58

1.1K 109 9
                                    

"Kau menganggu part pentingnya," decak Rozi kesal. Pasukan debu pun menghujani mata Rozi, membuatnya teralihkan menggosok matanya.

Dengan bergerak cepat, Lidya langsung melakukan gerakan kilat, terjangan menghantam tubuh Rozi.

"Horee aku menang," riang Lidya sambil mengulurkan tangan kepada Rozi yang tersungkur sambil memegangi tubuhnya.

"Kalian?" heran Gio. Harusnya dia tau apa yang mereka lakukan kini.

"Apa yang kau pikirkan? Kami sedang bertaruh," rengut Rozi menatap Gio.

"Apa yang kalian pertaruhkan?" tanya Gio tak habis pikir.

"Makanan. Hayolah Gio, aku ingin memakan masakannya tapi dia bersikukuh tidak ingin memasaknya kecuali jika aku bisa mengalahkannya," kekeh Lidya. Lidya menatap Rozi dengan iba. "Hayolah Tuan Rozi, ambil bagianmu di dapur."

"Kau curang Lidya," kekeh Rozi sambil berlalu masuk ke dapur meninggalkan Lidya dan Gio bersama.

"Kau sehat?" Gio memperhatikan Lidya dari atas ke bawah. Lidya tersenyum.

"Seperti yang kau lihat. Di sini hidupku, ada kau, Rozi, Udin, Rian, dan temanku yang lainnya di pasar," jelas Lidya sembari menghempaskan tubuhnya ke sofa.

"Bagaimana dengan Oxy dan Aluna?"

"Aku sangat menyayangi mereka, hampir sama dengan rasa sayangku padamu. Tapi denganmu itulah kenyamananku, aku tidak tau alasannya. Aku merasa bebas, aku merasa kembali ke hidupku, aku tenang, aku tidak tertekan. Kau sangat bisa membuatku merasa nyaman, kau tau cara membuatku bahagia tanpa tekanan, kau selalu membebaskanku , tidak seperti disana." Lidya menghela nafasnya lalu memandang lemas.

"Bagaimana dengan Zhiro? Kau sangat ingin menjauhinya? Kau tidak menyukainya? Mencintainya? Dia sangat mencintaimu, aku tau itu." Gio memandang adiknya itu, melemas di tiap helaan nafasnya.

"Zhiro?" gumam Lidya sambil mengulum senyumnya.

"Dia menemuiku," sambung Gio. Mata Lidya berbinar namun seperdetik itu meredup.

"Katakan saja padanya jika aku sedang ingin sendiri," gumam Lidya sembari tersenyum.

"Alasannya? Aku tidak suka melihatmu seperti ini, kau bersedih ketika kau terlihat bahagia. Aku benci kepura-puraan. Katakan saja jika dia telah menyakitimu, setelah ini aku akan bangkit dan menemuinya lalu memisahkan kepala dan tubuhnya." Gio mengambil samurai yang sengaja ia sembunyikan di bawah sofa.

"Bukan hal itu," cegah Lidya sembari menatap Gio penuh harap. Gio mengiba, ia meletakkan kembali samurai itu ke tempat semula.

"Aku tidak ingin orang yang di dekatku merasa tersakiti. Tetapi mau ke mana aku menghindar? Tinggal di rumah Oxy itu sama saja, tidak ada bedanya. Dia pasti mempermudah Zhiro bertemu denganku dan hanya disini aku merasa tenang, bersamamu. Aku ingin tinggal disini, di tempat yang membuatku merasa tenang. Aku tidak ingin lagi menerima pengorbanan, hidup dari Zhiro, nyawa dari Sadam, kasih sayang Aluna dan Oxy, serta kau Gio. Tetapi jika aku menghindar darimu, kemana aku akan melangkah? Arah mana yang akan aku ambil? Kau selalu menjagaku dan aku telah terbiasa dalam penjagaanmu," jelas Lidya menghela.

"Lalu, kau mencintai Zhiro, kan?" tanya Gio terlihat memastikan.

"Sangat mencintainya," angguk Lidya.

"Mengapa kau harus menghindar darinya?" tanya Gio menginterogasi.

"Aku tidak ingin dia celaka. Aku sadar aku dalam arena berbahaya, berada di garis keturunan Lathfierg dan Guarda sangat menyeramkan. Senjata tajam dan api pun mengitari hidup kita, aku tidak mau dia masuk dan terlibat dalam permainan harta dan kuasa ini, ini akan sangat membahayakannya."

"Lalu apa yang kau pikirkan Lid? Kau ingin lelaki itu tetap selamat namun dia bersikukuh untuk memasukkan dirinya ke dalam arena berbahaya kita demi menjagamu, dia sangat mencintaimu. Kau ingat kejadian itu? Ketika orang kiriman Robert menyerang keluarga Groye dan beberapa temanmu, dia bersikeras untuk menjagamu dan menahan gerak mereka. Kau harus tau, ketika seorang laki-laki telah mencintai seorang wanita ia akan berusaha untuk tetap menjaganya. Dan jika dia yang menyakitinya, maka aku pastikan dia hanya berpura-pura," jelas Gio sambil menatap Lidya berharap ada pengertian yang diberikan oleh Lidya.

"Jangan sia-siakan orang yang telah benar-benar mencintaimu," sambung Gio lagi.

"Aku akan mempertimbangkan hal ini."

"Kau harus mempertimbangkannya segera, sebelum waktu mulai mengubah segalanya," ingat Gio lagi.

"Seorang panglima bisa se-puitis ini? Kau telah masuk dalam ruang cinta?" goda Lidya. Gio terlihat sedikit tersenyum dan sedikit mengangguk.

"Siapa itu? Siapa wanita yang telah meluluhkan hati sang Panglima ini?" kekeh Lidya.

"Namanya Lulu," celetuk Rozi sambil memberikan sepiring nasi goreng untuk Lidya dan sepiring lagi ia santap.

"Hanya dua?" gumam Gio mengamati kedua piring itu.

"Tentu saja, aku yakin kau dapat memerintahkan semua samurai itu untuk membuat makananmu. Aku sungguh enggan memanjakanmu, karena kau bukan adikku."

"Siapa Lulu?" tanya Lidya yang sangat penasaran.

"Yang pasti dia adalah wanita," gumam Rozi sambil menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Diamlah kau! Jangan menyela ketika aku sedang ingin menjawab," sergah Gio dan menajamkan tatapannya.

"Kau selalu saja memarahiku, akan ku kutuk kau suatu saat. Lulu, wanita yang tidak terlalu mempunyai pendidikan yang tinggi karena ekonomi yang tidak memungkinkan," sambung Rozi yang membuat Gio tambah kesal.

"Tapi, di balik itu semua. Dia adalah wanita yang lembut, aku tidak tau bagaimana dia bisa menyukai si Panglima keras kepala ini? Hati batu!" umpat Rozi.

"Jangan mengumpat padanya! Dia adalah kakakku," bela Lidya menatap Rozi sengit.

"Jika aku melupakan hal itu, mungkin sekarang aku akan mendoakannya agar cepat bertemu kematiannya," lanjut Rozi tak kalah sengit. Gio hanya memutar bola matanya, berada di tengah-tengah pertarungan mata membuatnya lelah.

"Lalu kau telah lama mengenalnya?" tanya Lidya lagi, ia mengalihkan fokusnya dari persaingannya dengan Rozi.

"Aku telah sangat lama mengenalnya, dia telah lama menguatkanku, mendukungku. Jika tidak ada dia dan kau sebagai tujuan hidupku, maka aku tidak yakin bisa berada di depanmu sekarang," hela Gio memandang langit-langit rumahnya.

"Dasar lemah!" umpat Rozi sembari melangkah ke dapur dan meletakkan piringnya.

Gio hanya menatap tajam kepergian lelaki itu dan telah bersiap dengan tangan yang memegang belati.

"Mengapa kalian tidak menikah? Lagipula aku telah berada disini, kan?"

"Aku akan menikah setelah mendapat persetujuanmu dan mempertemukanmu padanya, kau yang terpenting. Persetan dengan Aluna dan Oxy, pertimbanganmu jauh lebih berarti," jelas Gio membuat Lidya mengangguk mengerti.

"Ayo ikut aku!" ajak Gio sesaat setelah Rozi baru duduk di sofa.

"Kemana?" heran Lidya sembari menaikkan satu alisnya.

"Ke rumah Oxy."

"Kau ingin memulangkanku?" Lidya berdecak kesal dan menatap Gio dengan malas.

"Itu tidak akan terjadi. Ikut saja, karena ada sedikit urusan yang harus kita selesaikan."

"Bagus, kau tadi memintaku untuk memasak dan lihat! Sekarang kau tidak sedikitpun menyentuh masakanku, sungguh mengecewakan," decak Rozi sembari memalingkan wajahnya.

"Baiklah, kau tidak perlu resah aku akan membawa piring ini bersamaku dan menyantapnya habis." dengan tergesa-gesa Lidya mengambil piring tersebut.

"Letakkan itu kembali!" bentak Gio dengan sangat tinggi. Dia sadar akan kesalahannya, kini wanita itu hanya menatapnya dengan tercengang.

"Rozi, Gio membentakku," lirih Lidya dengan sangat kecil. Dentingan benda tajam terdengar dari belakang Gio.

"Tutup mulutmu Gio! Jika tidak aku akan segera membinasakanmu!" murka Rozi.

I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang