Jari jemari halus itu bergerak dengan pelan, tanda kesadaran kini kembali menyapa. Dengan sebuah kain terlipat di dahinya ia bergerak menoleh ke kanan dan ke kiri. Matanya melebar ketika melihat seseorang di sampingnya. "Lo? Kenapa lo disini?!"
Kaget sekaligus terkejut seketika mengubah gaya bahasa Aluna menjadi un-formal.
"Gue? Harusnya gue yang nanya sama lo. Kenapa lo ada di sini?" tukas Gio lebih terkejut yang berada di tepian tempat tidur yang berlawanan dengan Lidya.
"Ini kamar gue sama Lidya, lah lo? Bilang aja kalo lo pura-pura pingsan biar bisa ganggu gue dengan Lidya," sambung Gio sambil mengambil novel di sudut kamarnya dan duduk bersandar di atas lantai.
"Kamar kalian? Aku tidak salah dengar kan? Kau apakan kakakku?" sergah Aluna langsung duduk dan memegangi kepalanya. Sepertinya rasa sakit mulai menghantam kakaknya lagi.
"Tenanglah Aluna, ini memang kamar Gio. Tapi gue yang nempatin nih kamar selama gue ada di sini," sela Lidya. Gio hanya terkekeh geli sambil menatap aneh ke arah Aluna.
"Kirain kalian," lega Aluna. Ia menghela nafas panjang.
"Kenapa lo bisa ada di sini pake demam segala?" tanya Lidya menyelidik. Ia merasakan hal yang mengganjal.
"Aku kabur dari rumah," jawab Aluna singkat lalu menghela nafasnya lagi.
"Sebab kakak lo lagi?" Gio berdiri dan duduk di sebelah Lidya dengan tangan masih saja menimang Novel yang dia ambil.
"Termasuk itu. Ada beberapa masalah lagi, ibuku meninggal. Kasusnya dibunuh secara terencana. Ada hal yang mengganjal dalam pembunuhan itu, ibuku diculik dan dikembalikan dalam keadaan yang tidak utuh," jelas Aluna dengan seringkali menghela nafas.
"Tidak utuh?" heran Gio dan Lidya serentak.
"Jasad ibu kembali tanpa jari telunjuk dan jempol di tiap tangannya. Selagi itu Oxy sedang mengembangkan proyek besar di Belgia, seperti mimpi buruk ketika malam aku membuka pintu dan melihat ibuku terkapar bersimpah darah. Tidak lama dari itu mesin kendaraan terdengar meninggalkan rumahku," isak Aluna sambil menitikkan tiap air matanya.
"Lalu Oxy udah balik ke rumah lo?" tanya Lidya melanjutkan rasa penasarannya.
"Udah. Tapi ada masalah lagi, aku mendapatkan banyak teror yang ditujukan ke aku. Berupa kotak dengan hiasan darah dan kepala binatang dengan mata terbuka lebar. Aku takut kak, seberaninya aku tapi aku takut. Aku takut jika aku masih ada di rumah, ia akan mencelakakanku dan Oxy. Sebenarnya aku tidak mempedulikan diriku sendiri, tetapi kakakku jauh lebih berarti kini. Jika aku mau jujur, aku tidak membencinya. Aku rasa semuanya pasti ada hubungannya dengan Bianca!" kesal Aluna berkecamuk. Lidya mengelus punggungnya, berusaha menenangkannya.
"Kapan lo pertama kali dapet teror kek gitu?" selidik Gio. Seketika ekspresinya berubah, terbesit heran di pikiran Lidya kini.
"Dua hari yang lalu, setelah sehari selepas kematian ibuku." dering handphone Gio menggema di ruangan yang hening. Ia berdiri dan menghadap ke arah jendela.
"Halo..."
"Lo serius?"
"Gue ke sana!"
Gio langsung melemparkan novel itu ke sembarang tempat. Ia langsung membuka sebuah laci dan mengambil sembarang sebuah senjata lalu menyembunyikannya ke dalam jaketnya. "Tunggu di sini! Jangan keluar apapun yang terjadi!"
"Lo tunggu di sini jangan kemana-mana," pesan Lidya setengah berbisik ketika melihat Gio hendak meninggalkan ruangan. Lidya seketika berdiri dan mengikuti Gio. Mereka semakin dekat, Lidya meraih tangan Gio yang membuat lekaki itu menghentikan langkahnya. Merasa digenggam lengannya, oleh jari jemari yang sangat ia kenali. Gio menoleh ke arah Lidya.
"Ada apa?" heran Gio menatap lekat Lidya. Ia tidak sedikitpun berusaha melespakan genggaman tangan Lidya.
"Lo mau ke mana?" tanya Lidya menyelidik.
"Ada urusan. Pokoknya lo tenang aja gue bakal balik dengan keadaan selamat. Ada pengacau di geng gue, gue harus bantu. Gimana pun lo tau kalo gue ketua dari mereka dan ini bukan pertemenan yang biasa," jelas Gio mencoba meminta pengertian Lidya.
"Lo harus jaga Aluna atau kalo lo bosen, lo main sama Dimas sebelum kepalanya meledak karna belajar mulu," kekeh Gio mencoba menghibur. Lidya mencoba tersenyum. Gio menarik Lidya dalam dekapannya.
Tangan kanan Gio menggenggam pisau kecil tengah mengelus rambut Lidya dengan pelan. "Hidupku untuk kehidupanmu dan tiadamu untuk kematianku. Biarkan aku yang merasakan sedihmu dan kamu merasakan bahagiaku."
Lidya terkekeh dalam dekapan Gio yang membuatnya sangatlah bingung, ia langsung melepaskan dekapannya. "Kenapa?"
Lidya menutup mulutnya dan berusaha meredakan rasa lucunya, "sejak kapan lo bisa pake bahasa yang lebih formal kek gitu?"
"Sejak tadi, gue sengaja. Gue tau itu bakalan lucu dan lo bakal tertawa kalo denger bahasa formal gue," kekeh Gio sambil mengacak rambut Lidya.
"Gue pergi dulu bentar lagi bakal ada temen gue nganter makanan. Lo bisa kasih Aluna bagian gue. Selamat malam," pamit Gio lalu setengah berlari menuruni tangga dan keluar dari kafe Sirent tersebut.
Lidya kembali memasuki kamarnya dan mendapati wanita itu tengah tertidur lelapnya. Lidya mengangkat sudut bibirnya. "Tidurlah Aluna, lo bakal tenang di sini karna gue ga mau lo kenapa-kenapa."
***
Setelah memberikan Aluna makanan dan menemaninya sampai ia tertidur pulas. Lidya merasa bosan, didengarnya suara orang mengetik masih saja terdengar walaupun malam telah larut.
"Dimas belum tidur? Bener kali kata Gio, kelamaan tuh kepala Dimas bakal meledak gegara belajar giat kek gini," gumam Lidya dengan suara pelan. Ia keluar dan menuruni tangga dan benar saja dugaannya.
"Dim, lo belum tidur?" sapa Lidya yang membuat Dimas menoleh.
"Oh lo Lid. Gue masih punya banyak tugas, gimana dengan lo?" tanya Dimas balik. Ia memperhatikan layar laptopnya lagi.
Lidya duduk di sebelahnya dan menyandarkan punggungnya. "Gue bosen. Dim, gue boleh nanya?"
Seketika Dimas menekan tombol 'Enter' dan mencari ikon 'power off' di display. Laptopnya telah berada dalam keadaan mati. "Tanya apa?"
"Hp gue gimana? Gue mulai kangen dengan rumah gue sendiri, kakak-kakak gue, dan saudara ga sedarah gue. Gue pengen pulang, di sini bukan hidup gue. Gue pengen nemuin satu orang dan tinggal dengannya," keluh Lidya dalam. Lampu yang temaram menambah kesan sendu malam ini.
"Kekasih lo?" tanya Dimas seakan mulai menyelidik.
'Kekasih gue? Pacar gue? Siapa yang mau gue sebut sebagai pacar gue? Apa itu Zhiro? Gue ga tau perasaannya dengan gue, gue akuin gue suka sama dia tapi gue ga yakin kalo dia suka sama gue. Kalo pun iya itu cuma masa lalu dan sejarah ga bakal terulang,' batin Lidya bergerilya.
"Bukan. Dia sahabat gue tapi udah kayak saudara, di malem waktu gue dateng ke kota ini gue sempet kontakan dengan dia. Tapi sialnya, Arya dateng dan hp gue jatuh dan rusak," jawab Lidya melirih.
"Maaf banget Lid. Gue pengen bantu lo tapi kondisi hp lo ga sesuai sama pengharapan lo. Gue berhasil benerin nih hp tapi semua data terestart dan reset ulang," sendu Dimas merasa bersalah dan mengeluarkan handphone Lidya dari tasnya.
"Lo serius? Pupus sudah, lagian gue udah hubungin sosmed mereka tapi kek kehalang gitu. Ada yang blokade akun gue dengan akun mereka," keluh Lidya lagi sambil mengambil hpnya.
Pintu kafe dibuka lalu dikunci rapat, Gio kembali. Ia melangkah dengan lurus ke arah tangga dan berhenti. Ia tidak menyadari keberadaan Dimas dan Lidya yang menatapnya.
Ia meletakkan Hpnya di dekat telinganya. "Halo? Lo ga perlu risau, semua berjalan sesuai rencana."
"Rencana apa yang lo maksud?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔
Genç KurguBook 2 of Lathfierg series Wajib baca 'Just Cause You, Just For You' terlebih dahulu! "Ini bukanlah akhir dari segalanya." Kalimat yang sering Lidya rapalkan ketika ia terpuruk jatuh, hingga ia mencoba untuk bangkit lagi dan berdiri tegap dengan men...