5

1.4K 139 16
                                    

Matahari bersinar tepat di hari libur yang cerah namun terasa temaram untuk Lidya. Ia menyingkap gordyn yang berada di kamar Aluna, membuat pemilik kamar itu mengerjapkan mata. Aluna memposisikan tubuhnya untuk duduk.

"Suasana hari libur yang beda sejak ada kakak disini," ujar Aluna dengan setengah riang.

"Hari yang temaram bagi gue tinggal disini, kenapa lo bawa gue balik lagi ke sini sih," gerutu Lidya lalu duduk di sebelah Aluna. Mereka memang tidak sempat untuk mengobrolkan hal yang lebih rinci sebab waktu membatasi mereka.

"Entar aku jawab alasannya. Tapi sebelum itu bantu aku ngerjain tugas dulu soalnya hari ini aku mau ngajakin kakak jalan-jalan." Secepat kilat Aluna langsung berdiri dan berlari kecil ke arah rak buku. Mengambil beberapa buku dari rak itu lalu dipeluknya dengan erat.

Lidya hanya mengerenyitkan dahinya, menuruti perkataan Aluna. Waktu telah menyingkat lebih cepat, tugas Aluna selesai.

"Gue curiga. Jangan-jangan lo cuma manfaatin gue disini? Kita ga sama sekali kenal ataupun tau," selidik Lidya dengan tatapan penuh curiga. Aluna hanya membalasnya dengan senyuman riang.

"Walaupun aku manfaatin kakak, tapi kita sama-sama untung. Aku tidak akan menyakiti kakak, begitupun sebaliknya karena kakak akan mempermudah langkahku." Aluna meletakkan beberapa tugas sekolahnya kembali ke tempat semula.

"Langkah lo? Gue bener-bener dimanfaatin," desis Lidya menatap ke arah jendela yang mengantarkan cahaya cerah, mungkin saja Lidya sedikit tenang.

"Beberapa hari ini gue serasa dihukum gantung ngehadepin sikap kakak lo itu," gumam Lidya tanpa diminta menggerutui hal-hal dingin dan kasar yang dilakukan Oxy walaupun tidak secara langsung dengannya.

"Kakak harus sabar. Karena aku punya banyak alasan kenapa aku harus milih kakak untuk mempermudah langkahku. Intinya kita akan sama-sama untung dan tidak ada yang dirugikan. Aku pun janji untuk menjaga kakak. Sebenarnya ketika malam aku bertemu dengan kakak aku baru menemukan informasi baru yang memperkuat langkahku, tapi aku tidak bisa menjelaskannya kepada kakak. Nanti kakak bakal tau bertahap," ujarnya senang.

"Terserah lo. Dan sekretaris Oxy?! Gue harap lo waktu itu gak dalam keadaan mabuk," cerca Lidya dengan amukan amarah yang masih saja terpendam.

"Aku dalam keadaan yang sangat sadar, kak. Sebentar lagi kakak akan tau alasannya, tidak akan mencapai waktu 5 menit dan aku sedang menunggu." Aluna tersenyum dengan sinis ke arah pintu kamarnya.

"Ada apa?" tanya Lidya penasaran dan berusaha menebak apa yang akan terjadi.

Penantian yang menjenuhkan bagi Lidya, ia pun tidak mengetahui apa yang kini ia nantikan. Aluna masih mengecek handphonenya, dengan baju tidur yang masih melekat di tubuhnya.

"Kak, apa yang kakak pikirkan ketika bertemu denganku pertama kali?" tanya Aluna yang memecahkan keheningan dan membuyarkan konsentrasi Lidya terhadap novel yang ia baca. Lidya memutar bola matanya.

"Jalang!" jawab Lidya ketus dan singkat. Aluna terkekeh lalu tertawa dengan terbahak-bahak.

"Seperti itu kakak anggap jalang? Nanti aku perlihatkan bagaimana itu jalang," kekeh Aluna lalu mengambil sebilah pisau kecil dari bawah bantalnya.

"Lagi-lagi benda itu, mau ngancem gue apaan?" tanya Lidya dengan sinis melihat ujung mengkilat dari benda tajam itu.

"Ini mainanku, aku tidak akan menyakiti kakak. Atau kakak akan kebal dengan mainan ini," tukas Aluna sambil mengantongi bilahan pisau kecil tersebut.

"Gak perlu, gue udah kebal," jawab Lidya dengan spontan. Aluna memperhatikan Lidya dan beberapa goresan putih di kulit Lidya, putih yang terang.

"Aku tau, banyak bekas di kulitmu. Sekedar informasi, aku telah mahir menggunakan mainan ini." Aluna mengankat satu alisnya sambil matanya mengisyaratkan menuju tempat berada pisau itu dan tersenyum puas.

"Dan sekedar informasi, gue juga udah terlatih buat matahin hasta orang," ikut Lidya. Aluna dan Lidya terkekeh mendengar pernyataan yang sama sekali tidak ada manfaatnya.

"Honey!!" teriak suara wanita dari luar kamar disertai dengan hentakan kaki yang menggema.

"Siapa itu?" selidik Lidya mendengar suara yang begitu asing di telinganya.

"Kakak ikut aku, dan kakak harus membelaku." Aluna menarik lengan Lidya dan membawanya ke suatu lorong mengikuti langkah wanita itu.

***

Wanita itu memasuki sebuah ruangan lalu menutupnya.

"Honey! Kenapa kamu pecat aku? Kamu tau kan seberapa perfectnya aku dan kamu itu calon tunanganku!" amuk wanita itu. Oxy memandangi wanita itu dengan malas lalu menatap laptopnya kembali.

"Oxy! Jawab aku!" bentak wanita itu seraya hendak menutup laptop Oxy namun dengan cepat tangannya ditepis.

"Jauhi tanganmu! Atau aku tak segan-segan melakukan sesuatu!" bentak Oxy dengan kesal.

"Kamu berani denganku! Jangan lupakan hal yang gak akan kamu lupakan! Dan jangan lupa kita akan tunangan!" Oxy menghela nafas dengan berat mendengar pernyataan wanita itu.

"Gue kepaksa," jawab Oxy singkat lalu kembali memperhatikan pekerjaannya.

"Kepaksa? Siapa yang maksa kamu buat mecat Bianca Rilaz? Bilang sama aku!"

"Gue, kenapa lo ga setuju?" ujar Aluna yang tiba-tiba membuka pintu dan mengubah ekspresi Bianca menjadi lebih murka.

"Lo jangan lupa gue siapa Oxy! Gue calon tunangannya!"

Lidya baru mengerti, bahasa formal yang mereka gunakan hanya kepada orang yang akan mereka hormati. Kehidupan glamour bukanlah jiwa Lidya sebenarnya.

"Baru calon tunangannya aja bangga, lah gue adik kandungnya. Gue pastiin lo gak bakal bisa ngewujudin mimpi lo, najis bagi gue punya kakak ipar modelnya kek jalang gini," ujar Aluna dengan gertakan gigi yang kuat.

"Ini kak, ini yang namanya jalang sebenarnya," ujar Aluna dengan tatapan sadis. Lidya mengamti Bianca, gadis dengan pakaian serba ketat dan mini.

"Oxy! Siapa ini?!" amuk Bianca ketika menyadari orang asing di tengah pembicaraannya.

"Dia adalah orang yang gue anggap sebagai kakak gue sendiri, lebih baik dari lo, tinggal sekamar dengan gue, dan terpenting dia yang bakal gantiin lo jadi sekretaris Oxy! Gue udah muak liat lo dengan pakaian kurang bahan lo! Gue juga mastiin bahwa hidup dengan Oxy itu cuma mimpi buat lo!" nada Aluna mulai meninggi.

"Gak mungkin! Pergi lo dari sini!" bentak Bianca dengan marah di hadapan Lidya. Namun situasi ini telah sering dilewati Lidya, ia tersenyum, senyuman penuh makna.

"Gue heran lo masih punya harga diri udah pake baju kurang bahan kek gitu," kekeh Lidya yang meluapkan apa yang ia ingin katakan.

"Lo keluar dari sini!" bentak Bianca tambah dengan amarah.

"Lo yang harusnya keluar dari sini! Gue yang bawa dia kesini! Dan ini rumah gue!" balas Aluna tak ingin kalah.

"Gue pastiin lo bakal hancur!" gumam Bianca penuh ancaman. Aluna tersenyum.

"Sebelum lo ngehancurin gue, gue bakal buat lo enyah dari kehidupan gue dan keluarga gue!"

Perang mata bergerilya, Bianca memutus kontak matanya lalu pergi meninggalkan Lidya, Oxy dan Aluna.

"Jaga sikapmu!" tegur Oxy setelah Bianca benar-benar pergi.

"Siapa yang harus menjaga sikap, aku atau kau?"

I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang