61

1K 88 9
                                    

Orang itu langsung membuka penutup wajahnya. "Kau akan membuatku benar-benar mati."

Gio menatapnya tidak percaya, orang yang ia lukai adalah orang yang ia cari. "Kau? Mengapa kau memakai pakaian seperti ini?"

Wajah Gio yang penuh amarah kini berubah menjadi lebih cemas dari biasanya, terlebih lagi telah banyak darah yang mengalir dari kaki Lidya.

Gio mengulurkan tangan namun langsung ditepis Lidya mentah-mentah. Lidya langsung berdiri, Rozi langsung datang padanya dan hendak membantunya. "Aku bisa sendiri! Lepaskan aku! Aku bukan orang lemah dan jangan ganggu aku!"

Dengan menggeret kakinya, Lidya melangkah kembali masuk ke dalam rumah. Gio hanya membuntutinya dengan menjaga jarak, darah Lidya mengecap di lantai rumah.

Para penjaga hanya menatap Lidya dan Gio dengan seribu kebungkaman. Melawan mereka berdua sama saja mengumpan nyawa dan menantang maut.

Alvin mencegat langkah Lidya dan menghentikan gerak wanita itu. Sorot mata Lidya kini lebih tajam, membuat Alvin merasa lebih gentar walaupun semula ia pernah membentak wanita itu. "Ada apa? Emosiku lagi memuncak! Kau akan binasa di tangan kosongku!"

"Maafkan aku atas kejadian semula, aku benar-benar khilaf," ucap Alvin dengan sangat cepat.

"Lupakan saja! Anggap saja ini tidak pernah terjadi!" Lidya melewati Alvin dan menaiki tangga, darahnya masih mengalir sangat derasnya.

Alvin menatap kedatangan Gio dengan penuh harap, sejenak Gio mengangguk lalu menyusul Lidya. "Bagaimana bisa kau menjadi salah satu di antara mereka?"

Lidya berbalik arah dan menatap sinis Gio. "Untuk apa lagi? Tentu saja kepentingan pribadiku."

"Kau mengatakan, kau akan pergi dan bagaimana bisa kau bersama mereka?"

"Kau menduga aku akan pergi? Atau itu hanya harapanmu saja untuk aku benar-benar pergi?" tanya Lidya dengan sinis. Ia berdecak.

Lidya berdecak tidak percaya. "Lalu aku harus percaya?"

"Itu hakmu untuk percaya atau tidak kepadaku, yang terpenting aku telah memberikanmu pernyataan. Aku akan mengobatimu, lukamu terlalu parah dan aku tau jika aku tidak dapat dimaafkan."

"Ada syarat untuk aku memaafkanmu," gumam Lidya memberikan Gio harapan yang lebih.

"Apa itu?"

"Tunggulah aku tepat di ubin yang menjadi tempat pijakanmu! Jangan sekalipun kau keluar dari batas itu, aku akan masuk dan mengobati lukaku. Setelah itu, ikuti perintahku," lirih Lidya dengan sinis dan membuka pintu kamar lalu kembali menutupnya dengan gebrakan yang begitu kuat.

Rozi menatap Gio dengan iba yang kini tengah menghela nafas jauh lebih dalam. "Kau baik-baik saja?"

"Jauh lebih baik setelah aku melihat dia kembali bersamaku," hela Gio lagi. Ia masih memandang pintu kamar Lidya, masih saja terdengar ringisan suaranya yang mengobati lukanya.

"Apakah kak Lidya akan memihak orang lain dan menjadi boomerang buat kita?" gumam Rian yang datang dari belakang Rozi. Kini Rian tinggal bersama di kediaman Guarda dengan permintaan Lidya dan Udin telah kembali ke kota asalnya.

"Aku tidak tau, aku masih tidak habis pikir dengan jalan pikir Lidya. Semuanya terasa begitu cepat, penghinaan Alvin, dia menjadi rapuh, lalu dia pergi dan ditemukan dengan kondisi menjadi seperti penyusup yang lainnya," jelas Rozi sembari menyilangkan kedua tangannya.

"Aku masih tidak mengerti, kebahagiaannya menjadi prioritasku. Jika pun ia kini berbalik menjadi senjata yang menyerangku, aku tidak pernah menjadikan ini sebuah masalah dan aku tidak akan melawannya. Itu hukuman yang tepat karena kini aku melukainya, dan lihatlah darah ini. Jangan dibersihkan, biarkan aku yang membersihkannya." Gio masih saja mengamati jalannya darah itu mengalir tanpa keluar sedikitpun dari ubin tersebut.

"Lalu mengapa kau berdiri di sana?" heran Rian mengamati tingkah Gio yang enggan keluar dari ubin itu seolah-olah kini ia dikelilingi oleh sinar x.

"Sebuah keharusan untuk aku tetap berdiri di sini," jawab Gio sembari tersenyum kecut.

***

Lidya membuka pintu dan akhirnya keluar dengan pakaian serba hitam. Hampir mirip dengan yang Gio, Rian, dan Rozi kenakan.

"Bagus kalian bertiga kini tengah berkumpul. Rian, perintahkan untuk membuatkan 7 cangkir teh untuk jamuan sebentar lagi. Aku ingin merilekskan tubuhku dan telah mengundang beberapa orang yang ingin aku undang," gumam Lidya lalu kembali masuk ke ruangan dan menggeret samurai yang lumayan lebih panjang daripada yang sering ia gunakan.

"Mau apa kau dengan samurai itu?" selidik Rozi mengamati Lidya dengan intens.

Lidya menaikkan satu alisnya dan berbalik menatap Rozi dengan tatapan yang ia lemparkan kepadanya. "Mengapa kau ingin tau? Bukankah aku tidak pernah menanyakan kepadamu mengapa kau selalu membawa samuraimu seperti saat ini."

"Di mana aku harus meletakkan cangkir teh itu kak?" tanya Rian menyela. Lidya mengurungkan niatnya untuk mengatakan sesuatu hal lagi kepada Rozi.

"Ke tempat yang kau rasa aman. Aku ingin ruangan itu diseterilisasi dari penjaga karena aku ingin hanya kita dan beberapa tamu undanganku yang berada di dalam sana dan ruangan itu haruslah jauh dari telinga usil. Jika saja aku mengetahui ada orang yang sengaja mendengar pembicaraan kita, maka aku pastikan jika ini adalah malam terakhirnya!" lantang Lidya sampai terdengar di lantai bawah dan membuat jantung yang mendengar berdetak lebih kencang.

Rian mengangguk dan meninggalkan mereka bertiga.

Lidya menatap Gio dan Rozi seakan menargetkan mereka. "Kalian berdua ikut aku ke teras rumah, kita tunggu tamu undanganku. Aku harap setelah ini kalian tidak banyak protes atas apa yang akan aku lakukan."

Lidya terlihat melangkah dengan kesulitan karena luka yang dibuat Gio. Namun luka itu tertutupi, ia memakai sepatu dengan bahan yang lebih tebal. Lidya senantiasa menggeret langkahnya membuat penjaga yang berdiri menghalanginya memberikan jalan.

Lidya berdiri dengan menatap tajam ke arah gerbang, dua berkas cahaya datang dari kejauhan. Lidya menyunggingkan senyumnya.

"Buka gerbang itu!" perintah Lidya yang diangguki oleh beberapa penjaga. Mereka berlari lekas mengomando yang lainnya dan membuka gerbang itu.

Sebuah mobil mewah masuk dan terparkir rapi. Pemiliknya turun dan berjalan dengan lekas, ia melambaikan tangan. "Kakak!"

Dia adalah Aluna, ia berlari dan memeluk Lidya dengan sangat erat dan Lidya sedikit terkekeh. "Lepaskan aku atau aku akan mati seketika."

Aluna langsung melepaskan pelukannya dan menatap Lidya dengan binaran mata yang indah. "Terima kasih karena telah mengundangku kak. Aku sungguh bosan di rumah sendirian."

"Gio dan Rozi, antar Aluna ke ruangan. Aku masih harus menunggu yang lainnya," guman Lidya sembari tetap menatap pagar.

Gio mengangguk disertai Rozi. "Ayo ikut kami!"

Mereka bertiga masuk ke dalam rumah, Rozi menatap Aluna dengan sangat tajam. "Perihal apa Lidya mengundangmu untuk datang ke sini dan mengadakan pesta kecil-kecilan ini."

Aluna memutar bola matanya, ia menghela nafasnya. "Jangan tanya aku, seperti biasa karena aku sungguh menyayangi kakakku, jika tidak, aku tidak akan datang ke sini. Akan kemana kita?"

"Ke ruangan itu," tunjuk Rozi ke suatu ruangan. Aluna mengangguk dan masuk ke dalam ruangan itu bersama Rozi dan Gio, Rian telah menunggu di dalam ruangan.

Mereka menghela dan menatap jam dinding yang berdetak dan melarutkan waktu yang semakin lama.

Lidya datang bersama dua orang bertudung di samping kiri dan kanannya. Aluna dan yang lainnya menatap heran. "Siapa mereka, kak?"

Lidya menyunggingkan senyumnya, menatap dari atas ke bawah satu persatu di antara mereka. "Siapa kalian?"

I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang