Kai pulang ke rumah tengah malam. Dengan pakaian kerja yang cukup berantakan itu, ia melangkah cekatan menuju kamar. Tidak, sebenarnya sebelum menuju kamar, Kai berpapasan dengan istrinya yang tengah menunggu dengan muka masam.
Benar, Kai tau jika dirinya salah. Tapi masalahnya kan ini situasi genting.
Tepat di ruang tamu, Kai memandang istrinya yang berdiri tegak dengan kedua tangan yang terlipat di dada. Muka istrinya tertekuk sebal, Kai menghela napasnya, malam ini rencana ke bioskop itu gagal karna dirinya. Benar, Kai sadar jika ia tak pernah menepati janjinya.
"S-sayang?" Kai terbata memanggil istrinya yang menatap sebal itu.
"Jangan bilang alasan kamu nggak datang itu gara-gara Viona!" cibir Mei dengan tatapan sinisnya.
Skakmat!
Yang dikatakan Mei itu benar. Jadi ia harus apa? Mencoba untuk mengelak?
"Maaf," ucap Kai pelan.
Mei mengernyitkan dahi. "Jadi bener, karna sekretaris kamu?"
"Maaf ya," ucap Kai sekali lagi.
Itu artinya benar karna Viona. Ya, Mei bisa apa. Seharusnya ia tak usah berharap lebih. Mei memandang Kai dengan tatapan sendunya.
"Oke, maaf ya kalau aku selalu bikin kamu terbebani," lirih Mei merasa bersalah.
Mei paham, kesibukan suaminya untuk bekerja jauh lebih penting. Tak seharusnya ia marah karna Kai tidak menepati janjinya. Harusnya ia mengalah.
Tanpa menunggu jawaban dari Kai, Mei lekas saja balik kanan, Mei pergi dari hadapan Kai. Pergi menuju kamar.
"Eh, tunggu!"
Mei tak lagi menghiraukan Kai, perempuan itu sudah jauh menaiki tangga, tanpa mau mendengar penjelasan Kai terlebih dahulu.
"T-tapi tadi aku nggak nepatin janji karna Mama Viona meninggal," lontar Kai jujur.
Mendengarnya Mei segera berbalik badan menatap Kai.
"Kamu serius?" tanya Mei, dan segera saja pertanyaan itu dibalas dengan anggukan kepala oleh Kai.
"Aku harus kerumah Viona sekarang," ucap Kai lagi.
Mei menatap suaminya serius. "Aku ikut!"
*****
Pagi ini muram sekali, tak ada secerca semangat di wajah Viona. Dengan air mata yang terus berderai itu Viona menatap gundukan tanah kuburan tempat peristirahatan terakhir ibunya.
Bau tanah khas pemakaman bercampur dengan air bunga masih menghambur di indra penciumannya. Tanah merah pemakaman beserta nisan bernamakan ibunya baru saja hadir menjadi penghuni baru pemakaman umum itu.
Rombongan orang-orang yang mengiringi prosesi pemakaman sudah pulang sejak tadi. Menyisakan Viona, Kai serta juga Mei yang ikut serta menghadiri prosesi pemakaman tersebut.
"Mama ... ke-kenapa Mama pergi ... hiks ..." parau Viona dengan suara terisak.
Mei yang berdiri di sebelah Viona membantu mengelus pundak Viona lembut.
"Mei ikut sedih dengan kepergian Mamanya Mbak Viona. Mei tahu itu menyakitkan, rasanya kehilangan banget ... nggak papa kalo Mbak Viona mau nangis, nangis aja itu wajar kok. Tapi ingat akan selalu ada orang yang peduli sama Mbak Viona," lirih Mei menyemangati.
Mendengarnya Viona makin terisak, air matanya mengucur lebih deras. Hal itu membuat Mei jadi bersalah. Tanpa persetujuan lagi Mei mendekap bahu Viona erat. Mengelus pundak rapuh wanita itu dengan lembut seakan-akan Viona adalah saudaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)
General FictionKALO LU BAPER GUA NGGAK NANGGUNG! Judul : Dear, Bapak Muka Datar Genre : romance/slice of life Status : TAMAT Meski Kai disebut siluman es batu, tapi jangan salah, hatinya Kai itu kadang sehangat kompor gas. Disuruh ngebunuh nyamuk aja nggak tegaan...