PART 28

6.8K 571 7
                                    

"Kai, Papa pinjem jas sama dasi kamu ya?"

Baru saja terlelap. Suara Papa yang baru saja membuka pintu kamarnya itu membuat Kai kembali terbangun. Seperti biasa, papanya itu pasti lagi-lagi akan mengobrak-abrik lemari pakaiannya.

Kai menghela napasnya. "Pa, kenapa sih Papa itu hobi banget minjem pakaian aku?"

"Kenapa? Emang nggak boleh?" balas Erik.

"Ya boleh, tapi aku suka bingung. Sebenarnya pakaian yang ada di lemari Papa itu buat apa sih?"

"Pajangan," jawab Erik pendek.

Kai nyengir mendengar jawaban ajaib ayahnya.

"Eh, Pa aku minta maaf ya?"

Sukses saja kalimat Kai itu membuat Erik mendadak menghentikan kegiatannya.

"Kenapa minta maaf?" tanya Erik bingung.

"Maaf karna gagal jadi CEO," balas Kai.

Erik menatap anak semata wayangnya. "Sebenarnya kamu akan tetap jadi CEO meski kamu gagal."

Kai terperangah mendengar jawaban ayahnya.

"Tapi ada syaratnya," lanjut Erik.

"Syarat lagi? Emang syaratnya apa sih, Pa?"

Erik melipat tangannya ke dada. "Sebenarnya Papa iri sama orang tua yang umurnya sepantaran dengan Papa. Lihat masa tuanya yang bahagia, istirahat santai, nimang cucu."

"Langsung aja Pa, syaratnya apa sih?"

"Syaratnya kamu harus menikah dan punya anak. Baru setelah itu kamu boleh jadi CEO," jelas Erik.

Kai mengembangkan senyumnya. Apa ia harus menikah secepat itu? Dengan Mei? Aishh pipi Kai memanas.

"Papa lihat teman-teman Papa udah pada nimang cucu. Lah ini, Papa sendiri bahkan punya calon menantu aja belum?" sungut Erik.

Kai mengembangkan senyumnya. "Tenang Pa, Kai udah punya calonnya kok."

*****

Seperti biasa, hari-hari Mei selalu di isi dengan bermain biola. Lebih tepatnya mengamen. Ya, meski hari ini sedikit terik, Mei tetap kukuh mengamen di taman kota.

Cukup lama Mei mengamen, hingga gadis itu kelelahan sendiri dan memutuskan untuk istirahat sebentar. Mei menyeka dahinya yang berkeringat, duduk di salah satu bangku sambil sesekali menghitung uang receh yang baru saja ia dapatkan.

Uang yang Mei dapatkan lumayan, meski tidak sebanyak kemarin. Tak apa, setelah ini ia akan mengamen lebih lama lagi.

Mei tersenyum sambil menatap sekelilingnya. Namun, pandangannya tiba-tiba teralihkan pada seorang anak perempuan yang kini tengah menangis di bawah pohon palem. Tidak ada siapa-siapa di sekeliling anak itu. Sendirian, Mei jadi iba melihatnya. Segera saja Mei menghampiri anak perempuan itu.

"Dik, kenapa menangis?" tanya Mei.

Tak ada jawaban, bocah perempuan itu tetap menangis. Posisinya duduk di bawah rerumputan hijau, sedang memeluk lututnya, dengan kepala yang ditenggelamkan di atas lututnya.

"Orang tua kamu di mana?" tanya Mei kedua kalinya.

Lagi-lagi hanya suara isak tangis dari anak perempuan itu. Tidak ada jawaban.

"Dik jangan nangis, nanti langitnya mendung lho kalo kamu nangis?"

Gadis kecil itu mengangkat kepalanya. Menatap wajah Mei sekilas. Lantas dengan lugunya gadis kecil itu bertanya, "kak, kalo aku nggak nangis emang langitnya cerah?"

Mei mengangguk sambil tersenyum ke arah gadis kecil itu.

"Coba deh, kamu senyum," pinta Mei.

Gadis kecil itu memberikan senyumnya. Mei balas mengelus lembut rambut gadis kecil itu.

"Nama kamu siapa?" tanya Mei.

"Mily," jawab gadis kecil itu.

Mei ber-oh ria. "Kalo nama kakak, Mei." Mei menjulurkan tangannya, mengisyaratkan untuk bersalaman.

Mily menerimanya, mereka berdua berjabat tangan.

"Kakak bisa main biola ya?" tanya Mily saat menyadari kehadiran kotak biola milik Mei yang tergeletak di bawah rerumputan.

"Iya, Kakak bisa. Kamu mau lihat?"

Mily mengangguk antusias. "Mau banget," ujar gadis kecil itu.

Mei mengambil biolanya, lalu memainkan sebuah lagu. Sedetik, Mily dibuat terpesona dengan permainan biola dari Kakak di depannya itu.

"Wah, Kakak keren," puji Mily setelah permainan biola selesai.

"Terima kasih," balas Mei.

"Aku pengen juga main biola kayak Kakak," ucap Mily.

"Kakak bisa kok, ajarin kamu," tawar Mei.

"Serius Kak?"

Mei mengangguk.

Tak berselang lama, seorang wanita dengan wajah cemas datang menghampiri mereka berdua.

"Eh, itu Mamaku Kak," tunjuk Mily pada seorang wanita berbaju biru yang berjalan ke arah mereka.

Mei meliriknya.

"Mily kamu dari mana aja?" ucap Mama Mily dengan muka cemas. Segera saja wanita itu memeluk anaknya erat, hingga tanpa sadar air matanya menetes. Sungguh! Wanita itu teramat takut kehilangan anaknya.

Mily menunduk, "maafin Mily Ma ... Mily salah ... "

Menyadari Mamanya menangis, Mily segera berkata, "eh, Mama jangan nangis dong, nanti langitnya jadi mendung."

Mama Mily menghapus air matanya, sambil terkekeh wanita itu bertanya, "langitnya mendung? Memangnya kamu belajar kata-kata itu dari siapa?"

Mily menunjuk Mei, "Ma, tadi kata Kakak Mei kalo aku nangis langitnya jadi mendung."

Mama Mily tersenyum kecil, menatap Mei-- gadis yang kini sedang memegang biola. "Terima kasih sudah menjaga anak saya ya," ucap wanita itu.

Mei mengangguk. "Iya sama-sama Bu."

"Ma, aku pengen main biola juga kayak Kakak Mei," ujar Mily polos.

"Iya nak, nanti kita cari guru biola ya?"

"Nggak! Aku maunya sama Kak Mei," ucap Mily.

Diam sejenak, lalu wanita itu menatap Mei. "Kamu mau jadi guru biola anak saya?"

"Tenang aja, saya pasti akan berikan gaji berapa pun yang kamu minta," lanjut wanita itu.

Mei masih mematung. Menjadi guru biola? Bukankah itu adalah impiannya sejak kecil?

"Kakak mau kan jadi guru biola aku?" tanya Mily.

Mei mengembangkan senyum, lalu mengangguk cepat. Mengiyakan permintaan gadis kecil itu.

Mily bersorak riang ketika Mei mengiyakan permintaannya.

"Jadi, mulai sekarang kamu jadi guru anak saya ya? Ini kartu nama saya. Jangan lupa hubungi saya kalau kamu mau datang ke rumah."

Mei menerimanya. Gadis itu tersenyum, sambil mengucapkan terima kasih. Apa ini benar nyata? Ia tidak sedang mimpi kan?

*****
Senja mulai membungkus kota, Mei berjalan riang. Pulang ke rumahnya. Di tengah jalan ponselnya berdering. Mei segera saja merogoh saku celananya, Gadis itu segera mengangkat telfon.

"Halo, Pak Kai," sapa Mei.

"Cepat datang ke rumah saya!" ujar penelepon di seberang sana.

Mei mengerutkan dahi. "Eh kenapa Pak Kai?

"Gawat ... di kolam renang ... "

"Kena--"

Tuutt!

Belum selesai Mei meneruskan kalimatnya, telfon itu mendadak putus, entah kenapa saat itu pula perasaan Mei jadi tak enak.

*****
Tbc ...
Tim sad ending atau happy ending?
Tapi lebih enakan sad ending lah kan?



Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang