Chapter One

12.9K 976 232
                                    

I'm a bit nervous to think that I'm gonna start with another new story for this year. I had been on hiatus for months and I still am not confident with my writing skill. But well, quarantine feels so boring if I don't have nothing to do beside watching movies, reading, and dancing. So here my new story—I promise that I'll finish the old ones who came before this one. Please wait for me and show your support by giving comments and vote. Thank you guys so much. Happy reading ^.^



“The optimist sees the rose and not its thorns; the pessimist stares at the thorns, oblivious to the rose”
—Kahlil Gibran—

Perempuan itu berjalan dengan langkah lunglai di sepanjang koridor IGD salah satu Rumah Sakit paling unggul di kotanya. Ia tidak sakit, hanya sedikit pegal akibat pesta tadi malam yang terpaksa ia hadiri atas permintaan mendesak ibunya. Bayangkan harus terjebak di pesta milik orang asing tanpa satupun teman yang mendampingi sehingga hal paling lumrah yang bisa dilakukan hanyalah berdiri canggung sambil mengamati orang-orang berpesta.

Hal yang lebih buruk justru terjadi keesokan harinya saat Rose menyadari kalau ia mendapat shift pagi di IGD. Ia tidak bisa menjadikan kaki pegal sebagai alasan sementara ada sejumlah pasien yang—mungkin—membutuhkannya. Meskipun masih berstatus sebagai dokter umum, Rose sangat banyak membantu karena ia cekatan dan sangat piawai. Para profesor dan dokter senior memuji ketelitian dan kepiawaian Rose sehingga mereka merekomendasikannya untuk memulai spesialisasi dengan segera. Dokter spesialis yang muda, menawan, dan sangat piawai terhitung jarang sehingga memiliki satu yang seperti itu tentu menguntungkan Rumah Sakit dan pasien.

“Hei, tolong bawakan satu kopi pahit buatku!” seru Rose sembari melingkarkan lengan kanannya pada pundak laki-laki muda bertubuh tinggi yang menatapnya keheranan.

Alis hitam tebal miliki laki-laki itu mengeryit kemudian ia berkata, “Hubungan senior-junior juga berlaku saat jam istirahat ya?”

“June, sahabatku tersayang yang paling tampan, tolong bawakan satu kopi pahit buatku ya. Aku sangat mengantuk dan lelah, kurasa aku kekurangan kafein.” Rose bicara dengan nada lembut setengah memohon.

“Kau butuh vitamin C. Mengonsumsi kafein berlebihan tidak akan mengembalikan energimu. Tidak malu apa diberi tahu hal begini oleh calon dokter yang masih menjalani koas sepertiku? Padahal harusnya kau mengerti hal sedasar itu.”

“Tidak karena kau adalah June,” jawabnya santai.

“Cari tempat duduk,” katanya singkat kemudian berjalan menuju mesin kopi meskipun setengah hati.

Rose tersenyum mengamati June yang berjalan dengan cepat meskipun bersungut-sungut. Kedua tangannya ia letakan di jas putih kebanggaannya seraya menghampiri satu dari empat meja kosong di kantin kesukaannya. Makanan di kantin ini sangat enak dan kebersihannya juga sangat baik. Rose biasanya tidak akan mau makan di tempat yang tidak terjamin kebersihannya. Sedikit lapar lebih baik daripada harus menanggung sedikit sakit meski hanya sesaat.

Meski terlihat kelelahan, matanya berbinar dan wajahnya berseri saat June kembali dengan secangkir kopi untuknya. Bibirnya yang penuh dengan warna sedikit pucat mengukir senyum meskipun kawannya memasang ekspresi jutek. Meja mereka berbentuk bulat dan berukuran kecil sehingga June yang duduk di seberang Rose masih bisa mendengar dengan jelas suara pelan temannya yang menceritakan mengenai pesta yang berisik dan membosankan kemarin malam.

Rosé ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang