Lidya masih saja menatap lelaki itu, sekilas Zhiro tersenyum. Bagi Lidya, senyuman itu mampu membuat segala kelelahan yang di derita sirna seketika.
Sakit perih yang pernah ia rasakan hampir saja tidak pernah menyusahkannya. Senyuman itu sungguh menenangkan bagi dirinya.
Lelaki itu mendekati Lidya, namun lirikan Lidya tidak mengikuti jejak langkahnya. Matanya masih terpaku terhadap pintu yang terbuka 45 derajat.
"Mengapa kau bisa di sini?" tanya Oxy menatapnya dengan curiga. Lidya tetap membungkam, matanya berlinang air mata tetapi sekuat tenaga ia menahannya. Menahan segala keperihan yang mulai melukai hatinya.
"Mengapa kau hanya diam? Aku ingat jika kita sering berbicara. Ada apa ini? Mengapa kini kau menangis? Berhentilah menangis. Aku mohon," pinta Zhiro dengan suara yang teramat lembut.
Sebisa mungkin Lidya menutup telinganya, menghentikan gelombang bunyi itu masuk dan diproses dalam otaknya. Air matanya mulai meluruh, ia sungguh tidak tahan. Ia terisak tanpa menatap ke arah Zhiro sedikitpun.
Zhiro berada dalam keadaan yang sangat gelisah, ia tidak mampu menenangkan wanita di hadapannya.
"Berhentilah menangis," pinta Zhiro dengan teramat lembut. Ia menggenggam tangan Lidya seakan menegarkannya namun bagi Lidya, kerinduannya tidak pantas ia utarakan terutama terhadap seseorang yang telah bertunangan.
Zhiro tidak kehilangan akal, ia berdiri di hadapan Lidya sambil berusaha meraih wajahnya untuk menghapus air mata Lidya. Namun, dengan cepat ia memalingkan wajahnya.
Tangan Zhiro melemas, ia bergerak menjauhi Lidya dan mendekat ke arah jendela. "Kau membenciku."
"Aku tau itu," sambung Zhiro. Terdengar getir di getaran suaranya, mungkin. Lidya hanya merasakannya, tidak dapat berdiri untuk mengatakan jika ia merindukan lelaki yang selalu hadir dan datang di tiap alam sadarnya. Kekecewaannya melebihi kerinduannya.
"Zhiro, kenapa kau ke sini? Kau bisa memanggilku," gumam Cakra sambil memasuki ruangan tanpa mengamati ke arah sekitarnya. Ia menutup pintu itu.
Cakra tersentak kaget, ketika mendapati dua magnet yang dahulunya seperti utara dan selatan.
Kini aura yang Cakra rasakan sekarang sangatlah berbeda. Bagaikan air dan api yang di dekatkan, sisi hangat Lidya teramat berlawanan dengan kuat terhadap sisi dingin Zhiro walaupun dahulu aura itu tidak begitu terasa ketika mereka bersama.
Ia menelan salivanya mentah-mentah, kerongkongannya terasa kering tiba-tiba ketika mendapati dua pasang mata menatapnya dengan intens.
"Lidya, sejak kapan kau ada di sini? Mengapa kau tidak mengabariku terlebih dahulu?"
"Untuk apa mengabarimu? Setidaknya aku mengetahui jika ini adalah rumah sakit sahabatku dan aku akan menemuinya. Apa aku harus mengabarinya terlebih dahulu, parahnya lagi... Apa yang tidak aku tuduhkan selama ini ternyata teramat mudah dipahami," gumam Lidya melampaui rasa kesal yang ia miliki.
"Lidya... Bukan seperti itu yang terjadi...."
"Untuk apa kau memperjelaskannya? Biarkan dia merasa kecewa, biarkan dia murka, dan biarkan dia pergi dari sini karena itu lebih baik daripada dia menangis memenuhi udara yang semakin sesak," sela Zhiro dengan nada datar dan sinis.
Lidya memutar bola matanya. Kecewa? Teramat sangat mendalam kini yang ia rasakan. Rasanya lehernya dicekik dan ditebas bebas membiarkan nyawanya melayang di udara. Ia mati dengan segala perasaannya. Ia keluar dari ruangan, tangan kanan dan kirinya tidak henti bergantian menghapus air matanya.
Ia melesat di antara makhluk yang memilih menjejaki lorong yang ia lewati. Ia melangkah lebih lebar, namun keadaan kini tidak mendukungnya, langkah geraknya ditahan.
"Lepaskan aku!" sergah Lidya sambil menatap Cakra dengan penuh amarah.
"Tidak akan! Kau pergi dengan amarah! Aku tidak mau kau menyesal!" teriak Cakra dengan lantang yang mampu mengalihkan fokus semua pengunjuk. Sentak mereka berhenti beraktivitas, tetapi itu tidaklah lama ketika Satpam mulai menjalankan tugasnya.
"Apa yang ingin aku sesali? Lekaki yang jelas telah bertunangan dan memilih wanita lain untuk hidupnya? Apakah pantas aku menyesalinya?!" sergah Lidya. Rasa kecewa mulai menyelimuti akal cerdiknya.
"Dia tidak bertunangan! Selama ini dia tidak bertunangan! Kau puas?! Dia hanya mencintai satu orang wanita sepanjang hidupnya! Wanita itu adalah kau! Wanita itu adalah kau yang sangat ia istimewakan! Itu kau yang ia angkat menjadi keluarganya sendiri! Itu kau yang membuatnya berjanji untuk selalu menjagamu dan membuatmu selalu tersenyum! Kau pikir apa? Hanya sebatas persahabatan yang biasa mampu meluluhkan hatinya begitu dalam? Jika dia bisa seperti itu, maka akan ku pastikan dia tidak akan mencarimu ketika kau diusir dari rumah makan itu! Tapi apa? Dia bertekad mencarimu sampai luka tusukan dia rasakan. Asal kau tau dia mencintaimu lebih dari kau mencintainya, kau hanya diluputi rasa kekecewaan, sedangkan dia di sepanjang harinya memperkokoh perasaannya kepadamu," jelas Cakra panjang lebar. Lidya hanya berani menatap dengan gerlingan air matanya.
"Apalagi sekarang? Kau mau tau seberapa besar kasih sayang yang dia berikan untukmu? Dia mengetahui tentang pernikahanmu, entah siapa yang memberitahukan hal itu hingga aku pun tidak tau kabar apapun. Awalnya ia mendukung pernikahanmu, aku lihat dua malam ia termenung memikirkan pernikahanmu. Tepat ketika di pagi hari pernikahanmu dia mengirimku ke rumah Oxy menyusun rencana untuk menggagalkan pernikahanmu. Itu berhasil, Kau mau tau reaksinya? Ia begitu terlihat bahagia. Di sepanjang waktu ia mengucapkan terima kasih karena membebaskanmu dari kendali itu, entah berapa banyak kata terima kasih yang dia ucapkan. Mengapa kau tidak paham akan hal ini? Aku pikir kau cerdas, tetapi kau payah dalam urusan ini. Aku adalah makhluk yang tidak mengerti akan perasaan abstrak ini pun paham. Kau membalas segala perasaannya dan pengorbanannya hanya dengan kekecewaan," sambung Cakra lagi.
"Lalu kau menyalahkanku? Jika kau tau segalanya, berikan aku alasan untuk tindakannya mengusirku?"
Sejenak Lidya berusaha sadar, lorong dekat tangga yang ia lewati kini menjadi sepi. Lidya melirik sekilas jika para satpam tengah berjaga di ujung dan pangkal jalan.
Cakra menyunggingkan senyumnya. "Kau mau tau apa alasannya? Di hari keberangkatan kami, aku menemaninya check up ke rumah sakit. Dan hasilnya begitu miris ketika kami mengetahui jika Zhiro terkena kanker otak."
Jantung Lidya kini berdegup kencang dengan pernyataan Cakra.
"Dia menghancurkan kamarku sebab amarah. Bukan karena hidupnya tetapi hidupmu! Dia memikirkan segalanya yang akan terjadi padamu. Di tengah sakit itu dia memikirkan caranya untuk membuatmu bahagia, membuatmu selalu tersenyum seperti yang ia janjikan. Aku masih ingat dia seperti orang frustasi, sebab dokter bajingan yang mendiagnosanya akan hidup hanya dalam beberapa waktu! Setelah berpikir panjang ia memikirkan cara untuk membuktikan segala kasih sayang yang ia punya untukmu dengan mengorbankan kebahagiaannya sendiri, dengan cara mengusirmu. Bukan saja itu, ia membuat kabar tentang pertunangan palsunya ke semua orang agar kau semakin membencinya dan kau menjauh darinya. Dan aku memulai rencanaku berangkat dari kota itu ke sini hanya untuk pengobatannya," tukas Cakra lantang.
"Lalu bagaimana kabarnya?" tanya Lidya meragu dengan kesalahan yang ia perbuat.
"Usaha kami berjalan lancar, setelah beberapa bulan Zhiro bebas dari sakit itu. Tetapi, karena memakan obat terlalu banyak dia menderita gagal ginjal, bertambah rasa sakit yang dia rasakan," lirih Cakra sambil menatap ke arah lantai. Begitupun Lidya, entah berapa banyak tetes air mata yang mengalir sebagai saksi bisu atas kesedihannya hari ini.
Seorang satpam yang berada di belakang Cakra berlari dengan sekuat tenaga, hingga ia berada sangat dekat.
"Pak, maaf mengganggu kalian. Tuan Zhiro tidak sadarkan diri di ruangan anda."
"Apa?!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔
Novela JuvenilBook 2 of Lathfierg series Wajib baca 'Just Cause You, Just For You' terlebih dahulu! "Ini bukanlah akhir dari segalanya." Kalimat yang sering Lidya rapalkan ketika ia terpuruk jatuh, hingga ia mencoba untuk bangkit lagi dan berdiri tegap dengan men...