"Aku harap kau tidak menurunkan harga diriku!" desis Oxy sambil memarkirkan mobil Lamborghininya dengan mulus.
"Harga diri gue udah turun sekarang sama lo, lo memalukan," gumam Lidya seakan tidak berdosa.
"Jangan coba berlari dariku! Ikuti saja aku dan jangan membuat dirimu tersesat dan akhirnya menyusahkanku!" tegas Oxy sekali lagi.
Lidya memutar bola matanya seraya menunggu Oxy membuka kunci pintu mobilnya. "Hidup gue udah susah pas sama lo."
Pintu mobil terbuka, Lidya dan Oxy keluar serentak membuat gumaman para pemilik mata yang melihat keberadaan mereka.
"Jaga pandangan kalian!" bentak Oxy dengan tatapan orang yang membuatnya merasa risih. Oxy langsung memutar, menggenggam tangan Lidya dan menyeretnya menjauhi tatapan banyak orang.
"Jaga tangan lo dari tangan gue," sindir Lidya membuat Oxy langsung melepaskan genggaman tangannya dan menghempaskan tangan Lidya dengan keras.
"Sakit dah! Biasa aja kali!" cerca Lidya terhadap perlakuan Oxy. Oxy tetap berjalan dengan merasa tidak melakukan apa-apa.
"Oxy! Kenapa kamu bawa wanita ini kesini?" teriak Bianca menyambut kedatangan Oxy di hadapannya.
"Ga setuju?" ketus Lidya. Lidya teramat paham tentang cara menghadapi kedua orang yang berada di hadapannya.
"Diam!" tegas Bianca namun Lidya malah semakin menjadi.
"Mulut-mulut gue, hak gue dong buat ngomong," jawab Lidya dengan tenang.
"Lo tuh—"
"Kalian diam! Memalukan! Bianca, kau temani dia disini! Aku mau mengurus berkasnya!" perintah Oxy dengan lekas sambil menatap layar handphonenya dengan lekat.
"Sama dia ogah!" tukas Bianca dengan nada jijik.
"Oke gue mau sama lo, biar dikira seorang Bianca jadi asisten gue. Gue ikhlas," kekeh Lidya sambil menyunggingkan senyumnya. Oxy menatap mereka dengan wajah datar tanpa ekspresi lalu meninggalkan mereka berdua.
Hening dan sepi menyapa mereka yang tengah duduk di kursi taman dengan jarak yang saling berjauhan.
"Ikut gue!" ajak Bianca setengah membentak. Lidya menghiraukan ajakan Bianca dan kembali fokus ke novel yang pernah dibelikan oleh Zhiro. Rasa hatinya memerih setiap lembaran novel itu dibukanya.
"Ikut gue!" teriak Bianca sekali lagi dengan nada yang sangat tinggi. Lidya tetap dalam posisinya, tidak berkutik ataupun melirik sedikit saja.
Bianca geram dengan perlakuan yang ia dapatkan dari wanita yang sebisa mungkin ia musnahkan secepatnya. Ia langsung melemparkan novel tersebut, novel itu Lidya rawat dengan hati-hati. Tetapi hentakan yang begitu keras membuat susunan kertas tersebut menjadi 5 bagian dan 1 bagian sangat berantakan.
Mata Lidya langsung memerah, namun dengan cepat ia kendalikan. Tiba-tiba emosinya telah melunjak dengan kuat, ia berada di atas puncaknya. Seperti hati yang telah Bianca campakkan, membuat darah di sekujur pembuluh darah Lidya seketika mendidih.
Lidya langsung berdiri dan merapikan kembali novel tersebut dengan lekas. Satu bagian mengenai genangan air hingga setengah halaman cetaknya basah.
Lidya menggeram beberapa kali dalam hatinya, ingin rasanya ia menangis jika novel itu teramat berarti untuknya. Novel telah tersusun walaupun dalam susunan acak. Ia langsung memasukkan novel tersebut ke dalam tasnya, dan menutupnya rapat.
"Itu akibatnya karena udah ngehirauin kata-kata gue," tawa Bianca terdengar begitu membangkitkan emosi Lidya lagi. Sudut matanya menajam dengan cepat, senyumnya terangkat.
Lidya melangkah dengan santai di hadapan Bianca, tepat mata mereka bertemu. "Akibat?"
Lidya seketika menampar wajah Bianca dengan sangat kuat, hingga ketika Bianca mengangkat wajahnya kembali ke hadapan Lidya, pada sudut bibirnya mengalir cairan merah.
"Udah gue bilang, jangan ganggu gue dan ini akibatnya!"
"Lo?! Lo berani nampar gue? Gue bakal kasih tau semua ini dengan Oxy!" Bianca hendak mengangkat tangannya guna membalas tamparan yang ia terima. Namun ia kalah cepat, Lidya segera mencengkeramnya dengan tatapan kosong.
Lidya memutar tangan Bianca dengan kencang di pinggangnya. "Terserah lo mah ngadu ke Oxy semuanya, gue sama sekali ga peduli. Gue gak akan takut sama lo atau sama tunanganmu itu. Dan ingat sekali lagi kali ini bibir lo yang berdarah dan mungkin sudah ini tiap-tiap tulang lo yang patah dan akhirnya kematian lo di tangan gue."
Lidya langsung melepas kunciannya dan menghempaskannya jauh. Lidya melangkah meninggalkannya.
"Heh lo mau kemana?!" teriak Bianca masih tidak terima. Lidya tetap saja melangkah, menghiraukan teriakannya dan menuju arah yang sama sekali belum ia kenal.
Lidya melangkah, semua mata tertuju padanya. Tidak heran, ia terasa asing bagi mereka. Sebuah tangan menariknya dari belakang, sambil mendekap mulutnya dan membawanya ke sesuatu tempat. Na'as, kejadian itu terjadi di lorong sepi yang entah alasan apa yang membuat Lidya berani melangkahkan kakinya menuju sana.
Tubuh Lidya di dorong sedikit ke depan, lantas saja Lidya langsung berbalik dan menatap siapa yang lancang mengunci pergelangannya.
"Apakah merindukan kami?" kekeh seseorang dari mereka, Lidya seketika mengerti alasan ia dibawa kemari. Tempat sunyi, gelap, hampir mirip gudang dan jauh dari keramaian.
"Aku sangat merindukan kalian," jawab Lidya sambil tersenyum penuh maksud. Ia melirik ke sekitar, pintu dikunci namun adegan bisa lebih dramatis jika ia bisa melewati jendela yang masih mempunyai ujung kawat yang tajam di setiap sisinya. Beberapa pecahan kaca berserakan di kusen jendela tersebut. Itu adalah satu-satunya jalan yang akan menyelamatkannya, ia mengumpulkan segenap tekad.
"Apa mau kalian?" tanya Lidya dengan sikap yang menenangkan, lebih menenangkan. Ia teringat dengan ucapan Exel, jika ekspresinya bisa membuat lawannya menebak apa yang akan ia lakukan.
"Apa mau kami? Lo pasti tau, acara kita kemarin sempat terjeda dan maksud kami belum terpenuhi," lirih salah satu lelaki dari mereka berlima sambil menatap Lidya dari atas ke bawah. Mereka adalah orang yang sempat menganggu Lidya di tengah malam kala itu.
"Malam itu kalian tidak mendapatkannya, begitu juga hari ini." Lidya langsung menyusun strategi untuk menyelamatkan diri beserta harga dirinya.
"Lo udah terkepung disini, cuma ada lo dan kami berlima. Silahkan teriak, tapi yakinlah gak bakal ada yang denger. Ini jauh banget, baguskan cara kami," tawa mereka dengan serentak.
Lidya ikut tertawa. "Minta tolong? Buat apa minta tolong kalo gue bisa nyelametin diri sendiri."
"Keberanian lo masih kuat," decak mereka. Mereka melangkah mendekati Lidya, dengan cepat Lidya melemparkan barang terdekatnya untuk menghalang mereka. Terjangan demi pukulan dilancarkan Lidya untuk selamat dalam posisinya, hingga posisinya dengan jendela sangat lah dekat.
Lidya tidak mengundurkan niatnya, ia langsung melompat dan melentingkan tubuhnya. Kesempatan tidak datang untuk dua kali. Ia berhasil namun sialnya sebuah ujung kawat menancap di telapak tangannya. Ia keluar dari ruangan tersebut.
Pintu terdengar akan dibuka, Lidya langsung menghiraukan luka tangannya. Ia berlari dengan cepat. "Tunggu!!"
Lidya berlari melintasi lorong demi lorong, namun di lorong terakhir sebuat tangan terulur menarik tangan Lidya. "Lepasin gue!"
"Lo?"
Lidya menoleh ke tangan yang menariknya. "Lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔
Novela JuvenilBook 2 of Lathfierg series Wajib baca 'Just Cause You, Just For You' terlebih dahulu! "Ini bukanlah akhir dari segalanya." Kalimat yang sering Lidya rapalkan ketika ia terpuruk jatuh, hingga ia mencoba untuk bangkit lagi dan berdiri tegap dengan men...