Chapter Twenty

5.3K 562 136
                                    

“Memories warm you up from the inside. But they also tear you apart.”
—Haruki Murakami—

Melangkah memasuki ruangannya, Rose terkejut mendapati Eunwoo yang berdiri membelakangi sebelum akhirnya berbalik dan melemparkan sebuah senyum sebelum sapaan. Ia baru selesai dengan Bambam—pria itu mendapatkan privilege untuk belajar di ruang konferensi karena dia putra pemilik rumah sakit. Bambam tidak bisa dibilang bodoh, ia hanya sedikit lambat dan manja. Beberapa kali Rose hampir kehilangan kesabaran karena Bambam tidak kunjung paham dengan penjelasan berulangnya. Mungkin ia hanya terlalu cepat atau terlalu mengharapkan Bambam untuk berpikir seperti dirinya. Itu sangat egois dan tidak pengertian, Rose juga mengetahui hal itu. Tapi tetap saja, bahkan saat kita tahu itu bukan hal yang baik, menghindarkan diri dari sikap dan perbuatan seperti itu tetap menjadi sebuah kesulitan—atau mungkin kita hanya enggan dan tidak bisa sama sekali.

Tidak ada siapapun di ruangan ini selain dirinya dan Eunwoo. Rose memang sudah punya niat untuk menemui dan mengucapkan terima kasih pada pria di hadapannya ini, tapi sekarang bukan saat yang tepat. Ia tidak bisa hanya tersenyum dan berterima kasih dengan cara yang canggung. Aduh, situasinya menjadi kurang menyenangkan.

“Kau tidak bilang bakal datang ke sini.” Rose berkata, tangannya menarik kursi di hadapannya karena kakinya terasa pegal akibat terlalu banyak bergerak. “Silahkan duduk. Rasanya aneh kalau hanya aku yang duduk di sini.”

Alih-alih mendudukan dirinya di kursi, Eunwoo justru menyandarkan tubuhnya ke meja kemudian menatap Rose dengan intens. “Ingatanku tentangmu benar-benar samar,” desisnya membuat Rose kebingungan.

“Eunwoo, apa yang sedang kau bicarakan?”

Eunwoo menyentakkan wajahnya, membuang pandangannya sedikit lebih jauh dari sepasang netra indah milik gadis itu. Jika diberitahukan tentang betapa indah sepasang mata itu, Rose tidak akan terkejut karena beberapa orang memang cukup sering mengatakannya. Pandangan itu sedikit mengusik batin Eunwoo. Sekitar 12 tahun lalu di tepi salah satu anak sungai yang bermuara ke Sungai Bukhan di Gyeonggi, mata itu juga yang menatapnya dengan setumpuk kepanikan dan pikiran kusut khas anak berusia 10 tahun yang panik melihat bocah lainnya berkata akan bunuh diri. Si pemilik mata indah dengan rambut hitam panjang itu berteriak sangat keras saat si bocah laki-laki yang kelihatan sangat frustasi berniat menghempaskan tubuhnya ke dalam sungai. Bocah itu berniat membiarkan tubuhnya digulung arus atau tenggelam di dalam air yang dingin pada akhir Oktober.

“Hei! What are you doing there? Step back! You might slip into water!” gadis kecil dalam ingatan Eunwoo itu punya aksen Inggris yang sangat kuat. Pria itu ingat kalau satu-satunya respon yang ia berikan adalah tatapan tak paham. Bukan perkataan si gadis cilik yang membuatnya tak paham—Eunwoo sudah berusia 10 tahun pada saat itu dan dia bicara Bahasa Inggris dengan baik karena pendidikan mahal yang dienyamnya. Ia merasa bingung dengan kekhawatiran yang ditunjukkan gadis tak dikenal itu. Terlebih, apa yang sedang gadis itu lakukan di tempat ini?

“Mamahku mati bunuh diri. Papahku sangat jahat. Dia menjadi alasan mamah melakukan hal itu. Papahku punya banyak perempuan simpanan.” Eunwoo kecil hanya mengutarakan hal yang paling membebani pikirannya. Ia tidak peduli pada si gadis kecil yang kelihatan serius mencerna seluruh perkataannya.

Anak perempuan itu lantas mendesah, sambil bertolak pinggang dan melemparkan tatapan lurus pada Eunwoo kecil yang menangis begitu pilu. “So do you wanna throw yourself into that cold water?”

“Did you get what I said?” tanya Eunwoo kecil.

“Saya belajar bahasa Korea,” jawab gadis itu. “Mamahmu tidak akan senang kalau kau menyusulnya saat ini juga. Dari surga, dia pasti mau melihat anaknya bertumbuh dewasa.”

Rosé ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang