55

1.2K 116 18
                                        

Gio masih terpaku duduk di samping Lidya. Kehilangan Lidya dari alam sadarnya benar-benar mengubah arah pikirnya.

Ia tidak mengizinkan siapapun masuk ke ruangan tanpa sepengatahuan dia termasuk hadirnya Oxy dan Aluna. Banyak temannya yang mondar-mandir di depan pintu dan menjaga kemanan seperti yang diinginkan Gio.

Gio frustasi karena kejadian itu, beberapa kali ia mencoba membunuh dirinya sendiri namun setiap kata-kata Lidya tiba-tiba mengalun di telinganya, ia membatalkannya.

"Kau di mana?" tanya Gio ketika menempelkan handphonenya ke telinganya. Matanya tidak lepas dari Lidya, tatapan iba bercampur kesedihan selalu terutarakan.

"Cepatlah ke sini, dan jaga Lidya. Aku ada urusan," pesan Gio lalu mematikan sambungan teleponnya.

Gio menyimpan handphonenya kembali masuk ke dalam saku. Ia mendekati wajah Lidya seraya membelai rambut wanita itu dengan lembut.

"Kau tidak ingin bangun dan menyenangkan hati kakakmu? Sudah cukup kau menyiksaku selama tiga hari ini, maka bangunlah. Jika kau belum ingin bangun jangan perburuk keadaanmu. Hidupku adalah kehidupanmu dan kematianmu adalah kematianku. Tunggu sebentar, aku akan keluar dan Oxy yang akan menggantikanku," pesan Gio dengan air mata yang mengalir setiap ia mencoba untuk berkomunikasi dengannya.

Pintu dibuka dan memunculkan wajah yang telah dinanti. "Akhirnya kau mengizinkanku masuk."

Gio tidak menjawab hal itu, ia langsung bangkit dan mengambil jaketnya yang ia lempar jauh. Telah tiga hari penuh ia menghirup aroma obat-obatan kimia, ia ingin mencari udara. Walaupun segala kesegaran ada ketika gadis yang telah ia jaga mengerjapkan mata dan terbangun.

"Jaga Lidya baik-baik, jika tidak setelah ini kau yang akan menjadi target pembantaianku," cetus Gio sambil melangkah dengan konstan ke luar ruangan.

"Kabarkan aku jika ada sesuatu hal apapun yang terjadi."

"Siap, panglima!"

Gio mengendarai motor  motornya ke arah suatu tempat di bawah terpaan cahaya bulan. Tidak ia sangka, udara malam yang kini menyegarkannya malah menjadi sangat sesak.

Ia mengarahkan motornya berhenti ke arah suatu kerumunan yang menatap kedatangannya, tidak terlalu banyak tetapi cukup untuk dikatakan sebagai kerumunan.

Gio memarkirkan motornya dan melangkah ke arah orang-orang yang kini berdiri di depan matanya.

"Bagaimana kondisi Lidya?" tanya salah satu orang, dia adalah Rozi. Bagus, kehadiran Gio di tengah-tengah mereka membuatnya sedikit melega.

"Bagaimana dengan nasib kakakku, dia baik-baik saja kan?" tanya Rian melanjutkan pertanyaan Rozi yang belum terjawab.

Gio menghela nafas lalu menggelengkan kepala seraya menatap bulan purnama yang begitu indah. "Tidak ada yang baik, dia masih tidak sadarkan diri. Aku tidak menyangka jika alam tidak sadar itu sangat ia sukai sehingga ia tidak ingin membuka matanya untuk menatapku," jelas Gio atas helaan nafasnya.

"Lalu bagaimana dengan peluru itu?" tanya Udin mengambil kesempatan.

"Peluru itu telah dikeluarkan dari kepalanya. Kata dokter itu kesempatan hidupnya sangat kecil, ia tidak bisa memastikan. Kenapa orang pintar sepertinya harus mengatakan hal pahit yang membuatku jadi dendam?! Pelurunya memang keluar, tetapi aku sepenuhnya tidak akan pernah berharap jika nyawanya akan keluar dari raga," kesal Gio meluapkan segala kekesalan dan perasaannya. Ia tidak bisa berpura-pura kuat lagi.

"Kau harus sabar," gumam Rozi bingung berbuat apa.

"Sabar? Sampai kapan aku harus bersabar? Ketidaksadarannya benar-benar membuatku lupa jika aku pernah hidup. Kau tau? Aku lemah sekarang! Di antara ketiga saudaraku, hanya dialah yang paling aku istimewakan. Hanya dia! Aku hanya menyayanginya, persetan dengan Oxy dan Aluna aku tidak peduli tentang kehadiran mereka!" Gio menghentikan luapan emosinya dan menatap Rozi.

"Kau mau tau kenapa? Karena kebahagiaannya selalu direnggut. Aku tidak tau mengapa kebahagiaan tidak selalu berpihak dengannya. Aku telah lama bersamanya dengan menyamar menjadi orang stres yang mengikuti kelompokmu dengan berbekal luka palsu di wajahku, ia tidak ngeri untuk menyuapi makanan kepadaku. Setidaknya dari itu aku tau dia tumbuh menjadi gadis yang baik, kenapa gadis baik seperti itu harus mengalami kejadian seperti ini?" Gio benar-benar larut dalam kesedihannya.

"Harusnya aku yang berada di posisinya kini, jika ia berpikir jernih dan memilih tidak untuk menyelamatkanku. Aku bodoh," decak Gio kesal atas dirinya sendiri.

"Walaupun pikirannya telah jernih tetapi dia pasti menyelamatkanmu, kau kakaknya, saudaranya! Persetan jika kau kakaknya ia akan tetap menyelamatkanmu. Kau ingat? Ketika kabar kematian palsumu dia frustasi sejadi-jadinya. Bagaimana bisa dia merelakan kematianmu tepat di depan matanya?" tukas Dimas semakin kesal.

"Kau benar. Aku bersumpah! Jika dia benar-benar meninggalkanku, maka aku, Zavier Royza Lathfierg akan menyusulnya dengan senang hati," kalut Gio sambil tersenyum menatap bulan itu lagi.

"Kau gila!" cerca Rian tiba-tiba.

"Biarkan aku gila, sendiku telah melemah sembari detik waktu Lidya terbaring lemah. Aku ingin mengutarakan kesedihanku, mungkin saja dia mendengarnya dan memilih bangun untuk bersamaku. Aku telah lemah! Jika kalian merasa dendam kepadaku, silahkan saja! Aku tidak akan melawan. Kematian Robert tidak membuatku lega, ia mengambil titik lemahku dan dendamku mulai menggebu," tukas Gio pasrah dengan hidupnya, sambil berlutut dia menatap tanah dan rerumputan yang mulai gersang.

Handphonenya berdering, memecah kebahagiaannya. Ia mengangkat telepon yang ditujukan kepadanya.

"Lidya sadarkan diri, tetapi kondisinya malah berbalik lemah dan kondisinya sangat memburuk." seseorang mengatakan hal itu dari seberang sana dan membuat segala tulangnya rusak berantakan.

Ia bangkit dan membungkam, ia tidak menjawab apapun. Ia berlari menuju motornya dan memilih untuk memacu kendaraan itu dengan lekas kembali ke rumah sakit.

Ia berlari dan menemukan Oxy tengah berdiri khawatir di samping Aluna.

"Kondisi Lidya semakin..."

"Bagaimana kau merelakan ia tidak sadarkan diri lagi?!"

"Jika aku bisa mengendalikan setiap alam sadarnya maka aku lebih memilih untuk membuatnya tidak mengalami hal ini!"

***

Gio kini tengah duduk di depan ruang operasi. Ia resah dan semakin gelisah, di pangkal lorong rumah sakit itu ia mengamati Aluna dan Oxy berlari kecil menghampirinya.

"Kau gila! Bagaimana bisa kau merelakan kakakku berada di ambang kematian dengan operasi pencangkokan ginjal ini! Dia sedang koma dan mengapa kau menyetujui hal ini?!" bentak Aluna sangat marah.

"Jika sesuatu terjadi kepada adikku, aku tidak akan pernah memaafkanmu!"

Gio berdiri dan menatap Aluna serta Oxy dengan murka. "Kau jangan lupa jika dia adalah adikku, apa yang aku lakukan ini adalah kebahagiaannya, hanya untuk kebahagiaannya. Jika sesuatu terjadi kepadanya, aku siap kalian bunuh! Aku tidak takut dengan kematianku tetapi yang aku takutkan adalah kematiannya."

"Kau membuatnya berada dekat dengan kematian!" tukas Aluna tidak terima.

"Diamlah! Kau tidak tau apa-apa! Pergi dari sini sebelum aku lupa jika kalian adalah saudaraku!"

Dengan kekesalan dan amarah Aluna dan Oxy melangkah berbalik ke tempat asal mereka, meninggalkan Gio di depan ruang operasi sendirian.

Seorang dokter keluar dari ruangan dan menemui Gio. "Operasi berhasil, tetapi kami tidak yakin jika kesehatan pendonor akan semakin membaik. Kondisinya mulai memburuk."

Gio mengangguk dan membuat dokter itu pergi.

"Aku benar-benar tidak yakin jika persetujuanku ini adalah tindakan yang benar. Maafkan aku."

I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang