"Kak, kenapa Papa dan Mama selalu bertengkar?" tanya Mily pada Mei dengan polosnya.
Mei yang tengah memasangkan plester luka di kaki Mily menatap muridnya penuh perhatian.
"Papa sama Mama kamu punya masalah tersendiri, tapi Mily jangan terus-terusan sedih ya? Mily nggak sendiri kok, ada Kakak yang hadir di samping kamu," ujar Mei.
"Tapi aku nggak mau liat Papa dan Mama tiap hari bertengkar," lontar Mily.
"Kamu harus kuat, setidaknya demi orang-orang yang menyayangi kamu," ucap Mei. Perempuan itu mengambil tangan kiri Mily, membersihkan luka akibat pecahan beling yang tak sengaja mengenai tangannya.
"A-aku capek lihat Papa dan Mama ... tiap hari bertengkar ... hiks," isak Mily, gadis kecil itu kembali mengeluarkan air mata.
Hati Mei berderit melihatnya, hatinya terluka saat melihat gadis sekecil Mily mengatakan hal itu.
Mei menangkup pipi Mily lembut, mengusap bulir-bulir air mata gadis kecil itu dengan perlahan. Seperti seorang ibu pada anaknya.
"Mily harus semangat! Mily masih punya mimpi kan? Mily masih punya cita-cita yang harus diperjuangkan. Boleh capek sebentar, tapi jangan berhenti di tempat. Mily boleh nangis sekarang, ayo nangis aja di pelukan Kakak, tapi nangisnya secukupnya aja, jangan sedih terus-terusan." Setelah kalimat itu keluar, Mei langsung merengkuh tubuh kecil gadis itu. Memeluknya dengan hangat.
Mily kembali menumpahkan air matanya. Memeluk Mei erat, sebagaimana ia memeluk ibunya. Gadis kecil itu kini paham, masih ada satu orang yang benar-benar peduli padanya. Dia adalah MEI!
Keduanya saling berpelukan hangat. Membuat Marcel yang tak sengaja melihatnya terpaku. Hati pria itu tiba-tiba berdesir. Ia tau selama ini ia salah, ia selalu membuat Mily, anak semata wayangnya kecewa. Kesalahannya terlalu fatal.
Marcel menghela napasnya. Pria itu menatap punggung Mei. Apa perasaan lain pada Mei selama ini juga termasuk kesalahan?
*****
Kai masuk ke dalam rumahnya. Sepi. Ah iya, pria itu baru ingat jika ayahnya baru saja berangkat ke Australia. Tapi meski rumah sepi, di mana istrinya?
Kai menaiki tangga, berjalan cepat-cepat menuju kamar. Pulang kerja begini, orang pertama yang ingin sekali ia temui adalah istrinya.
Sampai di depan kamar, Kai segera membuka pintunya.
Nah kan ...
Ternyata istrinya ada di kamar. Sedang merapikan pakaian di dalam lemari. Kai bergegas masuk menghampiri Mei.
Lantas saja, seperti kebiasaannya Kai memeluk istrinya dari arah belakang.
"Aaaa!" Mei kaget, ketika mendadak saja sebuah tangan memeluk pinggangnya erat.
Mendengus, Mei akhirnya sadar jika yang memeluknya dari belakang adalah suaminya sendiri.
"Ihhh kamu! Kok gitu sih? Selalu aja ngagetin!" sungut Mei kesal.
"Bagus dong, biar jantung kamu sehat." Kai justru membalas ucapan istrinya dengan muka menyebalkan.
"Udah ah, kamu mending sekarang mandi," perintah Mei.
"Nggak mau!"
Mei berdecak. "Ihh kok gitu? Bau tau!"
"Masa sih?" Kai mencium kemeja yang melekat ditubuhnya.
"Iya bau." Mei pura-pura menutup hidungnya.
"Mandiin cepet!" pinta Kai.
"Apasih kamu? Jangan aneh-aneh deh."
"Apanya yang aneh? Orang cuma minta dimandiin sama istri doang kok," seloroh Kai.
"Udah buruan masuk kamar mandi sana! Jangan minta yang aneh-aneh," omel Mei.
"Kalo mandi bareng gimana?"
Mei seketika melotot ke arah Kai.
"O-oke oke mandi sendiri aja deh." Kai segera melepaskan pelukan pada istrinya, lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Mei menatap punggung Kai, menatap punggung yang kini menghilang dari pintu kamar mandi.
Perempuan itu tersenyum sekilas, tersenyum perih. Sebenarnya ia ingin menanyakan tentang kejadian di koridor tadi siang. Namun, hatinya menolak.
Baiklah, ia akan bersikap seolah baik-baik saja, menganggap jika kejadian itu tidak pernah terjadi.
*****
Usai mandi, Kai dan Mei makan malam. Malam ini tidak ada Erik yang menemani. Hanya mereka berdua.
"Sepi ya kalo nggak ada Papa," kata Mei sambil mengunyah makanan di piringnya.
Kai yang tengah menyendok nasi kemudian menatap Mei. Lalu pria itu berujar, "sebentar lagi pasti ramai dengan anak-anak kita."
"Ihhh gombal terus!"
"Siapa yang gombal? Itu serius loh."
Mei tersenyum masam. Meski sebenarnya sebagian mukanya sudah bersemu merah.
"Eh gimana tadi kerjaan kantor kamu?" tanya Mei mengganti topik pembicaraan.
Kai terdiam.
Sejenak, ia teringat dengan Viona. Viona yang memeluknya tiba-tiba di koridor tadi siang . Kai menghela napasnya, harusnya ia bisa mencegah hal itu.
"Kok diem?"
"B-baik kok, semuanya lancar," ujar Kai.
Mei menganguk-angguk mendengarnya.
"Kalo diinget-inget bentar lagi kamu ultah ya?" tanya Mei, mencoba mencari topik obrolan menarik lain.
Sekejap Kai mengingat-ingat. "Eh iya, bentar lagi aku ultah ya? Waah gak kerasa ya."
"Ciee yang bentar lagi makin tua," ledek Mei.
"Ciee yang bentar lagi mau ngasih surprise."
"Eh emang siapa yang mau ngasih surprise? Orang cuma nanya doang kok," elak Mei.
"Sayang, kamu tega banget sih? Masa iya nggak mau ngasih surprise."
Mei menjulurkan lidahnya. "Biarin," ejek Mei.
Kai menatap istrinya. "Jujur ya, pas ultah itu aku cuma mau satu hal."
"Apa?"
"Aku mau kamu cium aku duluan," ujar Kai.
*****
Tbc ...
Part ini pendek ya?
Agak monoton dan membosankan juga keknya.
Menurut lu cerita ini gimana?
Makin ngebosenin?
Koment ya teman ...
Gue juga butuh saran ini loh :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)
Fiksi UmumKALO LU BAPER GUA NGGAK NANGGUNG! Judul : Dear, Bapak Muka Datar Genre : romance/slice of life Status : TAMAT Meski Kai disebut siluman es batu, tapi jangan salah, hatinya Kai itu kadang sehangat kompor gas. Disuruh ngebunuh nyamuk aja nggak tegaan...