"Anak Papa apa kabar?" tanya Kai lembut, sembari mengelus perut Mei.
Bukan lagi di klinik, melainkan di penginapan. Kai dan Mei segera saja pulang setelah mendengar kabar bahagia itu. Kini keduanya sedang duduk bersebelahan di sisi ranjang tempat tidur. Hari ini, Kai menyuruh istrinya agar istirahat penuh. Tidak ada tur keliling Gili Trawangan atau aktivitas melelahkan lainnya.
Sejak pulang dari klinik, entah sudah berapa kali Kai terus-terusan mengelus perut istrinya. Kabar bahagia itu membuat Kai berkali-kali menyapa calon anaknya.
"Ihh udah ah, geli tau dari tadi dielus-elus mulu." Mei mengerucutkan bibir. Ia risih sendiri melihat tingkah Kai yang lima menit sekali pasti mengelus-ngelus perutnya.
"Kamu jangan galak-galak, nanti anak kita jadi ikutan galak lho," timpal Kai.
"Lagian kamu kok nggak sadar kalo kamu hamil?" Kali ini Kai bertanya serius pada Mei.
Mei menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Maaf ya, aku terlalu abai. Aku pikir terlambat mens beberapa bulan itu wajar karna siklus yang gak lancar. Eh ternyata rupanya karna hamil. Maaf ... maaf ya Nak, Bunda nggak sadar sama kehadiran kamu," sesal Mei sambil sesekali mengelus perutnya perlahan.
Kai mendadak mendekatkan telinganya ke perut Mei. Memang perut istrinya belum kelihatan buncitnya, karna usia kandungannya masih tergolong muda.
"Ya ampun kamu ngapain sih?"
"Aku mau tau anak kita lagi ngapain?"
Mei mengacak-acak puncak kepala Kai yang sengaja menempelkan diri di perutnya.
"Menurut kamu dia laki-laki atau perempuan?" tanya Kai lagi.
"Mungkin laki-laki," tebak Mei.
"Tapi kalo perempuan nantinya dia bisa kadi seorang kakak mandiri, yang selalu menjadi inspirasi bagi adik-adiknya," balas Kai tak mau kalah.
Mei berdecak mendengarnya. "Udah sayang! Mau anak kita laki-laki atau perempuan, yang terpenting adalah kita harus menjaga dan menyayanginya sepenuh hati."
"Pinter kamu!" Kai beranjak tegak, lalu mengusap lembut puncak kepala istrinya.
*****
Hari segera berganti, pagi ini Kai dan Mei memutuskan untuk pulang ke rumah. Pesawat sudah mendarat ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta sekitar tiga puluh menit yang lalu.
Lewat kumpulan orang-orang yang mengelilingi sekitar bandara itu, Erik, pria itu menghampiri Kai dan Mei. Pancaran wajah bahagia terpaut di wajah tua itu. Selepas, mengetahui kabar jika menantunya sedang hamil, Erik segera pulang dari Australia. Bahkan, Erik pulang lebih awal dari kepulangan Kai dan Mei. Niatnya, cuma ingin menjemput kedatangan calon cucunya.
"Papa!" Mei berteriak girang saat matanya mendapati Erik tengah berjalan ke arahnya.
Erik mengangguk, garis lengkung di bibirnya tak pernah pudar sejak tadi.
"Gimana kabar kalian?" tanya Erik sekedar basa-basi.
"Sangat baik Pa," jawab Kai.
"Calon cucu Papa gimana kabarnya?"
"Baik Pa," jawab Mei.
"Ya udah sekarang kita pulang." pinta Erik dengan senyum yang tak pudar-pudar dari raut wajahnya.
******
Waktu berjalan beriringan dengan kesibukan yang semakin tak terasa. Hari berganti minggu, minggu datang memintal bulan. Perut Mei semakin besar. Usia kandungannya sudah memasuki bulan ke-delapan.
Sejak kehamilan itu, Kai dan Erik sering sekali parno. Ayah dan anak itu selalu saja bekerja sama agar Mei tidak terlalu banyak beraktivitas, bahkan jika aktivitas itu tergolong aktivitas kecil.
"Udah dibilangin nggak usah masak masih juga keras kepala! Kalo kamu kenapa-kenapa gimana?" itu suara Erik yang duduk di kursi meja makan. Memperhatikan Mei yang bergerak lincah memasak di dapur, meski perutnya semakin besar.
"SAYANG! KAMU NGAPAIN?! ADUHH BERAPA KALI AKU BILANG NGGAK USAH MASAK! KERAS KEPALA BANGET SIH!"
Belum sempat Mei membalas ucapan Erik, seorang pria berjas hitam rapi yang tiba-tiba muncul itu mendadak membuat keributan. Sepagi ini, Kai dengan histerisnya mengomel pada istrinya tentang larangan dan bahayanya bergerak atau beraktivitas lebih bagi seorang ibu yang tengah hamil.
Mei tak menggubrisnya, telinganya sudah cukup kebal untuk mendengar segala ocehan plus omelan suaminya. Selalu saja, omelan suaminya itu terus saja berulang-ulang, sudah seperti kaset rusak yang tiada habisnya.
"Tuh kan, masih bandel!" sungut Kai, menghampiri istrinya yang masih menghiraukan kehadirannya sejak tadi.
"Udah ... ini tuh kerjaan ringan, nggak usah terlalu parno!" balas Mei mencebik.
"Ini demi--"
"Keselamatan anak kita?" sela Mei memotong ucapan Kai.
"Nah itu kamu tau," balas Erik pula.
Mei hanya mendengus mendengarnya.
Mei beralih menatap suaminya. "Oh iya, nanti aku mau ke audisi itu ya ... aku izin ya sama kamu?"
Kai berdecak. "Audisi biola? Heh, kamu itu kan lagi hamil gini. Nggak ah," larang Kai.
"Pliss! Aku bisa berangkat sama sopir pribadi kita, pliss ya aku pengen ikut audisi itu. Aku pengen jadi pemain biola!" mohon Mei.
Sebenarnya itu adalah audisi kontes biola violin yang diadakan khusus untuk umum. Pemenangnya akan diizinkan untuk berkolaborasi bersama pemain violin terkenal di resital yang akan diadakan dua minggu setelahnya.
Mei sangat menginginkannya. Ia ingin ikut resital biola itu sekali saja, agar resital biola saat kecelakaan ayah dan bundanya dapat ia tembus.
Sebenarnya Kai ingin mengizinkan istrinya, tapi pria itu terlalu takut, jika terjadi sesuatu pada istrinya. Ia teramat takut. Namun, di sisi lain ia juga tidak ingin melihat istrinya sedih.
Jika pun Kai mengizinkan, ia pribadi ingin sekali mengantarkan istrinya ke audisi biola itu. Agar ia bisa melihat langsung penampilan Mei. Namun, sepertinya hal itu tak dapat ia lakukan. Pagi ini ia punya meeting penting, dan hal itu tak mungkin bisa ia lewatkan begitu saja.
"Gimana kalo Papa aja yang antar Mei?" usul Erik tiba-tiba.
Mei seketika mengangguk. Cepat-cepat mengiyakan usulan Erik.
Kai tampak menghela napasnya. Lalu dengan keputusan final, akhirnya pria itu mengangguk.
"Oke, aku izinin!" final Kai yang membuat Mei seketika mengembangkan senyum terbaiknya.
"Makasih!" ucap Mei girang.
Cup!
Satu ciuman mendarat di pipi Kai, Kai terkekeh melihat Mei yang kesusahan berjinjit menggapai pipinya.
******
Seperti rasa yang datang mendadak. Kehilangan itu juga datangnya mendadak.
Rasanya menyakitkan ...
Drtttt
Getar di ponsel Kai membuat konsentrasi meetingnya sedikit terganggu. Pria itu melirik ponselnya, di sana tampak nama sang penelepon. Dan nama penelepon itu adalah, Erik ayahnya.
Kai segera meminta izin kepada anggota meeting. Lalu dengan gerakan cepat pria itu keluar sebentar dari ruangan meeting.
"Halo Pa!" sapa Kai.
"K-kai ... cepat ke sini!" suara Erik terdengar bergetar.
Perasaan Kai mendadak tak enak.
"Kenapa Pa?" tanya Kai tak mengerti.
"Istri kamu kecelakaan!"
*****
Tbc ...Maapin kalo gaje
Oke menuju ending ya kawand:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)
General FictionKALO LU BAPER GUA NGGAK NANGGUNG! Judul : Dear, Bapak Muka Datar Genre : romance/slice of life Status : TAMAT Meski Kai disebut siluman es batu, tapi jangan salah, hatinya Kai itu kadang sehangat kompor gas. Disuruh ngebunuh nyamuk aja nggak tegaan...