37

31 8 8
                                    


Pagi-pagi sekali, Swara sudah bersiap. Hari ini dia dan Hilfi akan menuju bandara untuk menjemput kakak tercinta.

"Duh, Hilfi kok belum kesini sih." Gerutu Swara sambil mengecek layar handphonnya.

"Hilfi, lo jadi bareng sama gue nggak?" Tanya Swara mendadak, ketika sambungan telefon tersambung.

"Apaan sih, iya ya ini lagi keluarin motor." Jawab Hilfi dari sebrang sana.

"Cepetan ih, nanti kasihan bang Emir dikira bule nyasar."

Terdengar kekehan dari Hilfi, Swara yang mendengar itu, langsung memutar bola matanya malas.

"Udah, gue duluan."

"Otw."

Sambungan terputus secara sepihak. Swara masih saja diam menunggu kehadiran Hilfi.

Selang beberapa menit, Swara mendengar gedoran pintu depan. Dengan malas Swara membuka pintu, Swara sedikit terkejud dengan kehadiran Hilfi.

"Lo pake' sulap ya? Cepet banget njir." Swara terkekeh, sedangkan Hilfi tersenyum kepada tuan rumah.

Swara menatap aneh Hilfi. "Apaan sih idiot. Berangkat nggak ini?" Swara sudah meninggalkan Hilfi yang masih senyum-senyum gak jelas.

"Bukain gerbang utama." Swara menunjuk gerbang rumahnya yang jarang digunakan. Walaupun gerbang utama, dirinya hanya malas membuka gerbang besar itu, lebih baik lewat gerbang teras.

Segera Hilfi membuka gerbang besar itu setelah mendapatkan kuncinya dari Swara.

Swara menyalakan mesin mobil, sudah lama memang ia tak menggunakan mobil. Karena ya..., Dyfal yang sudah bertugas mengantar jemput dirinya. Membuat rasa malas semakin menjalar di tubuh Swara.

Setelah gerbang utama dibuka, segera Swara mengeluarkan mobilnya. Dengan cekatan, Hilfi menutup kembali gerbang rumah Swara dan menguncinya.

Hilfi berlari menuju bangku penumpang. "Eh, duduk didepan. Gue bukan supir lo ya." Swara memerintah 'kan Hilfi untuk segera pinda posisi duduk.

"Iya iya, bawel." Gerutu Hilfi dan segera keluar dan kembali membuka pintu. Lalu duduk dibangku depan, sebelah Swara.

Swara langsung tancap gas, sibuk dengan ramainya jalanan. Sedangkan Hilfi sibuk mengotak-atik layar handphone nya.

"Cih, macet." Swara memukul setirnya pelan. Hilfi yang melihat tingkah Swara seperti itu hanya bisa geleng-geleng.

"Nyalain lagu, Hil." Swara menatap kesibukan yang Hilfi lakukan.

"Lagu apaan sih, Ra. Sonoh nayalin radio aja." Hilfi menatap Swara sinis, lalu kembali lagi dengan kesibukannya.

"Lo kira, gue sopir lo gitu?" Swara memutar bola matanya malas, pusing dengan sikap Hilfi yang pemalas seperti ini.

Swara hanya bisa diam sambil memasang earphone ke telingannya. Melihat pemandangan kota Jakarta yang gini-gini amat.

Swara melajukan mobilnya ketika macet muali mereda, tapi tak lama lagi setelah itu, macet datang lagi.

"Cih, sialan." Gerutu Swara. Lihatlah, mecet beberapa kilometer didepan sana. Membuat semua orang yang terjebak disini darahnya mendidih.

"Sabar, Ra." Sahut Hilfi santai.

"Sabar, sabar... Emang lo peduli?" Swara sudah mulai geram. Menatap Hilfi yang menghiraukanku.

"Sabar." Hilfi terkekeh melihat raut wajah Swara. "Lo jelek, Ra." Kini Hilfi sudah tertawa terbahak-bahak.

"Sialankau, bambang." Swara menimpuk Hilfi dengan tisu mobil. Hilfi yang menerima ituhanya tertawa cekikian

***

stok ramadhan segini dulu y?

entar nganu lagi kok

s w a r aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang