Chapter Forty One

3.5K 480 219
                                    

Aloha, Rosé kembali sesuai jadwal. Sebelumnya mau ngucapin Selamat Hari Anak Nasional dari aku si outdated kid. Semoga anak-anak bisa menjalani hidup dengan lebih baik dan bahagia; semoga anak-anak tidak harus lagi menanggung trauma dari orang tua mereka; dan semoga anak-anak bisa tumbuh tanpa dasar ekspektasi yang disematkan pada mereka. Let the children grow, enjoying their childhood without having too many responsibilities just to fulfill their parents expectations and will. Let them free~

Kebetulan banget chapter kali ini emang ngomongin tentang anak. Well, won't spoil too much so happy reading~



“The soul is healed by being with children.”
—Fyodor Dostoevsky—

Pandangan Rose tertuju pada bayi-bayi yang tertidur di dalam inkubator. Kali ini ia tidak memandangi mereka dengan senyum mengembang. Bukan karena Rose tidak menyukainya, tapi lebih karena kegamangan yang menyelimuti pikiran dan hatinya selama seminggu terakhir. Kehamilannya sudah masuk minggu ke-10. Tapi ia masih tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan bayi dalam perutnya.

Tangannya refleks menyentuh perut. Tidak seperti wanita hamil pada umumnya, perut Rose masih terasa sama—hanya agak mengembang seperti sedang sembelit dan susah buang air besar. Pikirannya mengembara, mengingat kembali percakapannya dengan Eunwoo minggu lalu.

“Aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya menjadi seorang ibu.” Rose mengulangi kembali ucapannya. Tangannya mengacak rambut, kelihatan sangat frustasi. “Oh tidak, aku bahkan tidak bisa jadi ibu. Aku akan jadi ibu yang sangat buruk untuknya. Apa yang harus kulakukan?”

Eunwoo menarik Rose dalam pelukannya. Katakanlah ini pelukan persahabatan atau apapun itu—ia hanya bermaksud menenangkannya. “Tenangkan dirimu, Rose. Kau sedang terkejut sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. Jangan memikirkan terlalu banyak hal, kau bisa sakit.” Eunwoo melepas pelukannya, menatap Rose dalam dan penuh ketulusan. “Duduklah. Jangan biarkan emosi menguasai dirimu.”

Sekitar 30 menit Rose hanya duduk diam dengan tatapan kosong. Eunwoo tidak memaksakan satupun kalimat padanya. Perempuan itu sangat kalut. Ada terlalu banyak kejadian mengejutkan yang terjadi dalam hidupnya. Perpisahan dengan Jaehyun, kematian Jessica, lalu sekarang kehamilan yang tidak direncanakan. Meskipun sulit, Rose masih bisa mengatasi perpisahan dengan tunangan dan ibunya. Tapi menerima kehidupan baru itu lain cerita.

Ia jelas tidak siap. Ada segunung ketakutan yang menghantui. Rose takut kalau ia tidak bisa menjadi ibu yang baik seperti Irene. Ia takut tidak bisa membesarkan bayinya sendirian. Lalu bagaimana dengan karirnya? Bagaimana cara dia memberitahu teman dan koleganya? Memiliki bayi di usia 23 tahun untuk seorang dokter wanita merupakan tantangan yang sangat besar. Dan jujur saja, Rose tidak mau mengambil tantangan itu.

“Kehamilanku sudah masuk minggu ke-8,” gumam Rose membuat Eunwoo memasang fokus tingkat tinggi. Pria itu mendengarkan dengan hati berkecamuk. “Kukira aku hanya mual dan pegal karena stres atau kebanyakan bekerja—ternyata karena saat ini ada kehidupan lain yang sedang kubawa. Kurasa hal buruknya tidak terletak pada fakta bahwa aku hamil tanpa seorang suami, tapi lebih pada kenyataan bahwa aku tidak akan pernah bisa memberitahu Jaehyun kalau aku sedang mengandung anaknya.”

“Kenapa kau tidak bisa memberitahunya? Dia berhak tahu karena itu anaknya,” sahut Eunwoo dengan suara rendah. Ia masih memandangi Rose, melihat senyum pahit terukir di wajahnya yang pucat.

“Aku tidak bisa,” kata Rose. Sejak awal matanya tidak tertuju pada Eunwoo. Dia hanya menunduk, memandangi punggung tangannya. “Kau tahu seburuk apa media itu kan? Itu tidak akan baik untuknya. Dan untukku juga.”

Rosé ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang