"Di mana Oxy?" Lidya melangkah masuk ke dalam kantor itu. Para karyawan yang hilir masuk mengamatinya, seakan tidak tau malu ia memasuki perusahaan ini sesuka hatinya.
"Di ruangannya," jawab satu di antara mereka dengan gugup. Pasalnya mengetahui jika gadis yang berada di hadapannya bisa berbuat sesuka hatinya. Telah banyak bukti yang menguatkan seperti Bianca dan Yoza, ditambah lagi sepertinya gadis ini tahan banting dari kejadian tangga beberapa hari yang lalu.
"Aku tidak melakukan hal buruk kepada kalian, kalian langsung tergugup. Apalagi jika aku melakukan hal yang sangat buruk?"
Sebuah kalimat dengan bahasa yang formal kini ia lontarkan. Aura Oxy membuat ia dapat menyesuaikan diri dan bahasanya.
Lidya segera meninggalkan mereka, ia tidak banyak waktu untuk menakuti apalagi menggertak mereka. "Kau ada di sini?"
Sapaan Erick tidak ia respons sedikitpun, ia kini tidak tertarik dengan segala nyawa di perusahaan ini. Lidya tetap melangkah mencari sosok yang memanggilnya ke sini.
Lidya membuka pintunya, Oxy duduk membelakangi arah datangnya. Oxy memutarkan kursinya. Lidya menutup pintu dengan pelan dan menguncinya rapat.
"Ada apa?" tanya Lidya sembari duduk sebelum diminta. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Oxy, mereka terlihat teramat serius.
"Kenapa kau setengah berbisik seperti ini?" selidik Oxy terheran. Raut wajah Lidya menjadi datar dan menatap Oxy dengan kesal. Lidya berdiri dan memainkan jari jemarinya agar Oxy mengikuti langkahnya.
Oxy melangkah di belakang Lidya dan mendekati pintu. "Kau akan tau setelah melihatnya."
Pintu dibuka dengan pelan beberapa pasang telinga hampir menempel di daun pintu. Lidya melirik ke arah Oxy lalu melirik ke arah mereka, mereka terlihat tenang dan begitu mengilhami aktivitasnya kali ini.
"Apa aku membayar kalian hanya untuk mendengarkan segala pembicaraanku?" sindir Oxy. Mereka langsung terkejut dan saling menoleh mengharapkan transfer argumen.
Mereka bubar menyisakan Erick yang tertangkap basah. "Kau juga Erick?"
"Aku tidak tahan dengan apa yang digosipkan mereka," bela Erick terhadap dirinya sendiri.
"Lalu?" geram Oxy tidak tertahankan.
"Aku ingin membuktikan jika yang mereka gosipkan itu salah dan aku tengah melakukannya," dalih Erick lalu berbalik arah dan meninggalkan mereka berdua dengan cepat sebelum kehadirannya merugikan dirinya sendiri.
Mereka kini kembali menutup pintu, menuju ke arah jendela ruangan yang terbuka lebar. "Aku akui kau menang."
"Menang? Aku rasa aku tidak pernah bertanding apapun," elak Lidya memandang Oxy malas.
"Lupakan saja. Bisakah kau kembalikan adikku bersamaku?" suasana menjadi sendu. Oxy tak henti menatap harap Lidya dengan sangat.
"Aku tidak pernah mengambil Aluna darimu," kilah Lidya tidak terima.
"Kasih sayangnya padamu yang membawanya padamu," jawab Oxy lagi. Lidya menghela nafasnya mengahadapi lelaki aneh ini.
"Bukan hal itu. Kau yang membuatnya jauh darimu, dia sungguh menyayangimu dan peduli terhadapmu tapi balasannya tidak ia terima sedikitpun," lirih Lidya sembari menatap ke arah jendela. Oxy menunjuk ke arah suatu tempat.
"Tadi aku melihat kalian, Aluna terlihat begitu bahagia dan dapat tertawa bersama kalian," lirih Oxy. Lidya menganggukkan kepalanya dan melihat ke arah lelaki itu lagi. Setetes air mata mengalir namun dengan cepat ia hapus.
"Kau menangis?" Lidya berbasa-basi dan memastikan yang sebenarnya.
"Aku tidak mempunyai siapapun lagi. Ibu telah meninggalkan kami dan Aluna, aku tidak mau dia meninggalkanku. Bisakah kau bawa dia pulang dan bahagiakan dia, aku berjanji aku tidak akan mengusirmu lagi dan memenuhi segala kebutuhanmu," pinta Oxy lebih dalam.
"Apa yang kau harapkan? Aku hanyalah orang datangan di sini dan aku bisa saja meninggalkan kota ini ketika aku telah menemukan duniaku yang sebelumnya. Jangan bilang kau memintaku ke sini hanya untuk membahas hal yang bisa kau bicarakan dari handphone," decak Lidya lalu melangkah ke sebuah sofa di dekatnya.
"Aku akan membantumu untuk mencari duniamu yang sebelumnya, asalkan kau bantu aku untuk mendapatkan kasih sayang dari adikku, Aluna. Aku ingin kau tau jika lekaki bodoh ini telah menyadari kebodohannya!"
"Kau yakin akan membantuku? Kau tau konsekuensinya, aku akan meninggalkan adikmu." Lidya menatap Oxy menunggu jawabannya.
"Aku terima. Bawa adikku malam nanti bersamamu dan kau juga harus tinggal di sana, ada sesuatu yang akan ku tunjukkan padanya," perintah Oxy sambil memelankan suaranya.
"Baiklah. Aku akan kembali ke kafe. Aku akan pikirkan lagi," pamit Lidya melangkah ke arah pintu.
"Tapi, ada satu hal lagi…."
***
"Kak, kakak bawa aku ke mana sih? Mataku kenapa ditutup?" oceh Aluna tidak henti sembari melangkah mengikuti langkah Lidya.
"Diem! Gue lagi nyulik lo," kekeh Lidya. Ia melangkah dengan pasti sementara itu Gio dan Dimas mengikuti mereka dari belakang dengab membawa tas.
"Aaa.. Ini pasti kerjaan kak Gio kan? Laknat!" cerca Aluna dengan bebas.
"Heh! Diem gak! Gue cincang juga mulut lo, seneng banget nistain gue," protes Gio dengan kesal. Aluna hanya berdecak dan tidak menjawab apapun.
Mereka telah memasuki rumah Lathfierg seperti perjanjian Lidya dan Oxy sebelumnya. Ia membawa Aluna kembali kepada Oxy. Lidya membuka penutup matanya, Aluna membuka mata dengan lebar ketika melihat Oxy di hadapannya.
"Kenapa aku ada di sini! Kak Lidya, antar aku pulang!" rengek Aluna lalu menarik Lidya keluar namun Lidya tetap dalam posisinya.
"Gue udah nganter lo pulang karna di sinilah rumah lo," jawab Lidya dengan tenang. Aluna semakin terisak meminta untuk pulang.
"Siapa yang datang?" tanya Bianca dari dalam ruangan. Ia menatap mereka berempat dengan tatapan murka. "Kenapa mereka ada disini?"
"Aluna!" panggil Oxy. Aluna menoleh lalu menghapus air matanya dan menatap kakaknya sambil berusaha berdiri dengan tegar.
"Bianca, mulai saat ini aku memutuskan hubungan apapun denganmu. Kita bukanlah tunangan lagi, karena aku lebih menyayangkan kehilangan adikku daripada kehilangan adikmu. Adikku segalanya bagiku sementara kau? Kau hanya ikatan bisnis dan perjanjianku. Oke, sekarang aku kasih tau kepada kau, Aluna. Hubunganku dengan Bianca tidak aku dasari dengan cinta, ini hanya semata politik bisnis dan penaikan nilai saham untuk kebahagiaanmu saja, Aluna." Oxy mengakui sesuatu yang selama ini ia pendam. Pernyataan Oxy membuat mereka tersentak kaget.
"Kau tega Oxy! Kau berani memutuskan hubungan kita! Kau akan menyesal karena telah melakukan ini! Aku akan menarik semua saham perusahaan ayahku dari perusahaanmu! Akan aku buat kau dan perusahaanmu hancur tanpa sisa! Aku tau siapa dalang dari semua ini!" Bianca mengeluarkan pisau dari tasnya. Sejenak Lidya berpikir bahwa dia dikelilingi hidup tukang potong daging. Bianca berjalan pelan dan menunjuk wajah Lidya menggunakan pisau tajamnya.
"Kau! Aku akui kau menang kali ini! Tapi aku tidak akan membiarkan kau menang di lain kali!" sergah Bianca menatap marah.
"Menang? Gue rasa gue ga pernah ngajak lo tanding. Karna apa? Lo itu ga sebanding dengan gue dan gue pastiin lo bakal kalah telak daripada gue," sanggah Lidya dengan tenang.
"Aku pastiin kau dan Aluna akan hancur! Aku tidak akan menerima jika kau bahagia! Aku akan membuatmu sengsara! Sengsara!" teriak Bianca mengamuk sambil menodongkan pisau ke arah mereka.
Lidya langsung merampas pisau itu dan menggenggamnya erat sambil mengarahkan ke Bianca. "Gimana lo bisa ngancurin kami? Dengan pisau ini? Oh Bianca miris banget hidup lo. Lo jangan lupa karna benda itu mainan Aluna dan lo kira bisa lukain gue pake ginian? Gue udah kebel."
Wajah Bianca memerah, ia murka sekaligus malu dengan perkataan Lidya yang secara tidak langsung mempermalukannya. Ia berjalan dengan lekas keluar dari rumah Oxy. Namun di ambang pintu ia berhenti.
"Liat aja! Aku bakal buat kalian musnah!"
Mereka menghiraukan ancaman Bianca. Aluna menatap Oxy dalam, ia mendekap kakak satu-satunya itu. "Aku menyayangimu, sangat menyayangimu…."
![](https://img.wattpad.com/cover/197795250-288-k223120.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔
Novela JuvenilBook 2 of Lathfierg series Wajib baca 'Just Cause You, Just For You' terlebih dahulu! "Ini bukanlah akhir dari segalanya." Kalimat yang sering Lidya rapalkan ketika ia terpuruk jatuh, hingga ia mencoba untuk bangkit lagi dan berdiri tegap dengan men...