30

25 9 33
                                    

DYFAL POV

Sekolah telah usai, semua murid sudah banyak yang pulang. Aku masih menunggu sosok sahabat yang, entah sekarag dimana gadis itu

Setelah menimbang-nimbang Dyfal memutuskan pulang, tak mau kehujanan. Biarlah nanti Swara pulang sendiri, sebentar lagi hujan juga turun.

Dyfal menghampiri rumah Swara sebentar, memeriksa apakah Swara sudah pulang. Dyfal mendengus, tak ada seseorang pun disini.

"Hallo? Eh, nanti malem gue bareng lo boleh gak?"

"Hah? Lo mau bareng, kenapa?"

"Bentar lagi hujan, mobil gue dipake sama nyokap arisan."

"Yaudah, nanti gue jemput dimana?"

"Dirumah Swara aja deh."

Sambungan telefon teputus, Dyfal menatap rumah Swara dengan tatapan kecewa.

Bunyi petir terdengar disana-sini, bersahutan. Dyfal sekali lagi menatap rumah Swara, lalu menyalakan mesin motor dan berlalu pulang.

***

AUTHOR POV

"Capek banget nih, habis mainan." Swara memegangi lengan kananya, memijatnya pelan.

Hari sudah beranjak sore, tak terasa memang. Kak Faiq hanya menuruti kemana saja Swara pergi. Sesekali mengingat 'kan untuk istirahat sebentar.

"Kamu nggak mau pulang?" Untuk kesekian kalinya, kak Faiq membujuk Swara.

Swara mendengus. "Males ah, dirumah nggak ngapa-ngapain."

Kak Faiq hanya terdiam, menyeruput minuman yang dibelinya tadi.

Handphone milik Swara bergetar, menimbulkan bunyi yang menandakan ada sebuah panggilan.

"Siapa ya?" Gumamnya sembari menganggak telefon. "Oh, Naden." Lanjutnya.

"Swaaaraaa. Buset, habis ini gue mau otw sama Ali."

"Kemana?"

"Janji gue waktu itu, lo gak mau ikut nih?"

"Eh, yang janji itu ya? Gue udah pesen tempatnya kok, lo juga udah tahu restorannya 'kan?"

"Tapi bukan gue yang pesan tempat 'kan. Lo dimana sih, semua nyariin lho."

Swara terdiam, mengaduk minumannya, kak Faiq yang menatapnya hanya bisa ikut terdiam. Tak mau menimbulkan masalah lagi.

"Eh... kok lo diem aja? Hallo?"

"E-eh iya. Gue langsung kesana aja."

Sambungan terputus. Swara kembali terdiam, banyak pikiran yang berkecamuk didalamnya.

"Mau pulang?" Kak Faiq kembali menawari Swara, gadis itu hanya menatap kak Faiq sekilas.

"Aku lagi ada janji sama temen-temen, aku mau beli sweter dulu ya kak? Males pulang." Swara beranjak, diikuti kak Faiq.

"Nggak mandi dong?" Tanya kak Faiq. Sebagai jawaban, Swara hanya terkekeh.

"Nanti kakak mau anterin gak?" Swara melirik sekilas kak Faiq.

Kak Faiq hanya diam sambil melamun. "Terserah, tuan putri."

***

"Za, kita jemput Dyfal dulu ya. Dirumahnya Swara." Aqda meminta pendapat gadis yang duduk dibangku mobil sebelahnya.

Zara, hanya tersenyum, lalu mengangguk sekilas. "Swara udah pulang belum ya?"

Aqda menoleh, membagi perhatianya kepada Zara dan jalanan.

"Emang nya betul yang diucapin, Sabila?"

"Aku nggak tahu lagi sih, yang."

Aqda tersenyum simpul, terlalu terbawa perasaan jika Zara memanggil nya menggunakan kata, 'Sayang' atau 'Kamu'.

"Oh iya, boleh nggak aku beritahu ketemen-temen kalo kita udah seminggu pacaran?"

"Aku nggak keberatan sih." Zara kembali tersenyum, membuat Aqda klepek-klepek melihatnya.

Zara terlihat bingung dengan kelakuan Aqda. "Kamu kenapa sih, sayang?"

Aqda menggeleng. " Nggak apa-apa kok, aku tuh bersyukur banget punya calon ibu buat anak-anakku. Kamu pasti sampai tua sama aku terus." Aqda menatap sekilas cewek disebelahnya. Lalu tersenyum.

Zara yang mendengarnya langsung salah tingkah. Berusaha menyembunyikan senyum yang amat lebar, jika tak ditahan.

"Nggak ada larangan buat kamu senyum kok, kalo kamu senyum, hidup aku malah lebih indah kayak surga." Aqda terkekeh.

"Jangan gitu say—eh itu Dyfal 'kan?" Zara menunjuk-nunjuk Dyfal yang tengah berdiri didepan gerbang rumah Swara.

Aqda langsung mebelokkan setir. "Dasar pengganggu." Pekik Aqda.

Dyfal yang melihat mobil Aqda langsung tersenyum. Langit mulai berwarna hitam, tak ada cahaya rembulan yang dapat menembus tebalnya gumpalan awan mendung.

"Da, akhirnya datang juga lo—eh ada Zara juga nih?" Saat Dyfal akan membuka pintu depan, ia langsung dikejutkan dengan kehadiran cewek gemol.

"Udah, sana lo duduk dibelakang aja." Dyfal segera memasuki mobil, tak lama gerimis mulai turun membasuh kota Jakarta.

"Jadi, kabar kalian pacaran itu bener?" Dyfal memulai obrolan.

Zara hanya diam menatap rintik gerimis dijendela. Aqda masih sibuk dengan kemudinya.

"Yaampun, kenapa nggak ada yang jawab." Dyfal menyenggol lengan Aqda, membuat mobil sedikit terhuyung tadi.

Aqda terkejud, begitu juga dengan Zara yang melamun tadi.

"Eh, awas ya, kalo lo buat calon istri gue lecet. Cewek kayak dia Cuma ada satu didunia." Aqda mengoceh, mencemooh Dyfal dengan berbagai impian masa depanya.

Dyfal tak mendengarkan, malah sibuk mengotak-atik hp-nya, memeriksa apakah ada kabar tentang Swara.

"Um, omong-omong, kalian jadian sejak kapan? Dimana? Kenapa?" Kembali Dyfal mengisi suasana yang sunyi.

"Apaan sih, ini istri gue. Nggak usah tanya-tanya tentang hubungan kita, pokoknya lulus SMA gue langsung ngelamar dia." Aqda kembali mengoceh, kali ini Zara menundukan kepalanya karena malu.

Memang cinta itu tak butuh alasan, tetapi sangat memalukan. Ya, karena disaat para kaum Adam menyemburkan jurus gombalannya, maka kaum Hawa akan dibuatnya malu.

"Aqda jangan gitu—"

"Apa sih, sayang?" Aqda langsung memotong pembicaraan Zara.

Dyfal yang merasa dikucilkan, hanya bisa menatap kedua pasangan yang kini sudah mantap untuk menikah. Coba bayangkan, bagaimana jika itu Dyfal dan kekasihnya, akan sangat menyenangkan mungkin.

Tak lama, mobil yang ditumpaingi Dyfal sudah sampai diparkiran restoran. Segera Aqda mencari tempat untuk parkir mobilnya—mencari tempat yang sedikit teduh—agar calon istrinya tak sakit karena kehujanan.

"Eh, itu Swara bukan?" Zara berteriak, membuat mobil tiba-tiba terhenti, karena Aqda yang sedikit terkejud oleh teriakan Zara.

***

Enak ya, nggak kayak gue yang bucyn terus.

maap kalo typo ya... bukan penulis handal

s w a r aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang