Chapter Four

6K 790 207
                                    

Cuma mau ngingetin buat vote dan comment cerita ini. Selamat membaca~



"Alcohol may be man's worst enemy, but the bible says love your enemy!"
—Frank Sinatra—

Rose berhenti sejenak untuk membebaskan napas yang terasa berat dan menyentak dadanya. Ia hampir sampai ke tempat tujuan. Beberapa saat sebelum pergi, Rose menyempatkan diri memakai dry shampoo karena rambutnya terlihat sangat lepek, touch up, dan mengganti tas pink besarnya dengan sling bag berwarna merah yang kebetulan ia simpan di lokernya beberapa hari lalu. Rose tidak ingat kenapa ia meninggalkan salah satu tas termahalnya di loker seperti itu.

June sangat berisik karena terus-terusan mengingatkan Rose untuk memakai mantel. Katanya, meskipun sudah memasuki bulan Maret, udara masih cukup dingin dan ia tak mau melihat Rose sakit kemudian datang bekerja hanya untuk menebar penyakit. Alhasil Rose mengenakan mantel yang—lagi-lagi—ia tinggalkan di lokernya. Mantelnya berwarna coklat dan tidak terlalu tebal, sehingga terlihat sangat cocok dipadukan dengan crop tee rajut putih dan celana kulot coklat yang ia kenakan hari itu. Banyak orang mengira kalau dokter itu harus bersikap sangat konservatif. Para dokter biasanya memiliki penampilan 'biasa' dan tidak nyeleneh, tapi Rose tidak mau dan tidak suka hidup dalam kungkungan seperti itu. Atas dasar itu, Rose mengubah warna rambutnya menjadi blonde tepat sehari setelah sumpah dokternya. Rose juga kerap tampil modis layaknya selebriti dalam berita. Prinsip Rose adalah sebisa mungkin tampil modis tanpa membuat isi dompet teriris. Ia tetap terlihat luar biasa meskipun dengan modal barang-barang merek drugstore.

Awalnya memang agak sulit karena orang-orang di bidang ini tidak bisa serta merta terbiasa dengan gaya Rose yang nyeleneh. Tapi seiring berjalannya waktu, kenyelenehan Rose justru menjadi identitas baik yang melekat pada dirinya. Selama tidak mengganggu profesionalitasnya sebagai dokter, maka hal itu sebenernya sah-sah saja buay dilakukan. Sejumlah pasien bahkan suka melihat Rose dengan rambut blondenya yang menawan.

Beranjak dari penampilan Rose yang menawan, ia masih terengah-engah setelah berlari dari halte bus menuju hotel yang jaraknya hampir 1 km. Kakinya yang masih kebas ia seret menuju resepsionis yang langsung mengantarnya menuju bar hotel tepat setelah Rose menyebut nama Choi Jaehyun. Ia beberapa kali mendengar nama hotel yang didatanginya saat itu, tapi ini jadi kali pertama Rose datang ke hotel semewah itu. Sebelumnya ia tak pernah punya alasan untuk datang ke hotel mewah itu karena memang tak ada uang dan tak ada manfaatnya sama sekali. Menghamburkan uang selain pakai perhitungan juga harus pakai perasaan.

Rose membungkuk dengan hormat saat pria di meja resepsionis itu telah mengantarkannya ke bar yang dimaksud. Gila. Rose sempat ragu untuk melangkahkan kakinya lebih jauh lagi. Tempat ini terasa sangat asing dan seolah tidak diperuntukkan untuk orang kecil sepertinya. Tangannya secara spontan bergerak memegangi tali tasnya. Sambil menguatkan diri, Rose memaksa dirinya untuk masuk lebih jauh dan menemui Jaehyun.

Sedikit perasaan cemas menghampiri benaknya karena ia datang jauh melewati waktu yang sudah ditentukan. Awalnya ia setuju untuk datang pukul 7 sore, kemudian bergeser menjadi pukul 8 malam karena ada banyak pasien yang datang secara tidak terduga dan sangat membutuhkan penanganan medis. Karena tidak bisa mengendalikan waktu dan kapan pasien harus berhenti berdatangan, Rose kembali molor dan baru bisa berangkat pada pukul 8.45 malam setelah siap-siap kurang dari delapan menit. Ia kembali mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul 9 lewat 20. Gadis Itu berjanji untuk tidak mengumpat meskipun nanti Jaehyun marah-marah di depan mukanya.

Rosé ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang