Chapter Seventeen

4.9K 627 128
                                    

Haiii... apa kabar kalian? Semoga selalu sehat ya~

Chapter ini mostly isinya kepedulian Jaehyun sama Rose sih jadi selamat membaca. I'd like to see your comments below, so please leave some there cuz I'll be very happy to read all of them ^^



“Every one of us is losing something precious to us. Lost opportunities, lost possibillities, feelings we can never get back again. That’s part of what it means to be alive.”
—Haruki Murakami—

“Mah, hentikan, jangan minum lagi. Alkohol itu tidak baik buat tekanan darahmu.”

Kata-kata Rose tidak diacuhkan oleh Jessica. Mamahnya itu hanya melemparkan senyum simpul kemudian kembali menenggak vodka langsung dari botolnya. Rose meringis. Itu minuman yang mahal dan ibunya punya tekanan darah tinggi. Ia tidak sanggup membayangkan kalau uangnya harus kembali melayang sia-sia untuk minuman dan biaya pengobatan. Padahal kalau mamahnya mau menuruti kata-katanya untuk hidup sehat, tekanan darahnya bakal stabil dan dia bisa hidup dengan nyaman.

“Kubilang hentikan!” Suara Rose meninggi. Ia menghampiri Jessica yang tengah duduk di sofa kecil mereka. Tangannya dengan sigap merebut botol vodka dari Jesica yang selalu mengeluh dan bersedih karena menganggap hidup tidak adil. Rose sudah cukup muak dengan cerita tentang menghancurkan kehidupan baru papahnya. Kalau pria brengsek itu tidak mau kembali pada keluarga lamanya, ya sudah. Ia bisa berpura-pura kalau papahnya itu sudah mati dan semuanya akan baik-baik saja.

Jessica bangkit kemudian berjalan dengan langkah semponyongan. Ia bermaksud mengambil kembali botol vodka dalam genggaman Rose. Tidak, ia belum merasa puas. Kepalanya hanya terasa sedikit pening. Dia masih bisa menghabiskan seperempat sisanya.

“Kembalikan padaku,” kata Jessica lirih. Bahkan bertumpu di atas kedua kakinya saja dia kepayahan. Tapi dengan percaya diri yang tinggi ia kembali meraih botol vodka kemudian menenggak isinya.

Mulut Rose terkatup dan tatapannya menjadi sayu. Ia tidak susah-susah meluangkan waktu pulang ke rumah hanya untuk melihat Jessica mabuk dan kelihatan hampir mati. Wanita itu sekarat, jiwanya benar-benar sekarat. Kekecewaan memenuhi hidupnya sejak saat itu, sejak Park Kyuhyun memutuskan untuk meninggalkan anak dan istrinya demi wanita muda yang ia yakini sebagai cinta sejatinya. Tidak peduli sebanyak apapun Rose dan Jessica memohon, Kyuhyun tetap pergi. Padahal pria itu tahu kalau anak dan istrinya hampir tidak bisa hidup kalau tidak mendapat sokongan dana darinya. Brengsek. Rose sangat benci kalau ingatan tentang papahnya kembali mencuat dan mencabik-cabik perasaannya.

“Mah, kumohon jangan begini. Kau terus-terusan menyiksa dirimu. Apa kau mau menghabiskan sisa hidupmu seperti ini? Keparat itu tidak layak mendapatkan semua perhatian dari kita.” Rose memohon dengan suara bergetar. Ia merengkuh pundak Jessica yang terasa begitu rapuh, memandang matanya yang perlahan kehilangan gairah hidup.

“Hidupnya terus-terusan menanjak dan sekarang ia berada di puncak.  Park Kyuhyun, calon walikota Seoul, tersenyum seolah mengejek kehidupan kita yang seperti sampah. Aku harus mengerjakan banyak hal supaya bisa tetap hidup, dan putriku yang malang harus belajar sangat keras bahkan kerja paruh waktu supaya bisa mewujudkan mimpi kecilnya. Rose kecilku, dia bahkan tidak punya banyak waktu untuk bermain seperti anak-anak seumurnya. Tapi pria iblis itu, dia hidup dengan seorang istri dan anak. Hidupnya baik-baik saja, dia baik-baik saja. Hidup sangat tidak adil. Kita orang baik, tapi kenapa Tuhan memberikan semua kemalangan ini pada kita? Park Kyuhyun harus mendapatkan karmanya.”

Rosé ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang