PART 6

12.8K 1.2K 38
                                    

"Diam atau Mei cium?"

Kai yang tadinya terisak, kini terdiam mendengar kalimat Mei.

Sungguh! Sebenarnya Mei tidak punya nyali untuk mengeluarkan kalimat itu. Tapi, toh sudah terlanjur, Kai juga langsung diam. Bodo amat jika ia kelihatan bego di mata Kai.

"Udah Pak, nangisnya secukupnya aja, jangan kebanyakan. Air mata Bapak itu kan nggak bisa jadi mutiara," ujar Mei yang pundaknya terasa pegal.

"Huaaa ... tap ... ta-pi ... hiks ... saya baru diputusin pa-car saya!" bohong! Kai sebenarnya tidak menangis karna itu, ia menangis karna teringat ibunya.

"Tapi Pak, pundak Mei pegel," ujar Mei jujur.

"Dasar! Kamu perusak suasana!" Kai menjauh dari Mei, kembali duduk normal. Matanya masih terlihat sembap.

"Dasar! Pak Kai cengeng!" balas Mei tak mau kalah.

Mendengar kalimat Mei, Kai kembali menitikkan air mata.

"Eh jangan nangis lagi Pak, nanti Mei beliin es krim mau nggak?"

Kai menggeleng.

Mei menghembuskan napas jengah, baru juga putus sama pacar, entar kalo tiba-tiba putus sama nyawa gimana ceritanya? Batin mei dalam hati.

"Udah Pak, ikut Mei sekarang." Mei menarik tangan Kai.

Dahi Kai mengernyit, "ini kamu mau bawa saya ke mana?"

"Udah Pak, mending Pak Kai diem aja deh. Entar Pak Kai pasti suka."

Mei menyeret tangan Kai. Kai yang pasrah mengikuti Mei dengan langkah gontai. Bahkan Kai tidak tahu kenapa ia harus mengikuti langkah gadis aneh ini. Namun, sekali lagi hatinya yakin, biarkan saja Mei membawanya.

Perlahan langkah keduanya sampai di sebuah bangunan yang sungguh sangat familiar, itu kantor perusahaan mereka. Mei berjalan riang, sesekali gadis itu meloncati genangan air sisa hujan barusan. Sementara Kai, pria itu berjalan lemah mengikuti langkah gadis aneh di depannya.

Memasuki gedung kantor, menyisiri koridornya, lalu tak berselang lama kaki kecil Mei menyambangi anak tangga. Meloncati dua sekaligus anak tangga, sambil sesekali bergumam riang entah menyanyikan lagu apa.

"Ini mau ke mana?"

Mei mengabaikan pertanyaan Kai. Terus menaiki anak tangga, hingga tanpa sengaja kaki riang itu menginjak tali sepatunya sendiri.

Mei tak seimbang, perlahan tubuhnya terhuyung ke belakang. Tapi, beruntungnya kali ini Mei tidak jatuh. Tidak! Gadis itu tidak terjatuh seperti kejadian sebelumnya. Ada Kai di belakangnya yang refleks menangkap punggung mungil itu.

Sontak kedua netra itu bertemu. Saling bersitatap sejenak.

Satu detik ...

Dua detik ...

Tiga detik ...

Tersadar, Mei segera menjauh dari Kai.

"Aduh, Pak Kai modus ya?" gumam Mei kesal, lantas menaiki anak tangga cepat-cepat.

"Hei tungguin saya," teriak Kai yang langkahnya sudah tertinggal jauh dari Mei.

Sampai di depan pintu darurat. Mei lantas membuka pintunya. Disinilah tempatnya, rofftop gedung kantor. Tempat di mana ia bisa melihat kota Bogor. Tempat ia bisa merasakan semilir angin. Tempat yang menyenangkan.

Kai yang barusan meyusul mengernyitkan dahi. Jadi kesini gadis aneh itu membawanya. Apa bagusnya tempat ini?

Mei melirik Kai, tersenyum simpul saat pria itu terlihat mengernyitkan dahi.

"Pak Kai, lihat ke sana." Mei menunjuk sebuah pelangi yang tengah bertengger anggun di angkasa.

Kai melihatnya.

"Lihat juga ke sana Pak Kai." Mei menujuk senja yang kini membungkus kota.

Kai tercenung.

"Mana yang Pak Kai lebih suka pelangi atau senja?"

Sekejap Kai memandang keduanya, lantas menggeleng, tidak bisa menentukan mana yang lebih ia suka.

"Lihat pelangi, dia indah namun cuma muncul sesaat."

"Lihat senja, dia indah namun akan hilang pada akhirnya."

Kai menyimak setiap ucapan Mei.

"Pak, kadang kita perlu kehilangan agar tau makna menjaga, perlu mengerti jika segala sesuatu itu fana, perlu menerima agar dapat melepaskan kehilangan." Mei tersenyum penuh makna.

"Pacar, teman, orang tua, orang-orang terdekat, akan ada masanya mereka semua pergi. Kita cuma menunggu waktu, kita nggak bisa mencegah mereka semua pergi," sambung Mei yang dibalas dengan senyum lebar oleh pria di sebelahnya.

Semilir angin datang, jatuh membuat rambut Kai dan Mei berantakan. Kai melirik gadis di sebelahnya. "Terima kasih telah mengajarkan saya makna sebuah kehilangan," bisik Kai.

Senja perlahan redup, Berganti malam yang sebentar lagi menyelimuti kota. Kai tersenyum lebar, menatap Mei yang bergumam riang di sebelahnya. Gadis aneh yang unik, batin Kai.

*****

To be continued ...

Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang