Hamparan pohon pinus sejauh mata memandang. Batangnya yang tinggi menjulang berpadu dengan hijaunya tumbuhan. Sinar matahari perlahan menerabas pucuk kanopi hutan pinus yang rimbun nan lebat. Suara-suara alam pun berdatangan, memainkan suasana damai khas Gunung Pancar.
Sejuk! Udara sejuk Gunung Pancar mulai menguar. Bersamaan dengan itu aroma tanah basah, pertanda habis terkena guyuran hujan juga perlahan merasuki indra penciuman.
Di antara jejeran pohon pinus itu tampak karyawan maupun cleaning servis milik Sean Organizer (perusahaan yang membantu merencanakan dan mengorganisir resepsi pernikahan) sedang sibuk menata berbagai barang penunjang resepsi.
Baik meja dan kursi ditata sedemikian rupa, diberi lilin aroma terapi agar mendapat kesan romantis. Pelaminannnya di desain minimalis. Namun, meski minimalis, sedikit dikombinasikan dengan nuansa mewah.
Rangkaian bunga warna putih bertengger anggun di sisi pelaminan. Tak hanya bunga, ranting dan alang-alang kering juga disusun rapi, menghiasi pelaminan agar terlihat seelok mungkin.
"Mei, kamu nggak istirahat dulu? Istirahat dulu yuk, kan kerjaannya tinggal dikit lagi," ajak Mbak Asti.
Mei yang kini sedang menghias pelaminan melirik Mbak Asti. Baru saja gadis itu ingin mengiyakan ajakan Mbak Asti. Namun, pria menyebalkan bermuka datar itu sudah duluan menjawab.
"Nggak! Dia harus ngedekor pelaminan dulu," tegas Kai yang tiba-tiba muncul dari balik pelaminan.
"Eh kenapa Pak Kai? Ini kan kerjaannya tinggal dikit lagi," ujar Mbak Asti pula.
"Saya bilang nggak, ya enggaklah!" seru Kai ngotot.
Mei mendengus, punya masalah apa pria ini hingga ia tidak diijinkan untuk istirahat?
"Eh Pak Kai, emangnya saya harus ngerjain apa lagi sih? Kerjaan saya kan udah kelar?" tanya Mei tak habis pikir.
"Itu liat." Kai menunjuk ke atas. "Keliatannya rangkaian bunga yang di atas pelaminan kurang banyak deh. Gimana sih kamu? Asal kamu tau bagian pelaminan itu yang terpenting. Harus di perfect-in biar klien kita puas!"
Mei menghela napas. "Ya udah Mbak Asti duluan aja deh istirahatnya, Mei nanti aja, abis ngerjain yang ini," kata Mei.
"Beneran nih?" tanya Mbak Asti.
Mei mengangguk. "Iya, nggak papa Mbak. Duluan aja."
"Ya udah Mbak duluan ya."
Mei mengangguk, menatap punggung Mbak Asti yang perlahan pergi meninggalkan dirinya.
"Udah cepet kerjain, jangan kebanyakan bengong kamu!" titah Kai pada Mei.
"Iya Pak! Sabar dikit kenapa sih?!"
Meski sedikit kesal Mei pada akhirnya sibuk menambahkan bunga putih ke atas pelaminan.
Kai tertawa kecil, melihat muka kesal Mei.
*****
Persiapan resepsi pernikahan telah selesai, rangakain bunga telah tersususun elok, meja dan kursi ditata sedemikian rupa. Pelaminannya dihias minimalis namun tetap menempatkan kesan mewah.
Bagian catering juga, semua telah disediakan. Mulai dari mie ayam baso apollo, kue ape, roti unyil, dan berbagai kue tradisional lainnya.
Hanya tinggal menunggu kedatangan calon pengantin beserta tamu undangan. Mulanya semua berjalan hampir lancar, hingga di menit-menit terakhir sebelum kedua mempelai pernikahan datang, Erik mendadak menghampiri Kai dengan muka menahan marah.
"Kai! Sini kamu!" seru Erik yang kini tengah berjalan cepat ke arah Kai.
Kai yang mendengar seruan ayahnya terperanjat, padahal ia baru saja ingin menikmati mie ayam baso apollo bersama Mei. Ya, tadi Kai mengajak Mei. Kasihan, karna gadis itu belum makan sejak tadi subuh, sejak berangkat ke Gunung Pancar.
"Kenapa Pa?" tanya Kai.
"Kamu ya udah dibilangin masih juga suka ceroboh!" sungut Erik kesal.
"Kenapa sih Pa?"
Erik mendengus. "KAMU DENGER PAPA NGGAK SIH, TADI MALAM KAN PAPA NYURUH KAMU CARI PEMAIN MUSIK ORKESTRA BUAT HIBURAN TAMU. SEKARANG MANA? MANA PEMAIN MUSIKNYA?"
Kai terlonjak kaget saat mendengar omelan Papanya. Mei yang duduk bersebelahan dengan Kai menepuk dahi, pasti kecerobohan Kai lagi.
Kai menunduk. "Maaf Pa, semalam aku ketiduran. Nggak sempat nyari pemain musik orkestra."
"JANGAN CUMAN MAAF! KAMU CARI JALAN KELUAR KEK!"
Kai menunduk dalam, ia benar-benar lupa. Semalam ia jatuh tertidur sebelum sempat mencari sewaan pemain musik orkestra. Lagian, mau dicari sekarang pun jatuhnya pasti akan terlambat. Bukankah sepuluh menit lagi pengantin dan tamu undangannya datang?
Drttt ...
Ponsel Erik bergetar, Erik lantas mengangkatnya. "Halo, apa? Pianonya udah datang? Oo oke, masuk aja ke Gunung Pancar. Saya bentar lagi ke sana, nunjukin lokasi resepsinya."
Erik menghela napas gusar, lantas meninggalkan Kai yang menunduk penuh sesal.
Mei yang melihatnya merasa kasihan. "Pak, jangan sedih dong! Gimana mau jadi CEO kalo sedih mulu."
Kai bergeming, pandangannya datar.
"Pak, gimana kalo Mei aja yang jadi pemain orkestranya?"
Kai langsung melirik Mei. "Serius?"
Mei mengangguk, "Mei kebetulan bawa biola."
Muka Kai perlahan cerah. Pria itu menatap Mei penuh harapan.
"Saya sebenarnya juga bisa sih, dikit-dikit main piano."
"Fix Pak, nggak usah nyewa pemain orkestra lagi. Kita berdua aja yang jadi pemain orkestranya."
Kai tertawa, padahal baru saja ia frustasi akan kekesalan ayahnya. Namun, gadis ini dengan mudahnya memberikan ide cemerlang yang membuat keadaaan lebih baik. Benar-benar gadis kesaya-- eh gadis aneh maksud Kai.
*****
Erik nampak gusar, saat-saat seperti ini ia mempertaruhkan nama baik perusahaan wedding nya. Ah, ini semua karna Kai. Anak ceroboh pembawa masalah itu ... huh.
Di tengah kegusarannya, rombongan mempelai pernikahan itu akhirnya datang. Pakaian kedua mempelai yang sempat Erik rekomendasikan itu akhirnya terpakai juga.
Calon pengantin beserta tamu undangan mulai berdatangan. Mempelai pria dan wanitanya terlihat bagai raja dan ratu. Pakaian mereka serasi, tuksedo putih untuk yang pria dan gaun panjang berenda mewah untuk yang wanita. Para tamu serempak menggunakan pakaian dengan warna sama, putih.
Erik pasrah, padahal yang menjadi bagian menariknya adalah hiburan orkestra. Piano yang tadinya ia sewa pastilah sia-sia. Pasti teronggok bisu tanpa ada seorang pun yang memainkan.
Namun, kepasrahan itu segera menguap. Saat larik-larik nada merdu tergores dari alunan biola, beserta polesan tuts piano yang mengambang indah di udara.
Erik mengernyit, siapa yang memainkan musik?
Pertanyaan itu pun terjawab, kala kakinya mencari asal suara alunan indah itu.
Tertampak, Mei dan Kai. Mei tengah memainkan biola, dan Kai tengah memainkan piano. Kombinasi keduanya saling menyatu, mengiringi kedua mempelai saat akan berjalan menuju pelaminan.
Di sisi kanan dan kiri beberapa karyawanan perusahaannya nampak melemparkan kelopak mawar putih ke arah kedua mempelai.
Erik bernapas lega. Semua nampak berjalan lancar, instrumen lagu 'A Thousand Years' mengalun merdu. Kai dapat mengimbangi permainan biola Mei.
Erik menatap Kai dan Mei. "Kalian berdua serasi," batinnya dalam hati.
*****
To be continued ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)
Fiksi UmumKALO LU BAPER GUA NGGAK NANGGUNG! Judul : Dear, Bapak Muka Datar Genre : romance/slice of life Status : TAMAT Meski Kai disebut siluman es batu, tapi jangan salah, hatinya Kai itu kadang sehangat kompor gas. Disuruh ngebunuh nyamuk aja nggak tegaan...