"Berakhirnya sebuah pertemuan belum tentu menjadi berakhirnya sebuah rasa."
*****
Dadanya terasa nyeri, lewat celah pintu ruangan itu, Kai bisa melihat hiruk pikuk beberapa dokter yang sekarang sibuk menangani istrinya.
Kai menghela napasnya. Tadi di saat Erik menelefon, Kai dapat kabar jika istrinya mengalami kecelakaan. Kai segera saja berlari pontang-panting ketika mengetahui kabar itu. Meninggalkan meetingnya tanpa sedikit pun memberi tahu apa-apa.
Menunggu dan harap-harap cemas begini membuatnya begitu resah. Kai hanya takut satu hal, takut jika kehilangan istrinya.
"Kai, kamu harus tenang," ucap Erik yang kini duduk di kursi tunggu rumah sakit.
Tidak seperti Mei yang mengalami benturan di perutnya lalu berlangsung pendarahan. Erik justru hanya mengalami luka ringan saja.
"Pa ... gimana sama Mei?" parau Kai.
"Kamu yang tenang, jangan berpikiran negatif dulu.” Erik menenangkan.
Bertepatan dengan kalimat itu, seorang dokter yang masih menggunakan pakaian khusus operasi keluar dari pintu ruangan. Kai yang melihatnya segera saja mencecar dokter itu dengan berbagai pertanyaan, ia panik bagai orang gila saat menanyakan keadaan istrinya.
Dokter itu tampak menggeleng, hal yang membuat tubuh Kai bergetar hebat. Hingga tanpa menunggu lagi, ia dengan langkah rusuh segera saja masuk ke dalam ruangan tersebut.
Di sanalah suara tangis bayi terdengar. Dua orang suster yang masih memakai pakaian khas operasi menggendong dua bayi mungil yang masih berkulit merah itu. Benar! Dua bayi! Kai menatap tak percaya, ia punya bayi kembar.
Tangis Kai pecah saat melihatnya, ia mengambil salah satu bayinya dari seorang suster. Kai merasakannya, detik ini ia merasakan menjadi seorang ayah.
"Selamat ya Pak, anak bapak lahir dengan selamat. Kembar sepasang," ucap salah satu suster.
Erik yang baru saja masuk ke dalam ruangan menatap tak percaya. Cucu yang sedari dulu ia nantikan telah lahir ke dunia. Segera saja pria itu mengambil alih bayi mungil berkulit merah yang tengah di gendong oleh seorang suster. Detik itu Erik merasakannya ... merasakan menjadi seorang Kakek.
"S-sayang? Sayang? Anak kita kembar sayang?" ucap Kai yang ternyata belum sadar akan sesuatu.
Pria itu baru sadar ketika salah seorang suster perempuan menaikkan kain putih ke atas wajah Mei. Membuat kain putih itu terbalut dari sepanjang ujung kepala hingga ke ujung kaki. Dada Kai bagai ditusuk sembilu. Tatapannya menjadi kosong. Ia tak percaya. Tak akan pernah percaya.
"Sayang! Bangun sayang! Sayang ..." Kai berteriak seperti orang gila, menarik-narik ujung kain putih itu.
Kai tidak bisa mempercayai hal ini! Pria itu membuka kain putih yang menutupi seluruh tubuh istrinya. Pandangan Kai nanar, saat menemukan sosok perempuan pucat itu terbaring kaku di ranjang rumah sakit. Mata yang terpejam damai dengan wajahnya yang pucat pasi. Kai menyentuh wajah istrinya. Dingin. Wajah Mei dingin.
Jangan katakan ...
"Maaf, istri Bapak tidak bisa diselamatkan," ucap seorang dokter yang berdiri tak jauh dari Kai.
Kai terduduk lemas. Ia tak akan pernah mempercayai hal ini.
*****
Semuanya berjalan cepat, Kai sama sekali tak mengerti. Sejak saat itu ... ia merasa hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Pria itu merasakan jika setengah hidupnya hilang. Bagai daun kering tertiup angin, rapuh, lalu perlahan satu persatu menghilang.
Kini tanah pemakaman masih tampak basah, bau semerbak dari bunga-bunga yang di taburkan dua hari lalu masih tercium. Kai menatap makam istrinya dengan tatapan penuh luka.
Seperti kebiasaan yang ia lakukan selama kurang lebih dua hari ini. Ia akan berjongkok di sisi makam istrinya berjam-jam. Menatap makam itu sambil sesekali terisak. Hati Kai berderit, perasaan macam apa ini? Di sisi lain ia bahagia. Benar, ia bahagia ketika dua bayi kembarnya terlahir sehat ke dunia. Di sisi lain pula, ia merasa hancur. Hancur karna kepergian istrinya.
Kenapa waktu sesingkat itu? Bolehkah ia menyalahkan takdir? Kai beranjak berdiri tegak, ia mengapus jejak-jejak cairan bening yang mengalir di kedua belah pipinya.
"Selamat tinggal sayang!" pamit Kai pada makam istrinya.
*****
Tatapannya kosong, seolah sama sekali tak punya semangat hidup. Mukanya pucat setengah mati. Entahlah, Kai tak tau kapan terakhir kali ia menyentuh makanan.
Lewat derai hujan yang jatuh ke bumi, Kai
menyamarkan tangisnya. Kakinya terayun pelan menjejak lantai rofftop.Rofftop perusahaan, tempat di mana Kai mengerti arti dari sebuah kehilangan. Lewat senyum Mei yang memberi tahu makna menjaga.
"Kadang kita perlu kehilangan agar tau makna menjaga, perlu mengerti jika segala sesuatu itu fana, perlu menerima agar dapat melepaskan kehilangan."
"Pacar, teman, orang tua, orang-orang terdekat, akan ada masanya mereka semua pergi. Kita cuma menunggu waktu, kita nggak bisa mencegah mereka semua pergi."
Iya, Mei benar. Tapi untuk yang satu ini ia tak bisa menerimanya. Pria itu ingin waktu berputar mundur. Mustahil! Kai tersenyum pahit, ia frustasi saat benaknya baru saja membayangkan wajah istrinya yang tersenyum riang.
Senyum itu, Kai merindukannya ...
Kai menengadah ke langit. Membiarkan wajahnya tertimpa guyuran hujan. Ia begitu lelah ...
Kaki Kai berjalan lemah melewati sisi rooftop paling ujung. Pria itu memejamkan matanya, melangkah maju. Biarkan ini terjadi.
"Sayang, aku capek, aku nyerah!” lirih Kai, lalu melompat.
*****
Bersambung ...
Maafkan saya kalo cerita ini banyak typonya.
Dan janlup dukung author dengan folow akun ini ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)
General FictionKALO LU BAPER GUA NGGAK NANGGUNG! Judul : Dear, Bapak Muka Datar Genre : romance/slice of life Status : TAMAT Meski Kai disebut siluman es batu, tapi jangan salah, hatinya Kai itu kadang sehangat kompor gas. Disuruh ngebunuh nyamuk aja nggak tegaan...