59

1.1K 102 13
                                    

Mobil Gio kini melesat di padatnya jalan kota. Sunyi dan sepi. Lelaki itu kini hanya menghela nafas sembari melirik ke arah gadis di sebelahnya yang menyuapkan beberapa sendok makanan ke dalam mulutnya.

"Kau membawa belati itu?" tanya Gio memecah keheningan, namun hening akan tetap menjadi hening. Lidya menghiraukan pertanyaan Gio dan memilih fokus kepada aktivitas sebelumnya.

"Kau marah padaku?" tanya Gio sedikit ragu. Gadis itu tetap saja tidak merespon.

"Kau membenciku?"

Gadis itu hanya membalas dengan mengangkat kedua bahunya. Ia meletakkan piring tersebut di dalam kantong di bawah kursi jok.

"Kau siapa?" tanya Lidya sembari mengangkat satu alisnya dan menatap Gio datar.

"Kau?"

"Kau sungguh membenciku?" sambung Gio tercengang.

"Apakah kita saling mengenal?" tanya Lidya lagi. Jantung Gio berdegup lebih kencang, rasa kecewa menyelimuti hatinya.

"Apakah kau lupa jika kau adalah adikku? Sungguh kau membenci kakakmu?" gumam Gio pasrah.

"Kakak? Bagaimana bisa seorang kakak berani membentak orang yang ia anggap sebagai adiknya?" pertanyaan Lidya lagi-lagi terdengar sangat mengecewakan bagi Gio.

"Aku sungguh tidak bermaksud untuk melakukan hal itu karena aku sama sekali tidak membentakmu. Rozi benar-benar memperkeruh suasana," decak Gio kesal. Ia selalu menatap Lidya dengan tatapan yang mengiba agar gadis itu kembali menatapnya dengan kasih sayang, tidak lagi datar, itu sangat mengerikan baginya.

"Kau menyalahkan Rozi untuk hal ini? Kau menjadikan dia sebagai kambing hitam dan memberikannya kesalahanmu? Jangan lupa dia adalah kakakku!" sergah Lidya membuat Gio menatap heran dan dilanda rasa bersalah.

"Aku adalah kakakmu, kau tidak mengakuiku? Lebih baik aku mati saja!" suara Gio terdengar lebih pasrah dari sebelumnya.

"Mati saja jika kau ingin mati!" jawab Lidya dengan ketus. Mendengar pernyataan itu, Gio langsung membanting stirnya ke arah kiri, memasuki jalan tikus ke rumah Oxy yang sepi.

"Aku lebih sudi jika aku mati di tanganmu." Gio menatap Lidya dengan sangat dalam dan meletakkan sebilah pisau dari sakunya.

"Dengan senang hati aku menerima permintaanmu. Aku butuh pergelangan tanganmu, lagipula kau telah menyakiti banyak orang dan yang terakhir adalah menyakitiku. Aku akan memutuskan pergelangan tangan ini," gumam Lidya sembari mengambil pisau itu dan memainkannya di pergelangan tangannya sendiri.

Dengan berat hati Gio memberikan pergelangan tangannya tepat di hadapan Lidya. Ia sedikit memalingkan wajahnya.

Tangan Lidya menyentuh tangan Gio, ia menggesekkan tajamnya ujung pisau Gio ke pergelangan tangan lelaki itu.

"Aku ingin kau tau, jika aku menyayangimu lebih dari hidupku," lirih Gio.

Lidya mengikatkan sesuatu ke pergelangan tangan Gio, hal itu membuat Gio teramat terkejut. 

Gio langsung kembali menatap adiknya yang kini telah tersenyum dengan lebarnya. Dia menatap Gio dan berkata, "Aku juga sangat menyayangimu."

"Kau tidak marah padaku?" riang Gio dengan teramat senang.

Lidya menggelengkan kepalanya. "Ayo kita pergi, sudah puas aku mengerjaimu."

Gadis itu kembali terkekeh dengan rasa tidak bersalah. Lelaki itu tersenyum dan hendak meninjak gasnya, keinginannya terhenti ketika dua mobil datang dan memblokade jalannya.

Sembilan orang turun dari mobil dan membawa samurai yang panjang. Mereka mengarahkan samurai itu tepat ke arah Gio. "Turun kau Gio!"

"Siapa mereka?"

"Tetaplah di sini, mereka hanya pengikut Robert yang masih tidak terima."

"Mengapa kau menahanku di dalam mobil seperti anak kucing yang membutuhkan belas kasihan berupa perlindungan sementara itu kau bertarung di luar?" Lidya kembali mengamati gerak-gerik mereka.

"Keselamatanmu adalah prioritasku," ujar Gio sembari mengambil samurainya.

"Bukannya  kematianmu adalah kematianku?" gumam Lidya membantah.

"Dan bukankah kehidupanku adalah kehidupanmu, membuat kau tetap hidup adalah caraku untuk tetap hidup." Gio membuka pintu mobil dan membiarkan Lidya sendirian di dalam mobil, Gio melangkah dengan mantap beserta jaket hitam yang biasa ia kenakan.

Lidya tidak bisa berbuat banyak, ia hanya menatap aksi pertarungan dari lelaki itu, kemampuan Gio sangat luar biasa. Namun, lagi-lagi trik kuno dipakai mereka untuk menaklukkan Gio hingga lelaki itu jatuh terjerembab. "Jahanam!"

Lidya meraba di bawah joknya, masih tersisa beberapa samurai. Ia mengambil satu di antara mereka dan keluar dengan segera.

"Hentikan!" lantang Lidya berteriak ketika sebuah samurai mulai mengarah memenggal kepala Gio.

"Lidya Vanessa," gumam mereka serentak. Mereka tersenyum licik.

"Bagus, sekali dayung dua pulau terlampaui. Satu kali datang, dua keluarga Lathfierg akan mati," sambung salah seorang di antara mereka sembari menepuk tangan.

"Kematian? Harusnya kau berpikir sebelum berbicara kematianku," decak Lidya sembari mendekat ke arah mereka dan hendak mengambil perhatian mereka agar mereka menjauhi Gio.

"Aku akui, kau dapat menghindar selama tiga kali dari kematianmu. Tetapi aku pastikan kau tidak bisa menghindar untuk keempat kalinya!" gertakan mereka tidak membuat Lidya gentar sedikitpun.

"Terlalu percaya diri," kekeh Lidya membuat mereka sungguh memanas. Lidya sudah berada sangat dekat dengan Gio, sekali gerakan Gio akan selamat.

"Kau berniat mengambil Gio dari kami? Jangan harap Lidya! Aku akan membuat kematian sang Panglima ini lebih dipercepat!"

"Jangan berharap terlalu tinggi!" sahut seseorang lalu orang itu menerjang tubuh orang yang akan memenggal kepala Gio. Dia adalah Rozi, ia langsung menarik Gio dan membopongnya mendekati Lidya.

"Jaga Gio, aku tau ini akan terjadi dan karena itulah aku mengikuti kalian. Jaga agar Gio tetap selamat," pesan Rozi sembari memberikan Gio kepada Lidya dan seiring itu pasukan Gio datang dan menangani kesembilan orang itu.

Lidya membopong Gio dengan sekuat tenaga kembali ke samping mobilnya. Ia gelagapan dan mengambil satu botol air mineral dari dalam mobilnya.

Lidya memercikkan air tersebut ke mata Gio yang mengandung banyak debu hasil cara licik mereka. Lelaki itu menggosok matanya dan mengerjapkannya.

"Aku sangatlah bodoh," gumam Lidya melirih.

Lidya mengamati wajah tampan saudara laki-lakinya yang kini sedikit kehilangan bentuk. Aliran darah mengalir dari beberapa sumber, dan sangat mengesalkan ketika lelaki ini malah memberikan senyumannya.

"Mengapa kau bersedih? Mereka sempat menyakitimu?" gumam Gio yang mengamati wajah Lidya yang sendu.

"Mereka benar menyakitiku," tukas Lidya sembari mengangguk.

Raut wajah Gio seketika berubah menjadi murka, dengan tangan yang berlumuran darah ia meraba wajah adiknya itu. "Mereka berani menyakitimu?! Di bagian mana mereka menyakitimu? Katakan kepadaku! Akan aku balas mereka berkali-kali lipat!"

"Di hatiku, tepat di sana mereka menyakitiku dengan cara menyakitimu. Ini semua karenaku! Jika aku terlahir bukan mengemban darah Guarda dan Lathfierg maka kau tidak perlu seperti ini untuk melindungiku," isak Lidya menyesal atas dirinya sendiri.

"Jangan menangis seperti itu. Ini bukan kesalahanmu, inilah guna nama Guarda. Guarda adalah penjaga. Dan kewajibanku untuk menjagamu. Aku telah mengatakan kepadamu jika kehidupanku adalah kehidupanmu, dan itulah janjiku. Maka tersenyumlah, karena air matamu sangat menyakiti hatiku."

"Maafkan aku," ujar Lidya sembari tersenyum.

"Lidya! Awas di belakangmu!!"

"Aaaa!!"

I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang