Sendirian itu tidak menyenangkan. Viona mengeluh tertahan. Menundukkan wajah, tak sadar bulir-bulir air mata mulai merembes di pipinya.
Pagi ini, sebelum berangkat kerja, Viona menyempatkan menjenguk ibunya yang masih terbaring koma di ranjang rumah sakit. Tidak ada yang menunggui ibunya di sana. Iya, memangnya siapa yang mau menungguinya? Ayah sibuk dengan masalah perusahaanya yang bangkrut. Sementara ia hanya anak tunggal, tidak punya kakak ataupun adik.
Siapa lagi yang ia punya? Pacar? Persetan dengan pacar. Radit, pacarnya mendadak menghilang begitu saja saat mendengar perusahaan ayahnya bangkrut.
Ia harus bekerja, setidaknya demi kesembuhan ibunya. Viona mengelap bulir-bulir air matanya. Mencoba tersenyum kuat, ia harus bekerja.
Viona memandang ibunya yang terbaring pucat di atas dipan itu. Muka ibunya keliatan makin tirus. Viona menatap miris, untuk terakhir kalinya sebelum berangkat kerja Viona menyempatkan diri untuk mencium kedua pipi ibunya. Lalu setelahnya segera pergi dari ruangan itu.
Keluar dari ruangan tempat ibunya dirawat, Viona justru berpapasan dengan seorang suster.
"Apa anda keluarganya Bu Julia?" tanya suster tersebut saat berpapasan dengan Viona.
Viona mengangguk.
"Masalah administrasinya harus segera diselesaikan ya? Dokter akan mengambil tindakan lanjutan jika urusan administrasi selesai," jelas suster itu.
"O-oke suster," kata Viona setengah terbata.
"Kalau begitu saya pamit dulu," ucap sang suster.
Viona menatap punggung suster berseragam putih yang perlahan menghilang dari koridor. Mendadak saja senyum kuatnya hilang. Viona menatap kosong. Ia harus bagaimana lagi?
Apa yang harus ia lakukan? Ia tidak punya uang sepeser pun untuk menyelesaikan masalah administrasi itu. Viona berjalan setengah tertatih. Di sisi lain, ia ingin sekali ibunya cepat sembuh. Namun, di sisi lainnya pula ia tidak punya uang untuk melunasi pengobatan ibunya.
Suara dering telfon kemudian terdengar dari saku kemejanya. Viona mengangkat panggilan telfon itu, tanpa melihat nama sang penelepon.
"Halo," sapa Viona.
[ Viona, Papa kamu ditangkap polisi.]
Diam beberapa saat, pandangan Viona jadi kosong seketika saat mendengar kabar buruk itu. Setelah ibunya mengalami koma, lantas sekarang kenapa ayahnya harus ditangkap polisi? Atas dasar apa? Kenapa takdir begitu jahat?
"Papa sekarang di mana?" tanya Viona dengan suara bergetar pada sang penelepon.
[Kantor polisi, lagi di interogasi]
Tuttt ...
Sambungan telfon mati. Viona tidak lagi bisa menahannya. Perempuan itu terduduk lemas di lantai rumah sakit. Siapa yang bisa menolongnya sekarang?
Lututnya mendadak lemas. Ia tidak kuat, bagaimana ia bisa melewati semua ini? Terlebih, ia tidak punya siapa-siapa lagi.
Ditinggalkan sendirian ... sesakit ini.
Hingga Viona mengingat satu nama itu
KAI!
*****
Hari ini Mei mengantarkan Erik ke bandara. Perempuan itu meski tidak disuruh, tetap kukuh membantu Erik membawakan koper.
"Udah sini, biar Papa aja yang bawa kopernya," ujar Erik, pria itu melihat jika menantunya begitu kesusahan membawakan koper miliknya.
"Nggak usah Pa, Mei kuat kok, Mei pasti bisa!" tolak Mei, tetap kukuh menyeret koper Erik meski sedikit kesusahan.
Kai geleng-geleng kepala melihatnya. Jika saja Kai ikut mengantarkan, sudah pasti Mei akan dilarang membawakan koper.
"Udah siniin, udah deket kok," kata Erik mengingatkan.
Mei segera berhenti, menyerahkan koper itu kepada Erik.
"Papa jaga kesehatan ya! Jangan lupa makan tepat waktu!" peringat Mei.
"Siap menantu!" Erik mengacak puncak kepala Mei gemas.
"Eh salim dulu Pa." Mei segera meraih tangan Erik, menciumnya dahulu sebelum pria itu benar-benar pergi.
Setelah mencium tangan Erik, Mei memberi senyum manisnya ke arah pria itu. Erik juga balas tersenyum, lalu melambaikan tangannya ke arah Mei.
Erik berjalan meninggalkan Mei. Mei masih menatapnya. Hingga seperkian detik kemudian, ayah menantunya itu mendadak membalikkan badan.
"Kamu juga jangan suka berantem sama Kai ya?!" teriak Erik dari kejauhan.
Seketika saja, Mei yang mendengarnya langsung meringis malu.
Pulang dari bandara, Mei tidak langsung pulang. Perempuan itu terlebih dahulu mengunjungi kantor Kai. Benar, Kai tidak dapat mengantarkan Erik ke bandara karna pagi ini harus berada di kantor. Ada rapat dengan klien katanya.
Mei berniat menemui Kai sekarang, membawakan pria itu bekal makan siang. Ya, siapa tau saja kan suaminya belum makan.
Taksi yang dinaiki Mei segera saja mengarah ke kantor Kai. Sekitar lima belas menit, Mei akhirnya sampai di kantor itu.
Mei masuk ke dalamnya, beberapa staf kantor tampak menyapanya.
Mei sebenarnya sedikit malu, malu ingin bertemu dengan suaminya. Memang sih, semalam ia sudah baikan. Tapi kan ... ah tetap saja rasanya sedikit malu.
Kaki Mei menjejak koridor kantor, perempuan itu berjalan seperti biasanya, berjalan dengan riang.
Hingga kakinya perlahan berhenti ...
Tubuhnya mendadak jadi kaku, pandangannya kosong. Kotak bekal yang ia bawa terjatuh begitu saja di lantai.
Entah sengaja atau tidak, tapi kali ini ia melihat sesuatu yang membuat hatinya berderit.
Ia baru saja melihat Kai dan Viona tengah berpelukan. Erat sekali.
*****
Tbc ...
Ayolah, di part kali ini meski yang baca dikit gue cuma minta satu hal. Komen ya.
Koment bentaran doang, ngetik satu dua kata trus kirim.
Cerita gue emang gk sebagus cerita org lain, tp seenggaknya sampe sekarang meski jelek gue tetap semnagat lanjut ni cerita.
Ayolah, secuil kata yang kalian kirim tuh, jujur deh, udah bikin si penulis semangat banget.
Apalagi penulis pemula kayak gue.
Yang mau kasih krisan silahkan, gue trima kok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)
General FictionKALO LU BAPER GUA NGGAK NANGGUNG! Judul : Dear, Bapak Muka Datar Genre : romance/slice of life Status : TAMAT Meski Kai disebut siluman es batu, tapi jangan salah, hatinya Kai itu kadang sehangat kompor gas. Disuruh ngebunuh nyamuk aja nggak tegaan...