Chapter Forty

3.7K 466 209
                                    

Aloha~
Rosé kembali dengan cerita yang entah kenapa belakangan mendadak sad gini. Udah di plot soalnya :'))

Chapter ini enggak panjang kayak chapter-chapter sebelumnya. Jadi gapapa kalau enggak nyiapin cemilan juga. Hehehe... Selamat membaca~



“But in the end one needs more courage to live than to kill himself.”
—Albert Camus—

Sunday, February 2nd
Satu keahlian lain yang Rose kuasai sejak perpisahannya dengan Jaehyun dan kematian Jessica yang terjadi pada bulan yang sama: bertahan hidup. Kendati kehilangan sangat banyak hal dalam hidupnya, Rose menjadi sangat kuat dan pikiran untuk mengakhiri hidup sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya. Menguasai keahlian semacam ini tidak mudah—tentu saja. Bahkan jauh lebih sulit daripada menjadi dokter di usia 21 tahun. Ia hanya berusaha percaya kalau hal baik kadang tidak bisa ditebus dengan harga yang murah.

Ia tidak merasa baik-baik saja. Tapi menunjukkan semua perasaan tersiksa dan sedihnya pada orang lain mungkin tidak dapat memberikan solusi apa-apa. Meski demikian, Rose yang tengah berusaha menyembuhkan diri tetap memberikan kepercayaan pada orang-orang terdekatnya untuk masuk dan membantunya bangkit dari keterpurukan. Dan itu perlahan membuahkan hasil.

Rose berhenti bekerja gila-gilaan karena akhir-akhir ini dia merasa lebih cepat lelah dan punggungnya juga sering sakit. Tidak mungkin alasannya karena aku menua dengan cepat, kan? Rose selalu memikirkan itu dalam benaknya. Mungkin tubuh dan jiwanya membutuhkan sedikit liburan. Bambam dan Lisa tidak akan keberatan untuk membantu kalau saja Rose mau bicara. Tapi perempuan itu memang sangat perasa—apalagi belakangan ini. Moodnya sering berubah-ubah dan itu kadang membuatnya sedikit stres.

“Jam praktek hari ini selesai pukul empat sore, kan?” tanya Jungkook yang tiba-tiba saja datang membawakan kue cokelat karena dua jam sebelumnya Rose sempat bilang kalau dia menginginkan kue cokelat lewat grup chat. Tanpa bermaksud buruk, tapi Jungkook dan Bambam seperti penjaga yang sangat setia.

“Hm. Eunwoo mengajakku makan malam di luar. Kalian juga ikut kan?” tanya Rose seraya memandang Bambam dan Jungkook bergantian. Mereka bertiga sedang duduk di kantin SMC yang luas dan nyaman. June dan Lisa sedang membeli beberapa cemilan—mungkin mereka bakal tiba secepatnya.

“Aku baru bisa pulang jam delapan malam. Ayahku yang ‘baik’ menyuruh profesor di stase bedah untuk menambah jam koasku karena aku sering membolos. Huh, dia benar-benar tidak bisa melihat anaknya bersenang-senang dan bahagia.” Bambam melengguh, menenggelamkan wajahnya di atas meja. Sebenarnya, dia bekerja lebih keras akhir-akhir ini. Ia mulai menemukan passion sebagai dokter yang selama ini absen dalam hidupnya. Luar biasa bagaimana Bambam yang awalnya acuh tak acuh berubah menjadi calon dokter yang sangat tulus dan perhatian. Bambam masih belum bisa sebaik June—tapi setidaknya dia berusaha.

“Maaf, kurasa aku juga tidak bisa ikut,” sahut Jungkook setelah meminum jus apel tanpa gulanya. Ia sedang ingin makan buah—tapi malas mengunyah. Dasar pemalas beruntung. Napas saja ia bisa kaya. “Aku harus merekam konten baru.”

Rosé ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang