"Di mana bodyguard lo itu? Mati terkapar?" kekeh lelaki itu lagi. Dia adalah Robert Aryan Fugro, wajahnya tetap sama walaupun hampir dua tahun mereka tidak bertemu.
"Diem! Lo ga punya hak buat ngomong apapun tentang dia!" sergah Lidya tidak terima.
"Miris, ditendang dari rumah keluarga Groye? Terus diturunin dari kereta dan tersesat di kota ini," kekeh Robert. Lidya menatap Robert tidak percaya.
"Lo?!" bentak Lidya tidak percaya.
"Gue kira lo udah tewas beserta keluarga dan teman-teman lo! Anak buah yang ga becus sampe ga bisa bunuh lalat pengganggu kek lo!" desis Robert sedikit mengancam.
"Lo dalang dari kejadian waktu itu?! Anak buah lo sama kek lo, payah!" kekeh Lidya, hatinya tidak ragu untuk mengatakan hal itu dan tersenyum sinis.
"Payah? Untuk kali itu lo bisa lolos, tapi di lain waktu jangan harap lo bisa selamat! Persiapin kafan dan kuburan lo sendiri, tanah udah jadi lebih sempit!'' gumam Robert setengah berbisik ke arah Lidya. Ia menjauhkan wajahnya dari telinga Lidya. Robert memasuki mobilnya, Lidya tidak bisa melihat jelas tipe mobil tersebut tidak ada lampu jalan yang membantu penglihatannya.
Mesin mobil dihidupkan, Robert menekan klaksonnya lalu mengemudikan mobilnya meninggalkan Lidya sendirian.
Lidya melanjutkan perjalanannya, ia melihat ke ujung jalan. Sebuah papan nama penginapan terpampang di tepiannya. Ia kini bernafas lega.
Ia berjalan dengan tenang, tetapi pikirannya melayang jauh. Lawan yang berasal dari masa lalu kini kembali datang ke kehidupannya. Bukan kematian yang kini ia pikirkan, tetapi dalang dari semua kejadian ini.
Deru motor dari belakang Lidya kini ia hiraukan, motor itu memotong jalan Lidya membuat Lidya terkejut dan menghentikan langkahnya.
Ia melirik ke arah pemilik motor tersebut dan mendelikkan matanya. Lagi-lagi....
"Berjumpa untuk ketiga kalinya. Mungkin kita memang ditakdirkan untuk bersama. Lo sangatlah cantik, tapi liat tangan lo. Luka, karena apa? Karena lo berusaha lari dari gue," imbuh Arya berada di hadapan Lidya. Lidya terasa sangat muak dengan pernyataan lelaki itu..
Lidya tetap diam dan berusaha melewati lelaki itu namun dengan lekas ia dihadang.
"Et. Mau ke mana?" tanya Arya sambil merentangkan tangannya.
"Bukan urusan lo!" tukas Lidya dengan lekas. Arya tetap merentangkan kedua tangannya.
"Gak mau meluk gue dulu?" goda Arya dengan mengedipkan mata kanannya.
"Najis!" caci Lidya semakin menjadi.
"Lo boleh pergi dari sini asalkan urusan kita udah selesai. Lo beda dari yang lain dan gue semakin penasaran dengan lo, kalo lo ga mau sama temen-temen gue tenang sekarang kita hanya berdua dan lo ga perlu malu," goda Arya semakin memajukan langkahnya. Kondisi tidak berpihak pada Lidya, tidak ada seorang pun yang melewati jalan itu ia terpaksa memundurkan langkah kakinya seiring langkah Arya.
"Lo takut?" duga Arya memastikan raut wajah Lidya. Pikirannya bertambah berat, kehadiran Robert benar-benar mengubah nyalinya.
Arya melihat ke arah belakangnya tepat setelah ia mendengar suara knalpot motor mendekati mereka, benar saja dua berkas cahaya menyinari jalan dari kejauhan. "Sial!"
Motor itu semakin mendekat dan membuat Arya membekukan gerakannya, Lidya sedikit bernafas lega. Motor berhenti tepat di depan Arya dan satunya lagi melewati Lidya. Mereka membuka helmnya, jantung Lidya berdegup kencang dan kelegaannya seketika sirna. "Lanjutkan Arya!"
Arya menyunggingkan senyumnya ketika melihat teman-temannya yang baru saja datang. Lidya melangkah ke belakangnya lagi namun dengan cepat dua orang memegang pergelangan tangan Lidya dan pada akhirnya menguncinya.
"Lo ga bisa lari-lari kemana-mana lagi," kekeh Arya tertawa kecil. Lidya menajamkan sudut matanya, andaikan dia punya kuasa untuk mencengkeram mulut lelaki itu dan membuang spesies seperti Arya ke dalam Samudra Atlantik.
"Kalian licik," desis Lidya melirih. Arya hanya menyunggingkan senyumnya lalu menggerakkan jarinya ke arah pipi Lidya lalu mengelusnya pelan.
"Singkirin tangan lo dan jangan berani-berani nyentuh gue!" cerca Lidya spontan.
"Kalo gue lakuin gimana?" tantang Arya sambil menyentuh pipi Lidya lagi namun itu tidak berangsur lama. Beberapa detik, baju belakang Arya ditarik dan pukulan keras menghantamnya.
"Udah dia bilang jangan berani-berani menyentuhnya lagi," dalih Dimas atas pukulan tangan Gio tepat di wajah Arya. Mata Lidya kini berbinar menatap mereka berdua yang baru saja datang.
"Lo?! Kapan lo ga ikut campur urusan gue!" murka Arya sambil memegangi sudut bibirnya yang berdarah.
"Kapan ya? Mungkin udah makhluk kek lo musna dari muka bumi," jawab Gio enteng. Gio melihat ke arah Lidya yang tidak bisa berkutik dengan kedua tanggannya di kunci oleh kedua teman Arya. "Lepasin dia!"
"Gak, itu bagian gue!" bantah Arya dengan lantang.
"Oh, gue belum olahraga malem ini. Gimana Dim?" usul Gio sambil menaikkan satu alisnya lalu menatap Arya lama. Tatapannya kini lebih dalam.
"Sikat!" Serangan mereka gencarkan. Gerakan Dimas hampir sama seperti Gio, cepat dan tidak terduga. Arya dan kedua temannya terlihat kelawahan menangkis dan menangani serangan mereka berdua.
Arya masih tidak terima atas kekalahannya, ketika Gio lengah ia dengan gencar memukul wajah Gio hingga sudut bibirnya juga berdarah. Dimas bergerak cepat dan membalas balik ke arah Arya. Mereka bertiga berhasil ditaklukkan.
"Lo mau olahraga atau ngehemat energi lo?" tawar Dimas sambil menatap mereka. Mereka langsung melepas pergelangan tangan Lidya dan kabur bersama temannya yang lain.
"Lo gak apa-apa Lid? Kenapa lo bisa disini pake acara bawa koper segala?" selidik Dimas sambil menerka-nerka.
"Ceritanya panjang," lirih Lidya. Dia mengamati lawan bicaranya kali ini dengan tatapan lebih dalam.
"Dimas bawa dia pulang!" perintah Gio sambil mengelap cairan merah dari sudut bibirnya.
"Naik apa?" sela Lidya seketika. Gio menunjuk ke satu-satunya motor yang tidak jauh dari mereka.
"Lah lo gimana? Liat tuh luka lo harus diobatin dulu. Ga sakit?" tanya Lidya melihat motor tersebut.
"Udah jangan pikirin Gio. Gio tuh laki dia bisa jaga diri, dan dia ga mungkin bisa diperkosa oleh Arya dan teman-temannya. Ayo kita cabut!" seru Dimas lalu berjalan di depan Lidya.
"Pikiran lo kebangetan," gumam Gio lalu menutup kepalanya dengan tudung jaket dan berjalan ke arah lain yang berlawanan.
***
"Oh jadi gitu ceritanya. Yaudah lo tidur aja di kamar Gio lagian Gio di luar juga," tawar Exel sambil menunjuk ke arah tangga. Lidya telah berada di dalam kafe Exel.
"Gue minta selimut aja. Ga enak Gio juga udah sampe luka gitu, pasti dia butuh istirahat yang lebih," tolak Lidya dengan halus.
"Gak apa-apa. Lo jangan pikirin Gio," bujuk Sadam lekas.
"Gue pengen tidur di sini aja," kukuh Lidya dengan pendiriannya.
Rudi mengedikkan bahunya. "Yaudah kalo lo maksa gue ambil selimut gue dulu, soalnya baru gue cuci dan dijamin wangi."
Rudi berdiri dan berlari kecil menaiki tangga lalu turun dengan membawa selimut yang cukup tebal dan memberikannya ke Lidya. Lidya menyambutnya dengan riang.
"Selamat malem Lid, besok kita pagi kita ngomong lagi," ujar Rudi sambil melambaikan tangan menuju tangga. Exel dan yang lainnya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Rudi.
Lidya membalas lambaian tangan tersebut lalu ia berjalan menuju sofa yang lebih panjang dan membaringkan tubuhnya. Matanya masih lekat menatap langit-langit kafe, malam semakin larut.
Lidya terlelap, rasa kantuk berhasil menghilangkan kegundahannya. Beberapa saat setelah itu sebuah tangan dan jari-jemari yang halus menyentuh pipinya. "Hey?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔
Подростковая литератураBook 2 of Lathfierg series Wajib baca 'Just Cause You, Just For You' terlebih dahulu! "Ini bukanlah akhir dari segalanya." Kalimat yang sering Lidya rapalkan ketika ia terpuruk jatuh, hingga ia mencoba untuk bangkit lagi dan berdiri tegap dengan men...