EKSTRA PART (3)

1.6K 66 3
                                    

Mendung tadi sore beranjak menjadi hujan deras di malam ini. Musim penghujan di kota hujan memanglah fantastis. Suasana malam terasa lebih dingin menggigit.

Pukul sembilan, ketika jam-jam istirahat itu tiba, Kai masuk ke dalam kamar.

Ada Mei di dalam. Wanita itu tengah memainkan biolanya saat Kai masuk.

Duduk di atas tempat tidur, sambil menyaksikan Mei bermain biola adalah sebuah penghiburan paling menyenangkan. Kai menikmati setiap menit yang mengalir saat wanitanya menggesekkan nada-nada sendu. Ia beruntung memiliki Mei yang merupakan
seorang violonist, setiap pulang kerja saat ia lelah istrinya bermain biola membuat Kai merasakan sedikit terapi. Terapi atas jiwa-jiwa yang lelah.

"Hebat kamu, makin hari makin bersinar. Makin Shining, shimering, splendid." Kai memuji saat Mei selesai, membuat pipi perempuan itu bersemu.

Mei ikut duduk di sisi ranjang, bersebelahan dengan Kai.

"Kenapa?" tanya perempuan itu sesaat melihat raut muka Kai yang murung.

"Nggak papa."

"Jangan bilang gak papa kalo lagi kenapa-kenapa. Menyembunyikan masalah itu gak enak. Sini cerita."

Kai menatap istrinya. "Kamu pernah menyesal punya suami kayak aku?"

Sontak Mei terpelongo. Lalu perempuan itu tertawa.

"Artinya pernah ya," ujar Kai murung.

"Ya nggak lah. Mana pernah wahai bapak negara. Kenapa nanya begitu?"

Kai menghela. "Aku tuh ngerasa nggak guna. Kamu itu sekarang terlalu multitalenta, semuanya bisa kamu

lakuin sendiri sampai aku ngerasa insecure jadi laki-laki."

"Cuma karna itu?" tanya Mei sedikit terkikik.

Sebagai balasan Kai mengangguk seperti anak kecil, bibirnya mengerucut.

"Sini peluk!" Mei merentangkan tangan. Tak menunggu lama, Kai masuk ke dalam pelukan Mei.

"Gak boleh mikir gitu lagi ya, kamu itu seorang ayah. Dilarang insecure insecuran," kata Mei. "Akhir-akhir ini aku ngelakuin semuanya sendiri agar suatu saat nanti saat salah satu dari kita pergi, kita bisa melewatinya dengan mudah," lanjutnya.

"M-maksud kamu?"

"Semacam simulasi, uji coba melakukan berbagai hal sendiri, mencoba untuk tidak bergantung ke kamu. Nggak hanya aku yang harus melakukan itu, kamu juga bisa melakukannya. Suatu saat nanti semua yang datang akan pergi, aku gak mau terpuruk dalam sedih yang terlalu dalam."

Kai makin tak mengerti dengan ucapan Mei. Dalam pemahaman abu-abu itu, entah kenapa pula percakapan ini membuat Kai sesak.

"Simulasi garis miring aku terlalu takut kehilangan kamu sayang ... aku takut ..." kali ini wanita dalam pelukan Kai itu terisak.

"M-mei?"

Baru kali ini Kai memanggil istrinya dengan sebutan nama. Sebuah arti jika percakapan ini benar-benar digaris tebali dengan kata 'serius'

"Aku berpikir, kehilangannya kamu rasanya pasti sakit--"

"Cukup! Kamu berpikir terlalu dalam sayang," ujar Kai memotong kalimat Mei.

Mei menyeka air mata di pipinya. "Tapi suatu saat itu pasti datang kan?"

"Ketimbang simulasi, kenapa tidak menikmati saja setiap detik yang kita lewati sama-sama. Kadang memang sebuah perjalanan akan lebih indah jika tanpa rencana, kamu jangan khawatir," ujar laki-laki itu menenangkan.

Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang