Chapter Forty Two

3.4K 447 206
                                    

Aloha~
We are back. This is a long chapter with more than 3000 words on it. Saranku masih sama, baca sambil rebahan atau sambil ngemil buah. Dan, please leave some comments too. Wel happy reading then~



“Because, if you could love someone, and keep loving them, without being loved back... then that love had to be real. It hurt too much to be anything else.”
—Sarah Cross—

Monday, April 6th
“Kenapa kau tiba-tiba mau pindah ke rumah sakit cabang?” June bertanya dengan nada sedikit tidak santai pada Rose. Pria itu hanya mengamati temannya yang sibuk membaca beberapa dokumen kesehatan pasien di meja resepsionis IGD.

“Aku butuh suasana yang lebih tenang.” Rose menjawab tanpa menaruh pandangan pada lawan bicaranya. Ia membiarkan June frustasi dengan sikap acuh tak acuh yang diberikannya.

June mengusak rambut, lelah dengan sikap Rose yang terkesan bermain-main dan tidak pernah menganggap serius pertanyaannya. “Rose, bukan hanya aku yang bingung dengan semua perubahan sikap yang kau tunjukan selama beberapa minggu belakangan ini. Bambam saja sampai tidak bisa tidur karena memikirkan permintaanmu. Taebaek itu jauh sekali dari Seoul. Bukannya lebih nyaman kalau bisa bekerja di SMC ya? Bahkan dokter di rumah sakit cabang juga ingin pindah ke sini.”

“Kalau begitu mereka bisa bertukar tempat denganku,” kata Rose sedikit memulas senyum.

Tidak ada kalimat lain yang June lontarkan. Ia hanya mengamati Rose dengan lamat. Kepala perawat yang biasanya berjaga di meja resepsionis sedang keluar, menyisakan mereka berdua yang datang sedikit kepagian. Ada hal yang menganggu benak June akhir-akhir ini: tentang perubahan emosional dan fisik yang nampak samar dalam diri Rose. Ini April, tidak biasanya Rose masih mengenakan baju agak tebal dan kebesaran seperti hari ini. June sudah mengenal perempuan di sampingnya bahkan sebelum ia bisa berhitung—dan sepanjang ia bisa mengingat, Rose sangat suka baju-baju pendek terutama saat masuk musim semi dan musim panas.

Matanya masih menatap Rose, sambil sesekali memicing atau menyentuh dagu dengan jari. June tahu ini sedikit gila, tapi bukankah temannya ini terlihat seperti seorang perempuan hamil? Rose tiba-tiba membenci kopi, dia sangat sering ke kamar mandi, dan dia juga sering mual meski bilang kalau ia hanya masuk angin atau kelelahan. Tapi June tidak sebodoh Bambam. Mana mungkin ada orang masuk angin sampai tiga minggu—dalam beberapa kasus memang ada, tapi kemungkinannya sangat kecil. Selain itu, Rose juga seorang dokter. Akan sangat aneh kalau ia tak paham hal semacam itu.

Jika Rose hamil, sudah pasti ayah dari bayinya adalah Jaehyun, kan? June selalu mengulangi pertanyaan yang sama selama seminggu belakangan. Rose bukan tipe perempuan yang akan tidur dengan sembarang pria—dan June sangat yakin dengan hal ini bahkan lebih dari ia meyakini kemampuannya sendiri. Tapi mereka berpisah awal Desember tahun lalu. Kalau menurut perhitungan, kehamilan Rose seharusnya sudah memasuki minggu ke-17 bahkan ke-18. Tapi di mana baby bump-nya? Ini sudah minggu ke-17 tapi aku tidak melihat apapun di sana! Batin June berteriak frustasi.

“Rose,” panggil June cepat.

“Hm?”

“Kau sedang hamil, kan?” tanya June dengan suara pelan tapi jelas. Ia bisa melihat kilat keterkejutan dalam sepasang mata Rose yang teduh.

Belum sempat Rose menjawab, suara paramedis di pintu masuk IGD membuat keduanya menoleh. June merutuk, sementara Rose bersyukur. Meletakkan dokumennya, Rose berlari untuk menghampiri pasien di atas brankar. June menyiapkan bangsal untuk pasien kendati pertanyaannya belum terjawab sepenuhnya. Tapi dengan ekspresi singkat yang Rose tunjukkan barusan, itu sudah bisa menjawab sebagian besar pertanyaannya: Dia memang sedang hamil.

Rosé ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang