahi bingung. "Mau kemana lo? beraksi?" Naden yang bertanya sewot.
"Mau ketemu Hilfi lah."
"Ngapain sih, mending ke masjid sekolah noh. Ibadah memohon ampun atas telinga dan mulut yang usil." Sindir Bila ceplas-ceplos, membuat bebrapa siswa didekatnya menoleh sirik.
"Mau wawancara, berita ter-update infotaiment." Zhafia sudah berdiri tegak, tinggal melangkah 'kan kaki dari kantin.
"Biarin ajalah, Bil. Nanti kapok juga—" Dyana menengahi.
"Zhaf, pesenin gue yang dingin-dingin." Seseorang tiba-tiba duduk disebelah Dyana, membuat gadis itu sedikit terkejud.
Hilfi duduk, disusul oleh Hani dan Zara. Swara? Hilfi mendengus menatap teman-temannya. "Mana Finda?" Hilfi bertanya dengan nada bicara dinaik 'kan satu oktaf, membuat dia seperti sedang marah
"Rapat PMR." Naden menjawab.
Kini Zhafia kembali duduk, karena orang yang dicarinya sudah ada didepan mata. "Mana Swara?!" Zhafia malahan seperti membentak Hilfi, Hani dan Zara.
"Lha, kirain udah duluan sama kalian." Zara mengernyitkan dahi bingung.
"Arwahnya? Mana nggak ada kok." Bila ngegas.
"Terus kemana tuh bocah?" Hani menatap temannya satu-persatu.
Semuanya menggeleng, Hilfi hanya menraik nafas panjang.
"Demi apa gue ngebelain Swara didepan guru." Hilfi meracau, teman-teman yang mendenganrnya hanya bisa diam. Kecuali...
"Gimana ceritanya? Yang marah duluan siapa? Yang menang war siapa?" Zhafia mengeluarkan note kecil dari dalam sakunya.
"Gue ada videonya lho gaes." Zara tersenyum centil.
"Lihat!!!" kompak mereka semua berebut duduk disebelah Zara.
"Nih, tuh, Hilfi keren banget." Zara yang melihatnya melongo.
"Buset, takut sama Tuhan." Naden tertawa, disusul yang lainnya.
"Hoey, Asssalamualaikum. Lihat Swara nggak?" Dyfal mendekat, berusaha mengintip kegiatan mereka.
"Lha, bukannya sama lo, kiraiin kencan sama lo." Sewot Hilfi.
"Nggak, Swara lagi marahan sama gue." Dyfal mengacak rambut nya yang tak gatal.
"Jangan-jangan dia depresi." Bila mengatupkan tangannya kedekat mulut, berdoa.
"Halah, dia belum siap mati kok." Dyana mengibaskan tangannya, tanda tak percaya.
"Hallo. Eh, ngapain Dyf, lo kok kesini?" Aqda mendorong Dyfal, sehingga cowok itu mepet ke tubuh Jua.
"Lo sendiri ngapain kesini?"
Aqda senyum-senyum sendiri. "Mau minta minum?" Zara menyodorkan segelas es jus.
"Ngutang aja." Aqda menerimannya, lalu menyeruput es jus itu, sehingga tersisa setengah.
"Jangan dihabisin!" Zara merebut kembali gelasnya.
"Nanti aku ganti lagi kok. Yaudah, mau lanjut main bola lagi." Aqda berlalu, kami semua hanya menatap Zara dan Aqda bergantian. Mengingat perkataan Zhafia waktu itu.
"Kok udah pake' aku kamu yah." Zhafia menyenggol bahu Zara, membuat senyum mengembangnya seketika hilang.
"Eh, udah dulu dong. Swara kemana nih." Dyfal kembali panik.
"Istri sendiri nggak tahu." Bila menatap Dyfal sinis.
"Gue udah punya gebetan."
"Eh, siapa?" Kompak semuanya menatap Dyfal.
Dyfal terkekeh. "Ikut!" Semuanya terkejud dengan kehadirannya Aqda.
***
Cowok, kalo ikut ngegosip keren kok. Aqda mah dabest.
Udah ya. Bhaay.