Bagaimana caranya minta maaf dengan Kai? Mei mendengus gelisah. Di dalam kamar kecilnya, gadis itu menatap langit-langit rumah. Otaknya berpikir bingung.
Malam ini sepi, tidak hanya malam ini. Malam besok, malam kemarin dan malam lusa juga akan terus sepi. Kost-an kecil milik Mei itu tidak akan pernah riuh oleh gelak tawa keluarga, tidak akan pernah berisik oleh omelan seorang Ibu, atau bahkan tidak akan pernah ramai dengan kunjungan anggota keluarga. Tidak akan pernah terjadi meski Mei sangat menginginkannya.
Mei mencoba untuk tersenyum, meski batinnya sedang menangis. Saat ini, entah kenapa ia tiba-tiba mengingat masa-masa di panti asuhan dulu.
Dulu, sebelum tinggal di kost-an ini Mei tinggal di sebuah panti asuhan. Cukup lama, sekitar dua belas tahun kira-kira. Mei masih ingat masa-masa itu.
Teringat wajah pengurus panti yang galak itu. Ketika ia disuruh pengurus panti untuk menjadi pangamen jalanan, ketika pengurus panti menjewer telinganya karna recehan yang ia dapat sangat sedikit. Hingga akhirnya Mei kabur dari panti yang justru lebih mirip dengan tempat penyiksaan anak itu.
Mei melirik kotak biolanya. Itu adalah biola berjenis violin yang amat ia sayangi. Biola yang menemaninya sedari kecil. Melewati masa-masa menyakitkan itu.
Mei memeluk kotak biolanya. "Kapan ya Mei bisa ketemu Ayah sama Bunda?" monolog gadis itu dengan nada sendu.
*****
Matahari bersinar terik, seorang gadis berkulit pucat dengan topi kelinci putih tengah riang memainkan biolanya. Terlihat imut di mata orang-orang yang melihat penampilannya. Dia Mei, gadis manis yang kini sedang bermain biola.
Mei lagi-lagi bermain biola di taman kota. Tidak! Lebih tepatnya Mei mengamen. Mengumpulkan receh demi receh dari permainan biolanya untuk bertahan hidup.
Satu lagu selesai dimainkan. Orang-orang disekitarnya menatap takjub, beberapa lagi sibuk memasukkan uang receh ke dalam tempat yang telah disediakan. Mei tersenyum ke arah penontonnya, lanjut memainkan lagu berikutnya.
Pria yang berdiri dengan wajah tertutup masker itu juga tersenyum. Lihatlah di sana, gadisnya kini memakai topi kelinci itu. Pria itu tersenyum, menatap tangan kecil gadisnya yang tengah memainkan biola dengan riangnya. Sama sekali tidak peduli dengan terik matahari yang menyengat.
Pria dengan wajah tertutup masker itu adalah Kai. Entahlah, Kai juga tidak mengerti mengapa kakinya berjalan ke sini. Sekecewa apapun ia pada Mei, ia tetap rindu.
Rindu dengan tingkah riang gadis itu.
*****
Hari menjelang petang, Mei menyudahi permainan biolanya. Tersenyum senang saat uang receh yang ia peroleh cukup banyak. Setelah ini ia akan makan enak.
"Hei," panggil seseorang dari arah belakang.
Mei melirik ke belakang, penasaran dengan si-empu yang memanggil.
"Pak Alex?"
Alex tersenyum, mensejajari langkahnya dengan Mei.
"Pak Alex kok bisa ada di sini?" tanya Mei.
"Saya tadi kebetulan lewat sini."
Mei ber-oh ria menanggapinya.
"Kamu main biola di dekat taman itu?"
"Iya," jawab Mei pendek.
"Capek?"
Mei cepat menggeleng. "Nggak! Mei kan manusia kuat, mana mungkinlah capek."
Alex terkekeh mendengar jawaban polos gadis itu.
"Eh, kantor jadi sepi lho, karna nggak ada kamu."
Mei menatap Alex tak percaya. "Hah? Masa sih?"
"Iya hati saya juga jadi sepi karna saya nggak bisa liat kamu tiap hari lagi."
Mei mengerutkan dahi. "Pak Alex gombal ya?"
"Kalo saya serius gimana?"
"Nggak mungkin! Pak Alex yang Mei kenal nggak kayak gini. Sadar Pak, ada jin apa yang masuk ke tubuh Bapak?"
Alex tertawa mendengar ucapan gadis itu.
"Eh, saya punya lowongan pekerjaan lho untuk kamu," ucap Alex setelah tawanya reda.
"Pekerjaan? Pekerjaan apa Pak?" Mei seketika menatap Alex antusias.
"Yang pasti kerjanya gampang dan gajinya besar."
Mata Mei membulat. "Beneran Pak?"
"Bener, kamu mau nggak?" tawar Alex.
"Ma-mau banget Pak."
"Kalo gitu, gimana kalo nanti malam kita ketemu. Saya jemput kamu pukul delapan malam, untuk membicarakan pekerjaan."
Mei sedikit berpikir, setelah cukup dipertimbangkan gadis itu mengangguk setuju.
"Eh, tapi pekerjaannya apa sih Pak?"
"Nanti malam kamu akan tau, jangan lupa, saya jemput kamu jam delapan malam."
Mei mengangguk. "Makasih banyak ya Pak Alex?"
Alex mengangguk sembari menampilkan smirk di wajahnya.
*****
Pukul delapan malam, seperti janji tadi sore Alex datang menjemput Mei. Mei segera keluar rumah, menuruti perintah Alex untuk ikut naik ke dalam mobil.
"Pak, emang tempatnya di mana sih? Kenapa kita perginya malam-malam begini?" tanya Mei penasaran.
"Sebentar lagi nyampe kok. Kamu tenang aja."
Tak berselang lama, mobil itu berhenti di depan sebuah gedung. Entah gedung apa, yang pasti gedung itu begitu tinggi. Mei mengikuti langkah Alex, keluar dari dalam mobil, lantas masuk ke dalam gedung tersebut.
Alex berjalan masuk ke salah satu ruangan. Sebelum masuk, pria itu nampak berbincang-bincang sedikit dengan dua pria berpakaian hitam yang menjaga ruangan tersebut. Mei hanya diam, mengikuti langkah Alex.
Masuk ke dalam ruangan itu, Mei dibuat terkejut.
Itu adalah ruangan dengan penuh keriuhan, lagu DJ diputar membuat pekak telinga. Lampu berkerlap-kerlip sementara bau alkohol mangambang memasuki indra penciuman. Mei menatap sekitarnya, melihat beberapa wanita yang menari genit dengan menggunakan pakaian ... Ehm, kurang bahan.
Apa ini yang dinamakan clubbing?
Mei tak mengerti mengapa Alex membawanya ke sini. Ia merasa tak nyaman. Apalagi saat berpapasan dengan beberapa pria yang menatapnya penuh nafsu.
"Pak ... kenapa kita ke sini?"
Alex menyela ucapan Mei, "Hmm ruangannya ada di sebelah sana."
Meski sedikit bingung gadis polos itu tetap mengikuti langkah Alex. Berjalan memasuki salah satu ruangan.
Alex masuk ke dalam ruangan tersebut. Setelah Mei juga ikut masuk, segera saja Alex mengunci rapat-rapat pintu ruangan tersebut. Dan hal itu membuat Mei makin bingung.
Alex tampak melepaskan kancing kemeja yang ia pakai. Satu persatu, menampilkan tubuh bertelanjang dada.
"Pak ... kenapa?" Suara Mei bergetar, perasaannya sungguh tak enak.
"Pekerjaan yang akan kamu lakukan cukup mudah, cukup layani saja saya! Maka setelah ini bayaran yang kamu terima juga besar." Alex bergerak maju, pria itu menghampiri Mei. Tubuh Mei bergetar, patah-patah gadis itu memundurkan langkah.
"Jangan ... Pak ..." cicit gadis itu saat satu tangan Alex menyentuh lembut dagunya.
"PAK JANGAN!" teriak Mei, namun tak dihiraukan oleh Alex.
Alex menyeringai, tangannya membuka satu persatu kancing baju Mei.
*****
Tbc ...
Aishh! Menurutmu apa yang terjadi selanjutnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)
General FictionKALO LU BAPER GUA NGGAK NANGGUNG! Judul : Dear, Bapak Muka Datar Genre : romance/slice of life Status : TAMAT Meski Kai disebut siluman es batu, tapi jangan salah, hatinya Kai itu kadang sehangat kompor gas. Disuruh ngebunuh nyamuk aja nggak tegaan...