Lidya semakin tidak mengerti dengan jalan pikir Oxy. Lelaki itu kini tengah sibuk mempersiapkan berkas-berkasnya dan menghiraukan beberapa pertanyaan singkat Lidya.
"Kita tidak punya banyak waktu," tukas Oxy setelah sekian lama membuat Lidya menunggu. Lidya ternganga karena jawaban Oxy tersebut.
Oxy langsung keluar dan menarik lengan Lidya dengan paksa, gadis itu kini tengah terombang ambing ditarik Oxy. Para karyawan yang melihat kejadian itu tidak berani berkomentar mengingat aura Oxy sedang dalam keadaan berbahaya.
"Persiapkan penerbangan kita beberapa jam lagi," pinta Oxy ketika di tepian langkah kakinya melangkahlah seorang Erick.
"Penerbangan? Kita mau ke mana?" tanya Lidya mendadak kaget. Ia tidak menerima kabar sedikitpun tentang kepergian mereka.
"Belgia," sahut Oxy dan Erick serentak.
"Belgia? Kenapa harus…." belum sempat Lidya melanjutkan keheranannya, dering handphonenya telah membuat pikirannya membuyar.
"Lepasin tangan gue," imbuh Lidya sambil menggeliatkan tangannya dari tangan Oxy. Oxy langsung melepaskan genggamannya.
Lidya menuju sedikit ke tepian, sedikit menjauh dari beberapa karyawan, Erick, dan terutama Oxy.
"Halo?"
"Kenapa?"
"..."
"Gue kesana."
Lidya berbalik meninggalkan Erick dan Oxy yang kini tengah menatapnya heran. "Kalian pergi saja karena gue ga bakal ngikut."
Tanpa menunggu persetujuan ataupun jawaban Lidya langsung keluar dari kantor. Matanya berlinang air mata, ia hapus silih berganti dengan kedua tangannya. Ia mencapai motornya, para karyawati tidak berani bertanya, mereka akan merasa telah mengangarkan nyawanya dengan sukarela.
Lidya tidak membuang waktunya. Ia langsung memakai helm dan menduduki motor pemberian Oxy tersebut lalu mengendarainya dengan sangat kencang seakan tengah membelah kota. Banyak orang yang langsung berdecak kesal dengan sikap Lidya.
Lidya telah sampai di sebuah bangunan yang memiliki banyak bangunan di belakangnya. Sebuah rumah sakit, orang-orang tengah hilir mudik keluar masuk dari bangunan yang pekat dengan aroma obat-obatan.
Ia langsung menuju ke bagian administrasi.
"Permisi sus, pasien atas nama Gioza Guarda dirawat di ruangan mana?"
Suster itu langsung mengecek komputernya, membawa mousenya ke depan dan ke belakang guna menggerakkan kursor. "Ruang UGD."
Tanpa pikir panjang Lidya langsung melihat papan penunjuk arah bertuliskan 'Ruang UGD' dan meninggalkan suster tanpa mengucapkan terima kasih.
Lidya membuka pintu sebuah ruangan setelah berlarian menabrak beberapa dokter dan orang yang membesuk. Ia bernafas lega ketika mendapati dua orang yang menjadi tujuannya ke rumah sakit ini dan meninggalkan Oxy sekaligus pekerjaannya.
"Lo gak apa-apa?" tanya Lidya tergesa-gesa. Ia mendekati Gio yang terbaring lemah dengan kepala terlilit perban.
Ia hanya tersenyum. "Gue gak apa-apa, ditambah lagi dengan kehadiran lo. Kenapa lo tau gue di sini?"
"Gue yang kasih tau," sahut Dimas tanpa diminta. Gio langsung melirik ke arah dimas dengan ujung mata yang menajam.
"Lancang sekali," gumam Gio sementara itu Dimas merasa tindakan ia tidak bersalah hanya mengedikkan bahunya.
"Lupain soal itu, apa yang buat lo gini?" protes Lidya dengan pertengkaran Gio dan Dimas yang akan bertabuh ria di hadapannya.
"Gue berusaha nyelametin lo dari masalah besar, gue berhasil. Tapi sayang, masalah serius menarik lo masuk," lirih Gio memelan. Wajahnya terlihat guratan sedih, seakan menyesal dengan tindakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔
Roman pour AdolescentsBook 2 of Lathfierg series Wajib baca 'Just Cause You, Just For You' terlebih dahulu! "Ini bukanlah akhir dari segalanya." Kalimat yang sering Lidya rapalkan ketika ia terpuruk jatuh, hingga ia mencoba untuk bangkit lagi dan berdiri tegap dengan men...