PART 38

5.3K 369 3
                                    

Tidak terasa ya, sudah satu minggu saja Mei menjadi guru biola. Ya, meski dia tidak punya lisensi resmi sebagai guru biola, tapi kalau ia bisa apa salahnya kan?

Mengajari anak kecil itu menyenangkan. Mei menyukainya, teramat suka malah. Seperti mengajari Mily, tidak perlu terlalu berambisi besar agar gadis kecil itu mengerti segala seluk-beluk biola. Cukup mengajarinya perlahan dengan segala rasa semangat.

Mei tersenyum melihat penampilan Mily. Meski gadis kecil itu baru bisa menggesek  biola naik turun, memainkan nada rendah dan nada tinggi secara patah-patah.

Menghargai hal sekecil itu adalah salah satu bentuk rasa bahagia yang ia rasakan. Mei mengulum senyum manis ke arah anak muridnya, membuat Marcel--ayah Mily yang memperhatikan sejak tadi terpana dengan senyum itu.

"Bagus Mily, kamu keren!" puji Mei.

"Makasih Kak," balas Mily sembari tersenyum bangga.

"Papa, gimana penampilan aku?" tanya Mily pada ayahnya yang juga sedari tadi menemaninya berlatih.

"Papa?" panggil gadis kecil itu sekali lagi.

Marcel yang masih menatap Mei mendadak mengalihkan pandangnya cepat-cepat. Pria itu segera melihat ke arah anaknya. Tidak mau tertangkap basah karna memandangi wajah Mei.

"I-ya bagus banget kamu!" kata Marcel sedikit terbata. Padahal sebenarnya pria itu kurang memperhatikan penampilan Mily.

Mendapati jawaban seperti itu dengan lugunya Mily bersorak riang. Bangga dengan penampilannya barusan.

"Mily, Kakak pulang dulu ya? Kayaknya jadwal ngajar biolanya udah abis deh." Mily melirik arloji. Melihat jika jadwal mengajarnya sudah selesai.

"Yahh, padahal aku masih mau latihan main biola Kak," keluh Mily, mulutnya mengerucut.

"Kita lanjutin besok ya," pujuk Mei.

"Yaudah oke deh," final Mily.

"Yaudah kalo gitu Kakak pulang ya? Sampai jumpa besok!"

"Iya,  dadah Kak Mei," ujar Mily melambaikan tangannya kepada Mei.

Mei berpamitan dengan ayah Mily, Marcel mengangguk mengantarkan Mei sampai ke depan pintu.

"Saya pamit ya Pak," ucap Mei.

"Kamu pulang sendirian? Nggak dijemput?"

"Ng-gak saya naik taksi aja."

"Mau saya anter?" tawar Marcel.

"Nggak usah, nanti ngerepotin," tolak Mei halus.

"Nggak ngerepotin kok. Lagian kalo diliat-liat malam ini kayaknya mau hujan deh." Marcel menunjuk langit hitam yang makin kelam. Sementara angin mulai berderu kencang mengibaskan rambut Mei dan Marcel.

"Udah saya antar aja ya, hujan-hujan begini mana ada taksi yang lewat."

Mei melirik Marcel. Baru saja ia ingin menolak ajakan itu tiba-tiba saja ...

CTAR!

"Arghh ..."

Suara petir barusan itu membuat Mei terkejut setengah mati. Dan tanpa sengaja, hal itu membuat Mei reflek saja,  mencengkram lengan Marcel erat.

Sejenak, keduanya masih sama-sama diam. Sampai akhirnya Mei tersadar. Perempuan itu segera langsung melepaskan tangan Marcel cepat-cepat.

"Maaf ... maaf saya refleks ... maaf." Mei memejamkan mata, ia terlalu kaget dengan suara petir itu membuatnya jadi refleks mencengkram tangan Marcel.

Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang