Chapter Thirty Five

3.5K 466 255
                                    

This chapter will be a little bit emotional. Buatku sih ya. Tingkat emosional orang itu beda-beda. Leave your thought by giving voment yaa. It means a lot for me. Happy reading~



“Life is pleasant. Death is peaceful. It’s the transition that’s troublesome.”
—Isaac Asimov—

Selama dua minggu terakhir ini Rose tidak bertemu dengan Junghwan. Anak itu berhenti datang untuk terapi kendati dia sangat membutuhkannya. Ia sangat khawatir, penghentian pengobatan yang mendadak akan berdampak buruk pada kesehatan Junghwan. Seohyun dan Kyuhyun sudah tahu keberadaan Rose dan Jessica saat ini—sangat wajar kalau mereka berusaha menarik diri sejauh mungkin. Tapi masalahnya, pengobatan Junghwan tidak bisa dihentikan. Apalagi untuk alasan yang sangat egois.

“Kecuali kalau dia pergi ke rumah sakit lain,” batin Rose.

Ia berdiri di depan kamar seorang remaja laki-laki seusia Junghwan yang mengidap Cystic Fibrosis. Berbeda dengan Junghwan, anak ini sangat tahu penyakit yang sedang dideritanya. Dia cukup positif untuk seseorang yang mengetahui dirinya sedang sekarat dan membutuhkan paru-paru baru untuk bertahan hidup. Fakta itu membuatnya tersenyum getir—terutama karena Rose mengenal anak ini sebaik ia mengenal Junghwan. Rose menunduk sebelum berbalik dan dikejutkan oleh presensi Bambam yang tersenyum sambil mengulum permen di mulutnya.

“Bambam!” kata Rose dengan pekik tertahan. Ia menarik tangan Bambam, membuatnya menjauh dari kamar si anak penderita CF. “Kau bolos lagi? Bukannya hari ini jadwalmu dengan Emergency Department? Kenapa kau ada di sini?”

Tangan kiri Bambam memegangi pundak Rose—sementara tangan kanan memegangi permennya. “Ini sudah masuk jam istirahat, kak. Lihatlah jam tangamu.”

“Berhentilah membolos supaya aku juga bisa berhenti berprasangka. Kau harus mencontoh June, calon kakak iparmu itu melakukan segalanya dengan baik.” Kata-kata Rose membuat ekspresi Bambam berubah masam. “Ngomong-ngomong, apa kau melihat June? Bukannya tiap istirahat kalian selalu bertengkar ya?”

Bambam menggedikkan bahu. “Tidak tahu. Mungkin dia pergi menemui Lisa di kafe sebelah. Mereka sering sekali bertemu. Itu agak membuatku khawatir. Dan kesal, jujur saja.”

“Kenapa harus kesal? Memang June berbuat salah padamu?” tanya Rose seraya melirik Bambam yang berjalan di sampingnya.

“Bukan karena dia berbuat salah. Hanya saja... ya, entahlah. Pokoknya dia menyebalkan.” Bambam memberikan jawaban yang tak masuk di akal.

Rose menggelengkan kepala, semakin tidak paham dengan jalan pikiran Bambam yang nyeleneh dan kadang kala sangat nyentrik. Saat mereka baru melangkah memasuki kantin, ponsel di sakunya tiba-tiba berdering. Ini panggilan darurat. Rose buru-buru mengangkat panggilan itu dengan wajah serius yang membuat Bambam termenung kaku.

“Bam, aku harus ke IGD. Ada pasien yang jatuh dari tangga di rumahnya. Terjadi benturan yang sangat parah di kepalanya sehingga dia datang dalam keadaan tak sadarkan diri.” Rose menjelaskan dengan cepat dan sangat jelas. Ia tidak menunggu persetujuan Bambam untuk kemudian berbalik dan bergegas dengan cepat menuju IGD.

Rosé ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang