Lidya mengerjapkan matanya, entah berapa jam ia terbaring lemah. Seketika ia sadar jika tujuannya berhasil, dia masuk rumah sakit dan menjauh dari rumah Arya.
Bau obat teramat menyengat, benar-benar memuakkan tetapi lebih muak jika ia harus berhadapan atau pun kontak langsung dengan lelaki tidak tau diri itu.
"Kau?" heran Lidya ketika memandangi seorang lelaki yang juga memandanginya. Ia melihat lelaki itu dari atas ke bawah.
"Nona Lidya Vanessa Lathfierg," tukas lelaki itu sambil mengamati sebuah berkas.
"Dan kau? Dokter Cakra, Cakrawala Indra Cahyadi? Aku merindukanmu," gumam Lidya. Lelaki itu mengangguk dan terkekeh, ia duduk di pinggir tempat tidurnya.
Seorang suster masuk lalu berhenti ketika tangan Cakra mengisyaratkannya untuk keluar kembali, telah jelas bahwa lelaki itu sangat terpandang sepertinya.
"Perlakuan bodoh dengan meminum obat bius itu," sindir Cakra lalu memandang lekat Lidya.
"Aku tidak punya cara lain untuk kali ini, kematian benar-benar aku butuhkan saat ini. Lihat kau sekarang, kau sudah seperti dokter saat ini," kekeh Lidya memutar ekspresinya.
"Jelas, aku akan menjadi dokter beberapa bulan lagi. Bagaimana dengan rumah sakitku? Sangatlah megah, bukan? Aku benar-benar tidak menyangka akan kedatangan pasien sejenis dirimu," ledek Cakra. Lidya meledakkan tawanya, ia ingin melupakan masa suramnya yang kini tengah menunggunya.
"Kau tau? Aku sangat heran dengan pikiran cerdasmu. Jika aku tau ini rumah sakitmu, maka aku akan menjelajahi setiap seluk beluk bangunan ini untuk memastikan jika ini dibangun dengan kerapatan pondasi yang sangat tepat dan dengan percampuran semua bahan yang sangat akurat dan tidak lebih satu nanogram pun," balas Lidya tidak mau kalah.
"Bicaramu masih sangat cerdas, layaknya gadis pematah tulang hasta yang pernah aku temui dulu," tukas Cakra. Mereka tergelak tawa, keharmonisan yang sempat sirna.
"Di mana sekarang kau tinggal? Kami sibuk mencarimu. Dan bagaimana bisa kau mendapatkan nama Lathfierg dalam namamu, seingatku keluarga Lathfierg hanya ada satu di kota ini dan aku sangat mengenal mereka," heran Cakra sambil duduk dengan rileks. Lidya semakin iri dengan kesanggupan Cakra untuk duduk sesantai itu, sedangkan dirinya hanya terbaring lemas. Ia berusaha untuk duduk.
"Ceritanya terlalu panjang. Bagaimana keadaanmu? Kau bilang kepadaku jika kau akan pergi jauh dari kota Itu," gumam Lidya sambil menerka.
"Kau tertipu. Jiwaku bukan di luar negeri seperti yang lainnya. Apakah Zhiro menghubungimu?" tanya Cakra dengan antusias. Seketika wajah Lidya merengut kesal, kebahagiaannya terhempas keras. Ia sangat lemas kini.
Ia tersenyum kecut sambil memandangi Cakra, pahit menyebar di pangkal lidahnya. "Untuk apa orang yang telah bertunangan menghubungi pengganggu sepertiku?"
Lidya semakin merunduk lemas, Zhiro benar-benar mengacaukan kebahagiaannya. Cakra semakin dilanda rasa bersalah, sejenak ia menunduk namun dengan mantap kepalanya ia dongakkan Lidya. Tangannya menggenggam tangan Lidya dengan lembut membuat pemilik tangan itu melakukan kontak mata.
"Sebenarnya ada sesuatu tentang Zhiro yang tidak kau ketahui," gumam Cakra. Mata Lidya kini menjadi cerah, membulat searah membesarnya rasa penasaran yang ia alami.
"Apa?"
"Sebenarnya...."
Belum sempat Cakra melanjutkan perkataannya, seseorang telah membuka pintu dengan keras. Mereka berdua serentak menoleh, berdirilah Arya sambil menatap mereka dengan penuh amarah, terutama terhadap genggaman tangan Cakra.
"Lepaskan tangan calon istriku!" teriak Arya dengan lantang. Seketika ia merasa murka, ia langsung menghampiri dan memutuskan rantai tangan yang menyambung dengan kuat.
Arya melemparkan Cakra ke belakang dan memukul wajahnya dengan sangat keras hingga Cakra sempat terjatuh dan kembali berdiri dengan sudut bibir yang telah berdarah. "Berani-beraninya kau menyentuh calon istriku!"
Cakra hanya mengelap darah tersebut dan terkekeh. "Calon istri? Terlihat kau sangat berharap."
"Jaga batasanmu! Atau aku akan mengeluarkanmu dari rumah sakit ini!"
"Kau sepertinya keliru, ini rumah sakitku. Bagaimana bisa kau mengeluarkanku dari sini?"
Arya memilih menghiraukan ucapan Cakra, ia melangkah mendekati Lidya dan hendak meraihnya. Sedikit lagi, Namun rencananya tidak berjalan secara mulus. Ia didorong oleh tangan seseorang, tangan Aluna.
"Jangan berani menyentuh kakakku dengan tangan kotormu itu!" halang Aluna tidak gentar sedikitpun.
"Beraninya kau menghalangiku?!" murka Arya sambil mengarahkan sebuah senjata api tepat ke arah Aluna. "Menyingkir dari sini! Atau kau akan tewas di tempat!"
Sedetik dari itu, Aluna juga mengeluarkan senjata api dari sakunya. Ia mengarah tepat ke kepala Arya sambil menyentuhkan ujungnya tepat ke kulit lelaki itu.
"Kau tembak saja aku dan kau juga akan tertembak," tukas Aluna tidak ingin kalah dengan mudah, apalagi dikalahkan oleh seseorang yang berusaha menjauhkannya dari kakaknya.
"Kau hanya kerikil penghalang! Aku akan menghabisimu!" ancam Arya, Namun Aluna tidak sedikitpun menurut.
"Lalu ada apa dengan kerikil itu? Kau berani menyakitinya?" lanjut seseorang. Mereka serentak mengarahkan pandangan kepada orang yang tengah berdiri sambil meletaklan ujung pistol ke arah kepala belakang Arya, orang itu adalah Oxy.
***
Setelah melakukan perdebatan di rumah sakit, Lidya tinggal di rumah Arya. Dia kini tengah duduk di depan meja hias sembari memakai kebaya berwana putih.
Ia kini sendirian, pasalnya Aluna dan Oxy termasuk daftar hitam tamu, mustahil bagi mereka untuk menemaninya.
"Lidya, acaranya mau dimulai," panggil salah satu pembantu yang bekerja di rumah Arya. Lidya hanya mengangguk tanpa menoleh ke arah pembantu itu sedikitpun, ia meletakkan sebuah pisau dengan sebuah pisau ia selipkan ke dalam kebayanya.
"Selamat tinggal dunia," gumam Lidya sambil tertawa atas dirinya. Ia keluar dan melangkah ke bawah serta duduk di samping Arya yang tersenyum sumringah.
Acara dimulai, sighat pun telah terucap. "Bagaimana para saksi, sah?"
"Tidak sah! Pernikahan ini tidak sah! Pernikahan ini didasarkan atas dasar kesepakatan maka akan diganti dengan kesepakatan lainnya," potong Aluna berjalan dengan anggun di sebelah Oxy.
"Lidya menikah dengan terpaksa, ini hanya karena hutang. Jika kau lanjutkan pernikahan ini maka kau akan membuat seseorang akan kehilangan hidupnya."
"Aku telah membawa sahammu bersama Bianca," tukas Oxy dengan memberikan tas berisi uang-uang ke hadapan Arya. Arya melihat dan menghitung semuanya lalu menyunggingkan senyumnya.
"Kau terlalu berbangga hati Oxy. Kau pikir kau telah membayar semuanya? Bunganya belum kau bayar jadi pernikahan ini akan tetap berlanjut dan bawa uang ini bersamamu," sinis Arya.
"Kau yang keliru, karena kami telah membawa bunga yang telah kau tetapkan," ujar Farhan dengan lantang. Ia datang bersama El, Damar, Dhika, dan Revi.
Farhan langsung memberikan tas berisikan uang yang ia bawa. Arya tertegun melihatnya.
"Tidak! Pernikahan ini akan tetap terjadi!" lantang Arya menyanggah.
Pertikaian pun terjadi dan tidak dapat dielakkan. "Bagaimana bisa pernikahan ini terjadi? Jika Lidya adalah milikku dan juga kekasihku."
Perkataan lelaki itu benar-benar membuat semua orang menatapnya tidak percaya.

KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔
Fiksi RemajaBook 2 of Lathfierg series Wajib baca 'Just Cause You, Just For You' terlebih dahulu! "Ini bukanlah akhir dari segalanya." Kalimat yang sering Lidya rapalkan ketika ia terpuruk jatuh, hingga ia mencoba untuk bangkit lagi dan berdiri tegap dengan men...